Thursday, February 27, 2014

Komoditi Karet Indonesia dalam Potensi Pemasaran Global




Perkembangan komoditi karet menurut data tahun 2011, Indonesia hanya mampu memberikan kontribusi untuk kebutuhan karet dunia sebanyak 2,41 juta ton karet alam atau urutan kedua setelah Thailand yang sebesar 3,25 juta ton. Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Negara penghasil karet alam seperti Thailand, Indonesia dan Malaysia yang dikenal dengan International Tripartite Rubber Council (ITRC) karena ketiga negara tersebut menjadi penghasil karet alam terbesar. Thailand menjadi negara penghasil karet alam terbesar dengan produksi karet pada tahun 2012 sebesar 3,5 juta ton, sementara Indonesia di peringkat kedua dengan produksi karet pada periode yang sama sebesar 3 juta ton kemudian disusul oleh Malaysia dengan produksi 946 ribu ton pada periode yang sama. Jika melihat kondisi harga karet di pasar rubber Tokyo, Jepang sudah berada di level USD 3,3/kg. Untuk terus menjaga stabilitas harga karet, ITRC akan meminta Vietnam untuk ikut bergabung. Pasalnya, secara statistik produksi karet Vietnam juga mempunyai porsi yang cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara (pada tahun 2012 melebihi mencapai 860 ribu ton). Empat Negara yakni Indonesia, Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menguasai hampir 74 persen pasar dunia.
Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian berupaya dalam pembentukan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB). Berfungsinya UPPB, pemasaran Bahan Olah Karet /BOKAR milik anggota kelompok petani pekebun tidak boleh dijual langsung secara sendiri-sendiri kepada pedagang. UPPB dapat bertindak sebagai wakil petani pekebun bila berhadapan dengan pedagang atau pabrik pengolahan BOKAR terutama dalam melakukan transaksi pemasaran, asal UPPB berpedoman pada harga yang berlaku dan harus menjaga mutu BOKAR yang akan dijual. Dengan meningkatkan mutu BOKAR yang dihasilkan oleh petani pekebun, maka pemerintah kabupaten/kota atau instansi terkait bersinergi dengan pelaku usaha agribisnis karet membangun kualitas karet dalam potensi pemasaran Internasional dengan daya saing mutu produk karet yang berkualitas dan kontinuitas, kapasitas dalam memenuhi pemasaran global. (Sumber: data media, BPS, data diolah F. Hero K. Purba).


Monday, February 24, 2014

Potensi Agribisnis Pengolahan Komoditi Pala Sitaro, Sulawesi Utara




Potensi Indonesia kaya akan keanekaragaman komoditas rempah-rempah, beberapa komoditas rempah-rempah yang diperdagangkan di pasar internasional adalah lada, pala, vanila, kayu manis, cengkeh, kapulaga, cabe dan jahe. Dari sekian banyak komoditas rempah-rempah, lada dan pala merupakan komoditas utama dalam perdagangan rempah-rempah dunia, sekaligus merupakan produk ekspor unggulan Indonesia dibandingkan dengan komoditas rempah-rempah lainnya. Bahkan pala dijuluki sebagai “King of Spices“, oleh karena merupakan produk rempah-rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan internasional. Di dunia terdapat dua tipe minyak pala, yaitu minyak pala Indian Timur (East Indian) dan minyak pala Indian Barat (West Indian). Minyak pala Indonesia termasuk minyak pala Indian Timur. Minyak pala Indian Timur memiliki berat jenis 0,885– 0,915 g/ml dan larut dalam alkohol 90% (v/ v) dengan perbandingan 1 bagian minyak dan 3 bagian alkohol. Produk dari pala (biji, fuli dan minyak pala) telah diekspor lebih ke 30 negara. Kabupaten Kepulauan Sitaro (Siau Tagulandang Biaro) rata-rata setahun sebesar 3.485,80 ton, sedangkan Fuli sebesar 348,58 ton. Selain sebagai rempah-rempah, pala juga berfungsi sebagai penghasil minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri pengalengan, minuman dan kosmetik. Potensi Pala Lahan terbesar ada di Kecamatan Siau Timur seluas 692,34 hektare, baik yang sudah menghasilkan seluas 566,54 hektare, maupun sisanya 124,81 hektare yang belum menghasilkan. Luas penanaman pala dalam 1 ha dapat meliputi sebanyak 156 pohon. Tanaman pala ini, sudah mulai berbuah pada usia 7 tahun. Apabila sudah produktif, tanaman pala dapat menghasilkan sebesar 8 kg / pohon / tahun. (sumber data BPS, media, data diolah Hero13).

