Wednesday, September 28, 2011

Perkembangan Kenaikan Volume Kedelai dalam Persaingan Pasar


Volume impor kedelai sepanjang Januari-Agustus 2010 naik sebesar 33,96% dari periode yang sama tahun 2009, yaitu dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton. Kenaikan volume impor tersebut juga terjadi saat harga kedelai dunia bertengger di harga tinggi. Pelaku usaha makanan yang berbasis kedelai, seperti pembuat tahu dan tempe, mengeluh. Penurunan permintaan kedelai untuk bahan baku industri pada periode 1991 – 2000 terutama terjadi pada saat krisis dan meningkat kembali pada periode 2001 hingga sekarang.

Kondisi yang perlu dicermati adalah tidak tercatatnya stok kedelai yang kemungkinan memang tidak ada lembaga yang melaksanakannya atau tidak tercatat adanya stok kedelai. Apabila tidak ada lembaga yang melakukan stok maka dapat diperkirakan bahwa pasar domestik akan terpengaruh langsung oleh fluktuasi kondisi pasar internasional. Untuk harga kedelai untuk kontrak pengiriman Juli 2011 di Chicago Board of Trade hari ini (12/5) berada di level US$ 13,3650 per bushel. Harga itu telah turun 9% dari level tertingginya dalam setahun ini yang berada di posisi US$ 14,7025 per bushel pada 9 Februari 2011.

Kualitas kedelai lokal bisa lebih baik dibandingkan dengan kedelai impor dengan metode pengelolaan benih yang lebih baik. Biaya tanam juga bisa ditekan dengan pola tanam organik yang tidak tergantung kepada pupuk kimia tentu menjadi modal bagi petani dalam peningkatan produksi kedelai nasional.Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kedelai nasional tahun 2010 sebanyak 908,11 ribu ton dan impor kedelai sepanjang tahun 2010 sebanyak 1,7 juta ton. Data dari Dewan Kedelai Nasional menyebutkan kebutuhan konsumsi kedelai dalam negeri tahun 2011 sebanyak 2,4 juta ton sedangkan sasaran produksi kedelai tahun 2011 hanya 1,44 juta ton. Masih terdapat kekurangan pasokan (defisit) sebanyak satu juta ton kedelai. Dalam proses perkebunan, lahan yang telah ditanami dengan kedelai dapat menghasilkan dua kali lebih banyak protein dibandingkan jika ditanami tanaman lain. Kedelai yang matang akan menjadi keras dan kering. Meskipun sebagian besar kedelai berwarna kuning, ada juga varietas lain berwarna hitam, coklat atau hijau.
Di Indonesia, Saat ini, kedelai menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak hanya diolah menjadi susu dan minyak kedelai, hasil olahan lain kedelai seperti tepung kedelai, tauco, tempe, tahu dan kecap sangat mendominasi santapan di Indonesia.
Konsumsi kedelai yang terus meningkat pesat setiap tahunnya, juga sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi yang ditandai oleh meningkatnya konsumsi per kapita kedelai sebesar 5,55%. Sebagian besar produksi kedelai diolah menjadi bahan pangan yang siap dikonsumsi

oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti tempe, tahu, kecap dan kripik tempe. Untuk mendongkrak produksi kedelai memang berat mengingat ada sekitar 70 % kebutuhan kedelai dipenuhi dari impor. Terus membanjirnya impor kedelai tahun 2000 memiliki dampak yang tragis bagi petani kedelai dan untuk dapat mencapai imbangan impor harus ada perlakuan khusus dengan mengembalikan kepercayaan petani kembali bertanam kedelai. Upaya perimbangan impor dan pertumbuhan produksi kedelai jika produksi dapat terus ditingkatkan secara linear dari 13 % di tahun 2003 terus tumbuh meningkat hingga 20 % pada tahun 2010. Selama dasawarsa ke depan (2003 – 2013), yang rasional dilakukan adalah menekan impor dengan substitusi dari produksi dalam negeri sampai tinggal 10 – 20 % impor. Hal ini relevan dengan kondisi saat ini dan dapat terjadi jika ada pengaturan tata niaga untuk kepastian harga yang layak saat petani panen raya dan menciptakan produktivitas kedelai yang tinggi sehingga menurunkan biaya produksinya per satuan hasil. (Berbagai sumber media terkait, data diolah F. Hero K. Purba)

