Friday, May 30, 2014

Tantangan Dalam Peran Komoditas Pertanian dalam ASEAN 2015 dan Persaingan Perdagangan Global



Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang diikuti oleh 10 negara anggota ASEAN yang memiliki total penduduk 600 juta jiwa dimana 43 persen jumlah penduduk itu berada di Indonesia. Fenomena dalam globalisasi yang menciptakan regionalisasi dan liberalisasi di berbagai sektor berdampak langsung terhadap sistem perekonomian dunia, dengan memasuki era globalisasi, AFTA merupakan integrasi perdagangan yang tidak dapat dielakkan lagi bagi Indonesia. Berbagai Industri perdagangan baik berupa barang maupun jasa di negara – negara ASEAN lainnya semakin berkembang dan kompetitif, apalagi pasar Indonesia menjadi sasaran yang asangat diminati oleh negara lain, khususnya negara – negara di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian Industri dalam negeri memiliki kompetitor – kompetitor yang semakin sengit dalam bersaing. Kesepakatan perdagangan antara lain dilakukan dengan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun bukan tarif. Selain itu, hambatan-hambatan perdagangan lain seperti subsidi atau proteksi lainnya juga mulai dihilangkan secara bertahap.
Menurut data Indonesia saat ini hanya menempati posisi ke-6 dalam peringkat kesiapan negara-negara ASEAN dalam menghadapi implementasi Pasar Tunggal ASEAN 2015 mendatang. Dalam matrik penilaian yang dirilis Sekretariat ASEAN, skor yang berhasil dikumpulkan Indonesia baru mencapai 81,3 persen, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara pesaing lainnya seperti Thailand, Malaysia, Laos, Singapura, dan Kamboja. Pada penilaian tahap ke-3 (2012-2013), Thailand menjadi negara yang paling siap dalam menghadapi implementasi Pasar Tunggal ASEAN 2015, dengan tingkat kesiapan 84,6 persen, disusul Malaysia dan Laos yang telah mengumpulkan poin 84,3 persen. Posisi selanjutnya ditempati Singapura dengan 84 persen, dan Kamboja dengan 82 persen. Meski hanya menempati posisi ke-6, namun secara proses, peringkat Indonesia terus menunjukan positif di mana pada tahap ke-1 (2008-2009), Indonesia menempati posisi ke-9 dari 10 negara ASEAN. Pada penilaian tahap ke-2 (2010-2011), bergerak ke posisi 8.
Negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa ada beberapa faktor yang terkait dengan kondisi terkini pada pasar pangan dan produk pertanian. Dari sisi suplai, kenaikan tajam biaya produksi pertanian karena kenaikan harga minyak (bensin dan solar) dan pupuk, jatuhnya produksi karena pola iklim yang tidak beraturan, dan lebih tingginya biaya penyimpanan komoditi yang mudah rusak seperti bahan pangan, termasuk beberapa faktor  penyebab kenaikan harga-harga pangan.
Untuk implementasinya memerlukan teknologi pertanian terkait, baik yang bersifat padat karya, semi padat karya atau semi padat modal dan padat modal. Yang perlu diperhatikan berupa penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin, namun tentunya harus dilakukan secara bertahap seiring dengan peningkatan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam menjalankan kegiatan usaha atau menemukembangkan usaha baru, baik di bidang pertanian maupun di luar bidang pertanian.
Berbagai permasalahan yang terjadi di sektor pertanian, seperti peningkatan kebutuhan baku berbasis perkebunan, swasembada pangan, kepemilikan lahan, arah pengembangan bioteknologi, dan problem pertanian di negeri ini, memerlukan kecerdikan untuk menghadapi masalah-masalah itu. Keberanian membuat keputusan pengaturan impor bahan pangan Pertanian dengan mempertimbangkan segala aspek dan dampak dalam mengatasi masalah dan tantangan di masa mendatang. (Sources: Berbagai sumber media terkait, data diolah F. Hero K. Purba).
Phenomenon in the regionalization and globalization are creating liberalization in various sectors directly affected the world economic system, with entered the era of globalization, trade integration that AFTA is inevitable for Indonesia . Various trade industry in the form of goods and services in the country - the other ASEAN countries increasingly growing and competitive, let alone subjected to the Indonesian market asangat demand by other countries, especially countries in Southeast Asia . Thus the domestic industry has competitors in the increasingly fierce competition. Trade agreements, among others, performed by eliminating trade barriers both tariff and non-tariff barriers. In addition, other trade barriers such as subsidies or other protection also began being phased out. Based on data from Indonesia currently only occupies the 6th position in the ranking readiness of ASEAN countries in dealing with the implementation of the ASEAN Single Market by 2015. In a judgment released matrix ASEAN Secretariat, Indonesia scores collected only reached 81.3 percent, far behind compared to other competing countries such as Thailand, Malaysia, Laos, Singapore, and Cambodia. In the assessment phase - 3 (2012-2013) , Thailand became the country most ready to face the implementation of the ASEAN Single Market by 2015 , with 84.6 percent readiness rate, followed by Malaysia and Laos who have accumulated points, 84.3 percent . The next position is occupied Singapore with 84 percent, and Cambodia with 82 percent. Despite finishing 6th, but in the process, the ratings continued to show positive Indonesia where the stage- 1 (2008-2009), Indonesia ranks 9th out of 10 ASEAN countries . At the assessment stage-2 (2010-2011), moved to position 8. ASEAN member countries realize that there are several factors associated with the current conditions in the market for food and agricultural products. From the supply side, the sharp rise in the cost of agricultural production due to rising oil prices (gasoline and diesel ) and fertilizer, the fall production because of irregular weather patterns , and the higher costs of storage of perishable commodities such as foodstuffs , including some of the factors causing price increases - food prices. To require implementation of technology related to agriculture, both of which is labor intensive, semi -intensive or semi- intensive and capital-intensive capital. To note the form of job creation for the people, especially the poor, but it must be done gradually with increasing their skills and knowledge in running a business or a new venture to find out, both in agriculture and outside agriculture. Various problems in the agricultural sector, such as the increased need for plantation-based raw, food security, land tenure, towards development of biotechnology , and agricultural problems in the country, requiring ingenuity to deal with these problems. Courage to make the decision of Agriculture food import settings by taking into consideration all aspects and impact in addressing the problems and challenges in the future.