Upaya memberikan nilai tambah/ added value kepada petani serta berdasarkan berbagai pertimbangan lain seperti tingginya permintaan pasar dunia, harga yang menjanjikan, dan peran Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan minyak pala dunia, sudah sepatutnya minyak pala lebih diutamakan sebagai produk ekspor Sulawesi Utara. Kualitas dari pala Sitaro yang terkenal dengan nama Internasional siau  nutmeg, sangat disukai dan merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Menurut data tahun 2011 lalu, volume ekspor biji pala Sulawesi Utara mencapai 1.907 ton dengan nilai produksi 21,526 juta dolar AS, sedangkan untuk fuli volumenya 238 ton dengan nilai produksi 2,145 juta dolar AS. Sementara untuk tahun 2010 volume ekspor biji pala hanya 657 ton dengan nilai produksi 7 juta dolar AS, sedangkan fuli sekira 238 ton dengan nilai produksi 2,14 juta dolar AS.  Kabupaten Kepulauan Sitaro merupakan salah satu sentra produksi pala di Indonesia. Produksi dan mutu pala Sitaro tidak kalah saing dengan pala Maluku Utara dan Banda. Kontribusi pala terhadap pendapatan dari sektor perkebunan Kabupaten Kepulauan Sitaro cukup besar. Diharapkan prospek masa yang akan datang pala dari Kabupaten Kepulauan Sitaro dapat berkembang dengan baik melihat potensi dan prospek dari produk olahan pala.

Thursday, February 13, 2014

Komoditas Kelapa Dalam Pemanfataan Pengolahan Nilai Ekonomis



Komoditas kelapa merupakan bahan baku yang sangat potensial dan berguna yang menghasilkan produk seperti: minyak kelapa, Virgin coconut oil, gula kelapa dan aneka makanan dan minuman serta produk furniture dari yang digunakan dari kayu kelapa. Dari kondisi lahan yang ada, sebanyak 97,1 persen berupa lahan perkebunan rakyat. Para petani memiliki lahan dengan luas yang sangat sempit dengan teknologi yang masih sangat sederhana. Struktur industri kelapa belum terpadu dan hampir seluruhnya bersifat parsial.
Daya saing produk kelapa pada saat ini terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer, di mana nilai tambah dalam negeri yang dapat tercipta pada produk hilir dapat berlipat ganda daripada produk primernya. Adapun jenis dari olahan minyak Kelapa sebagai berikut: 1. Minyak RBD, Minyak ini berasal dari kopra. Kopra biasanya tercemar oleh debu, kotoran, jamur, kuman dan lain sebagainya. Maka untuk membuatnya jadi minyak berkualitas, kopra diproses dengan 3 tahap yaitu Refining/Netralisasi, Bleaching (pemucatan) dan Deodorisasi (mengurangi warna yang tidak sedap). Minyak ini banyak beredar di pasar-pasar dan supermarket. 2. Minyak Kelapa Tradisional / Kampung.Minyak Tradisioanal/kampung adalah yang paling umum ditemui di masyarakat. Aroma baunya harum, sementara blondo (sisa minyak) digunakan sebagai bumbu masak. Minyak ini diproses dengan cara perasan santan dipanaskan dengan api sedang sampai keluar minyaknya dan terpisah dengan blondonya (ampas). Kelemahan minyak ini adalah tidak tahan lama atau cepat tengik. 3. Minyak Kelapa Murni, Minyak ini diperoleh dari santan dengan tanpa pemanasan, minyak ini terkenal dengan VCO (Virgin Coconut Oil). Khasiat dari minyak ini adalah mampu sebagai obat. Penggunaanya sangat kecil dibandingkan untuk konsumsi. Aroma minyak ini sangat kuat jika digunakan untuk langsung menggoreng dan asapnya sangat banyak, sehingga kadang sangat menggangu udara. Karakteristik minyak ini kurang disukai oleh Ibu-ibu untuk menggoreng atas dasar alasan diatas.  4. Minyak Goreng Kelapa Murni. Kelemahan yang ada pada minyak VCO untuk menggoreng, kami yang ada di Kawasan Industri minyak Kelapa Galur Kulonprogo telah menyempurnakan VCO layak menjadi minyak goreng kelapa premium. Artinya minyak ini mampu  bersaing dengan minyak RBD dalam hal kualitas ketahanan minyak, yaitu dapat tahan 2-3 tahun, lebih unggul dari minyak tradisioanal dan lebih sempurna dari minyak VCO jika digunakan untuk minyak goreng.  Istilah yang kami kembangkan untuk jenis minyak ini adalah Refined VCO. (Berbagai sumber terkait media, litbang Kementan, data diolah F. Hero K. Purba)
Peranan ekonomi untuk  komoditas kelapa belum secara optimal dimanfaatkan bila dilihat dari segi pendapatan petani, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, dan sumber devisa. Hal ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas usahatani dan sangat bervariasinya jumlah pohon kelapa yang ada dalam satu hektar dan rendahnya harga yang diterima oleh petani. Apabila dilihat dari dari segi umur  produktif tanaman kelapa berada pada usia tanaman 15 – 50 tahun. Lokasi  penanaman sangat menentukan produksi/buah kelapa yang dihasilkan dalam 1 pohon. Pada lokasi dataran/pesisir dapat menghasilkan buah antara 35 – 50 biji  per musim panen. Potensi  komoditi kelapa yang tinggi di sentra kelapa maka para pelaku usaha ini tetap  berminat dan  termotivasi menggeluti usaha kelapa yang diolah menjadi kopra atau produk turunan lainnya.