Monday, September 26, 2011

Produkstivitas Kacang Mete Indonesia dalam Peluang Ekspor


Produksi mete gelondongan dalam skala nasional berada di kisaran 95.000 ton per tahun, jumlah ini tidak mengalami peningkatan berarti selama 10 tahun terakhir. Penghasil mete utama adalah Sultra (35 % produksi nasional), Sulsel (25 %), Lombok, Flores dan Sumbawa (30 %) serta Jawa-Madura (10 %). Kacang mete merupakan jenis bahan makanan yang diperdagangkan secara internasional dan memiliki harga per satuan berat termahal kedua setelah vanila.

Indonesia merupakan penghasil mete terbesar di dunia setelah India, Vietnam, Afrika Barat, Afrika Timur dan Brasil. Penghasil mete gelondongan (mete yang belum dibuka cangkangnya/belum dikacip, cashews in-shell) adalah Afrika Barat (25 % dari produksi dunia), disusul oleh India (22 %), Vietnam (21 %), Brazil (16 %), Afrika Timur (9 %) dan kemudian Indonesia (5 %). Hampir seluruh produksi mete di dunia (90 %) dihasilkan oleh petani kecil di pedesaan. Walaupun ada sekitar 25 negara penghasil mete, namun sebagian besar (99 %) pangsa pasar kacang mete (biji mete olahan, cashews kernels) dikuasai oleh tiga negara saja, yaitu India, Vietnam dan Brasil. Indonesia merupakan penghasil mete terbesar di dunia setelah India, Vietnam, Afrika Barat, Afrika Timur dan Brasil. India merupakan negara pengekspor kacang mete terbesar di dunia, menggantikan kedudukan Afrika Barat yang industri kacang metenya rontok sejak era 1980-an, disusul oleh Vietnam, yang industri metenya baru berkembang sekitar 15 tahun lalu, namun karena pesatnya pertumbuhan berpeluang menjadi pengekspor kacang mete terbesar di dunia. Untuk memenuhi industri kacang metenya, India mengimpor mete gelondongan dari Afrika Barat, Afrika Timur dan Indonesia. Sedangkan Vietnam mengimpor mete dari Afrika Barat dan Indonesia. Sekitar 600 ton mete gelondongan dunia diekspor ke India dan Vietnam setiap tahunnya. Brasil sebagai pengekspor kacang mete terbesar ketiga, selama ini masih dapat memenuhi kebutuhan metenya sendiri. Konsumen kacang mete dunia adalah negara-negara di Amerika Utara, Uni Eropa, China, Timur Tengah, India dan Australia. Yang menarik, India merupakan negara produsen dan sekaligus konsumen mete terbesar di dunia.
Jumlah penduduk India sekitar 5 kali lipat Indonesia, namun konsumsi metenya 45 kali lipat. Kebutuhan kacang mete Amerika Utara dan Uni Eropa selama ini dipenuhi oleh India dan Brasil. India juga mengekspor kacang mete ke Timur Tengah, sedangkan Vietnam mengekspor kacang mete ke Amerika Utara, China dan Australia.
Kacang Mete Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk gelondongan ke India dan Vietnam dan kemudian dilabel sebagai produk India dan Vietnam, hanya sebagaian kecil (kurang dari 1 % dari pangsa kacang mete dunia), yang bisa berhasil menembus pasar kacang mete internasional. (Berbagai sumber media terkait, data diolah F. Hero K Purba)