Pengolahan Gula Kelapa Kabupaten Banyumas dalam Pengembangan Agroindustri Kelapa dan Potensi Pemasaran Ekspor



Produksi gula kelapa asal Banyumas bisa mencapai 63.102 per tahun. Dari hasil produksi perajin gula kelapa ini, tidak hanya dipasarkan di dalam negeri. Namun sudah ada yang diekspor ke Singapura, Jepang, Korea, Belanda, Jerman, Timur Tengah dan AS. Masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, pekebun dan buruh.Mayoritas asyarakat sekitar 634 KK bermata pencaharian sebagai petani penderes gula kelapa.Kondisi masyarakat masih banyak yang mengalami kemiskinan. Pengolahan gula kelapa masih sederhana terfokus pada gula cetak  dan secara turun temurun.Masyarakat masih terbelit sistim ijon demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk gula kelapa kualitas ekspor, misalnya, di tingkat petani (belum termasuk ongkos kirim dan kemasan) harganya sekitar Rp 5.000 per kilogram. Perajin di Banyumas mempunyai posisi tawar karena mampu menjaga kualitas gulanya. Untuk mempertahankan harga dan lebih menyejahterakan petani, salah satu inovasi yang dilakukan para perajin adalah membuat gula kelapa kristal yang sering disebut brown sugar. Dalam waktu pengerjaan gula ini empat jam lebih lama, tetapi harga di tingkat petani bisa mencapai Rp 9.000 per kilogram. Gula jenis ini banyak diminati di luar negeri, khususnya Jerman dan Jepang untuk industri perhotelan, supermarket, pabrik kecap.
Pemerintah Kabupaten Banyumas tengah mendorong peningkatan mutu dengan pabrikasi dan diversifikasi produk olahan dan pemberian bantuan bibit pohon kelapa berkualitas untuk peremajaan. Selain itu memberikan pembinaan dan pelatihan kepada perajin berupa teknik dan budidaya tanaman serta peralatan pengolah gula kelapa, pemberian bantuan simpan pinjam dan fasilitasi pinjaman perbankan. Untuk meningkatkan kualitas dalam memproses gula kelapa, termasuk dari sisi higienitas dan keseragaman produk diperlukan pemahaman secara menyeluruh kepada kelompok perajin gula kelapa sehingga prospek ke depan dapat mempertahankan permintaan pasar lebih baik lagi. (Berbagai sumber terkait, data diolah Hero13)
 