Monday, February 10, 2014

Potensi Lada dalam Persaingan dan Optimalisasi Pengembangan



 Menurut data bahwa Indonesia tercatat menjadi negara produsen lada terbesar kedua di dunia. Sementara itu posisi teratas diduduki oleh Vietnam, dengan produksi nasional mencapai 120.000 metrik ton pada 2012.  Menurut data International Pepper Community (IPC), ekspor lada hitam selama 2011 dari enam negara pengekspor utama (Brasil, India, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Sri Lanka) adalah 242.450 ton. Pada bulan Desember 2010, harga komposit lada hitam tercatat 4.572 dolar AS per metrik ton dan lada putih 7.025 dolar AS per metrik ton, lebih tinggi dari harga komposit pada 2009 yang berturut-turut 3.031 dolar AS per metrik ton dan 4.404 dolar As per metrik ton. Total produksi lada di Indonesia tahun 2011 sebesar 33.000 ton (18.000 ton lada hitam dan 15.000 ton lada putih). Jumlah tersebut lebih rendah daripada tahun 2010 yang mencapai 59.000 mt (terdiri dari 40.000 ton lada hitam dan 19.000 ton lada putih).
Untuk ekspor tahun 2011 diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Hingga Mei 2011, total ekspor dari Vietnam diperkirakan sekitar 50.000 mt, yang 9.000 mt rendah dari periode yang sama. Amerika Serikat dan Jerman adalah pasar utama untuk Lada. Vietnam, diikuti oleh Belanda, Uni Emirat Arab dan Mesir.Nilai ekspor lada hitam dan lada putih dalam tahun 2001 menunjukkan penurunan. Lada hitam, nilai ekspor tertinggi diperoleh tahun 2000 sebesar US $ 100,6 juta, dan tahun 2001 menurun menjadi US $ 39,9 juta. Sementara itu nilai ekspor lada putih pada tahun 1995 sebesar US $ 69,8 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 140,7 juta pada tahun 1999. Setelah itu nilai ekspor ini menurun menjadi US $ 60,1 juta pada tahun 2001. Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua di dunia setelah Vietnam dengan kontribusi 17 persen dari produksi lada dunia pada 2010. Terintegrasinya dalam harga eksportir dan harga dunia mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar internasional. Hal ini member petunjuk bahwa pengembangan komoditas lada seyogyanya mempertimbangkan efisiensi dan daya saing di pasar dunia. Lada merupakan penyumbang devisa negara terbesar keempat untuk komoditas perkebunan setelah minyak sawit, karet, dan kopi. Lada Indonesia masih mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan, karena lahan yang sesuai untuk lada cukup luas, biaya produksi lebih rendah dibanding negara pesaing, tersedianya teknologi budi daya lada yang efisien, serta adanya peluang melakukan diversifikasi produk apabila harga lada jatuh.
Terintegrasinya dalam harga eksportir dan harga dunia mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar internasional.  Perkembangan lada putih Indonesia di pasar internasional seringkali dihadapkan pada permasalahan volume ekspor dan harga yang terus berfluktuasi. Negara pengimpor lada dari Indonesia cenderung menerapkan persyaratan mutu produk yang sangat ketat. Lada putih Indonesia di pasar internasional juga dihadapkan pada masalah persaingan diantara negara produsen. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil utama lada, strateginya adalah mengembangkan lada yang sesuai, serta menerapkan eknologi rekomendasi dan efisiensi biaya produksi. Dari sisi permintaan, impor lada ke Amerika Serikat selama periode Januari – November 2011 menunjukkan angka 64.276 ton yang terdiri dari 47.742 mt lada hitam, 5.331 mt lada putih dan 11.203 ton groud pepper. Impor sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan impor AS dari 63.274 ton pada periode yang sama tahun lalu. Indonesia tetap menjadi pemasok terbesar lada hitam keseluruhan untuk pasar AS, pengiriman 17.844 ton (37 persen), diikuti oleh Vietnam (12.424 ton), Brasil (11.427 ton) dan India (5285 mt). Daya saing lada Indonesia dipasar Internasional dapat ditingkatkanmelalui peningkatan produktivitas, mutu hasil dan diversifikasi produk bila produk utama harganya jatuh. Hal yang terpenting adalah sistem kelembagaan pada tingkat petani dan penerapan jaminan mutu dan teknologi pengolahannya dengan melihat kondisi cuaca dan efisiensi perhitungan pembiayaannya. (Sumber: Data IPC, BPS, berbagai sumber terkait, data diolah F.Hero Purba.2013)