Monday, September 12, 2011

Potensi Produk Pala (Nutmeg) Indonesia dan Pengembangan pangsa Ekspor


Indonesia kaya akan komoditas rempah-rempah, beberapa komoditas rempah-rempah yang diperdagangkan di pasar internasional adalah lada, pala, vanila, kayu manis, cengkeh, kapulaga, cabe dan jahe. Dari sekian banyak komoditas rempah-rempah, lada dan pala merupakan komoditas utama dalam perdagangan rempah-rempah dunia, sekaligus merupakan produk ekspor unggulan Indonesia dibandingkan dengan komoditas rempah-rempah lainnya. Bahkan pala dijuluki sebagai “King of Spices“, oleh karena merupakan produk rempah-rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan internasional. Di dunia terdapat dua tipe minyak pala, yaitu minyak pala Indian Timur (East Indian) dan minyak pala Indian Barat (West Indian). Minyak pala Indonesia termasuk minyak pala Indian Timur. Minyak pala Indian Timur memiliki berat jenis 0,885– 0,915 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/ v) dengan perbandingan 1 bagian minyak dan 3 bagian alkohol. Produk dari pala (biji, fuli dan minyak pala) telah diekspor lebih ke 30 negara. Adapun negara-negara pengimpor utama produk pala antara lain adalah Singapura, Belanda, Hongkong, Jepang, Belgia, Malaysia, Amerika Serikat, Perancis, India, Italia, Jerman, dan Thailand.

Pala (Myristica fragrans) adalah tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang penting sejak masa Romawi. Pala disebut-sebut dalam ensiklopedia karya Plinius "Si Tua". Semenjak zaman eksplorasi Eropa pala tersebar luas di daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Pulau Grenada). Istilah pala juga dipakai untuk biji pala yang diperdagangkan.Sedangkan untuk harga minyak pala naik dari US$ 26 per menjadi US$ 60 per kilogram. Harga minyak sereh juga meningkat dari sekitar US$ 4-4,5 menjadi US$ 9-10 per kilogram.

Pala merupakan tanaman multiguna dan komoditas ekspor Indonesia nonmigas utama ini kaya akan vitamin C, kalsium, dan fosfor. Pala juga biasa digunakan sebagai obat diare, kembung, mual, serta untuk meningkatkan daya cerna dan selera makan. Dalam Untuk upaya memberikan nilai tambah kepada petani serta berdasarkan berbagai pertimbangan lain seperti tingginya permintaan pasar dunia, harga yang menjanjikan, dan peran Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan minyak pala dunia, sudah sepatutnya minyak pala lebih diutamakan sebagai produk ekspor Maluku. Olahan pala menjadi minyak pala merupakan peluang pangsa ekspor yang menjanjikan tentunya dengan mutu dan standar ekspor yang baik. (Sources: Wikipedia, media terkait, data diolah F. Hero K. Purba)

Friday, September 9, 2011

Perkembangan Ekspor karet Indonesia dalam permintaan Pasar Internasional


Untuk nilai ekspor karet alam pada 2010 mencapai US$7.32 miliar. Asia Pasifik merupakan konsumen karet terkemuka, 56 persen dari kebutuhan karet dunia pada tahun 2008. Selain itu, daerah akan posting pertumbuhan terkuat permintaan karet sampai 2013, meskipun fakta bahwa pasar karet penting Jepang diharapkan dapat melihat penurunan karena penurunan tingkat produksi kendaraan bermotor di negara ini setelah kinerja cukup kuat di tahun 2008. Amerika Utara dan Eropa Barat akan terus melihat bawah standar keuntungan relatif terhadap rata-rata global, meskipun kedua daerah akan melihat peningkatan dari penurunan dari periode tahun 2003 sampai 2008. Non-ban permintaan karet akan melebihi permintaan ban karet sampai 2013. Permintaan produk karet non-ban akan mendapatkan keuntungan dari naiknya tingkat industrialisasi di negara-negara berkembang.

Adapun, kebutuhan karet domestik hanya 460.000 ton, naik 4.78% dibandingkan de-ngan kebutuhan karet lokal pada tahun lalu 439.000 ton. Total produksi karet dunia pada tahun ini diperkirakan mencapai 10,97 juta ton naik dibandingkan dengan tahun lalu 10,22 juta ton. Thailand menjadi negara produsen karet terbesar diperkirakan mencapai 3,47 juta ton pada tahun ini disusul Indonesia. Sedangkan Malaysia menempati posisi ketiga sebanyak 1,10 juta ton, India 893.000 ton, Vietnam 780.000 ton dan China 679.000 ton.

Dengan kondisi cuaca yang anomali menjadi pengaruh yang besar terhadap produksi karet. Pada saat ini kan seharusnya sudah berakhir masa gugur daun dan di wilayah selatan garis khatulistiwa seharusnya sudah mulai musim kemarau. Ini menghambat kenaikan produksi. Anomali iklim dapat mengakibatkan penurunan produksi karet , pada sekitar 3%-4% dari perkiraan awal produksi karet 2011 sebanyak 3,45 juta ton.

Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Kemudian di Thailand asosiasi natural rubber producing countries di Thailand memperkirakan produk karet alam pada musim dingin yang berlangsung mulai Febuari-Mei berdampak pada menurunnya produk karet hingga 50 persen. Dengan adanya asumsi tersebut, dipastikan Indonesia berpeluang besar untuk memasok karet alam hasil produk Indonesia ke luar negeri/ekspor dan tentunya dengan catatan untuk produk karet Indonesia agar lebih ditingkatkan.(Berbagai data sumber terkait, data diolah F. Hero K. Purba)

Thursday, September 8, 2011

Perkembangan Produk Lada Indonesia dan permintaan Pasar Internasional


Untuk harga Lada berjangka untk penyerahan September 2011 ditutup pada level harga INR32.925 per ton dari harga sebelumnya INR32.918 per ton. Lada di dalam negeri mengalami kenaikkan hingga mencapai 50 persen. Namun hal ini masih membawa harga lada bertahan tinggi antara Rp55.000, Rp66.000-Rp67.000 per kilogram.

Perkembangan data terakhir pada Januari - Juni 2011 ekspor Lada dari enam negara pengekspor utama (Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Sri Lanka) adalah 123.000 mt, mengalami penurunan 3% dibandingkan dengan ekspor 126.000 mt di periode yang sama tahun lalu. ntuk nilai ekspor lada hitam dan lada putih dalam tahun 2001 menunjukkan penurunan. Lada hitam, nilai ekspor tertinggi diperoleh tahun 2000 sebesar US $ 100,6 juta, dan tahun 2001 menurun menjadi US $ 39,9 juta. Sementara itu nilai ekspor lada putih pada tahun 1995 sebesar US $ 69,8 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 140,7 juta pada tahun 1999. Setelah itu nilai ekspor ini menurun menjadi US $ 60,1 juta pada tahun 2001. Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua di dunia setelah Vietnam dengan kontribusi 17 persen dari produksi lada dunia pada 2010. Terintegrasinya dalam harga eksportir dan harga dunia mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar internasional. Hal ini member petunjuk bahwa pengembangan komoditas lada seyogyanya mempertimbangkan efisiensi dan daya saing di pasar dunia. Lada merupakan penyumbang devisa negara terbesar keempat untuk komoditas perkebunan setelah minyak sawit, karet, dan kopi. Lada Indonesia masih mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan, karena lahan yang sesuai untuk lada cukup luas, biaya produksi lebih rendah dibanding negara pesaing, tersedianya teknologi budi daya lada yang efisien, serta adanya peluang melakukan diversifikasi produk apabila harga lada jatuh. (Berbagai sumber data terkait, data diolah F. Hero K. Purba)