Wednesday, May 28, 2014

Susu dan Produk Olahan Susu dalam Mengantisipasi Lonjakan Impor dan Pemasaran



Berdasarkan data  Badan Pusat Statistik, yaitu, sepanjang Januari 2014, ada lima negara eksportir utama susu sapi ke Indonesia. Kelima negara itu adalah Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Belgia, dan Kanada. Dalam hal ini nilai transaksi impor susu sapi dari kelima negara itu mencapai US$ 54,64 juta. Adapun berat yang telah diimpor sepanjang Januari 2014 ialah 12,09 juta kilogram. Amerika Serikat menjadi negara pengimpor susu sapi terbesar dengan nilai transaksi sebesar US$ 16,37 juta dan berat 3,04 juta kilogram. Data setiap tahun Indonesia rutin melakukan importasi susu sebesar US$ 700 juta atau sekitar Rp 6,65 triliun. Saat ini kontribusi susu lokal hanya 25% atau sebesar 1.800 ton. Saat ini pun kita masih impor susu sebesar 75% dari kebutuhan nasional atau US$ 700 juta tiap tahun. Untuk produk Susu harus memenuh syarat-syarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Susu juga mudah rusak bila penanganannya kurang baik sehingga mempunyai masa simpan yang relatif singkat. Untuk menangani kelebihan produksi susu, langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu untuk memperpanjang masa simpan melalui proses pengolahan. Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam industri susu nasional. Diperlukan peran pemerintah untuk meningkatkan pasokan bahan baku susu nasional dengan menggalakkan program ternak sapi. Untuk total kebutuhan bahan baku susu tercatat 3,2 juta ton per tahun, sedangkan pasokan dari peternak hanya 690.000 ton yang dihasilkan oleh sekitar 597.135 ekor sapi perah.
Sebagai salah satu contoh dalam pengembangan Gabungan Kelompok Ternak Makmur Agro Satwa yang berlokasi Desa Sukamekar Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi. Dalam membina Gapoknak ini Pimpinan Gapoknak MAS Sentot Joko Priyono mengatakan bahwa semua prestasi yang diraihnya tersebut merupakan keberhasilan tim yang mau bersama-sama bekerja keras dalam mencerdaskan anak bangsa. Gapoknak MAS yang berdiri sejak Januari 2008, berhasil mencetuskan berbagai program unggulan. Dukungan dari Pemda Sukabumi dan Pemerintah Pusat dalam pembinaan terhadap Gapoknak ini.  Adapun Program dari Gapoktan Makmur Agro Satwa yaitu Gerimis MANDIRI (gerakan mengkonsumsi susu bagi anak usia sekolah secara mandiri). Bekerjasama dengan karang taruna, kelompok wanita usaha, kelompok pemuda dan PKK, program ini menghimbau agar sekolah menyelenggarakan minum susu minimal 1(satu) kali dalam seminggu. Dimana program ini bergerak tanpa ada intervensi dari pemerintah baik dari sisi teknis maupun pembiayaan. Gerimis Peri (gerakan mengkonsumsi susu di lingkungan pegawai negeri). Bekerjasama dengan PKK utuk menghimbau keluarga pegawai negeri untuk mengkonsumsi susu murni dan olahannya minimal 1 liter dalam seminggu. Gerimis Pesta (gerakan mengkonsumsi susu di kalangan pegawai swasta). Bekerjasama dengan PKK. Gerimis Kawin (gerakan mengkonsumsi susu di lingkungan karyawan industri). Bekerjasama dengan SPSI atau kelembagaan buruh yang ada di masing-masing lokasi industri untuk mewajibkan para karyawan atau buruh mengkonsumsi susu dan produk olahanya yang dibiayai oleh manajemen industri yang bersangkutan dalam rangka peningkatan kesehatan karyawan.
Menurut data Dewan Persusuan Nasional tahun 2013 ini persentase susu segar untuk memasok kebutuhan nasional diyakini menurun dibandingkan tahun 2012. Prooduksi susu segar di tahaun 2013 diperkirakan turun sekitar 10 -15 persen. strategi pengembangan yang seyogyanya segera dilaksanakan adalah berkaitan dengan upaya peningkatan keunggulan daya saing agribisnis susu segar tersebut.
Untuk proses pengolahan susu bertujuan untuk memperoleh susu yang beraneka ragam, berkualitas tinggi, berkadar gizi tinggi, tahan simpan, mempermudah pemasaran dan transportasi, sekaligus meningkatkan nilai tukar dan daya guna bahan mentahnya. Proses pengolahan susu selalu berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu di bidang tekologi pangan. Potensi sumberdaya alam Indonesia yang besar bagi pengembangan agribisnis persusuan, adalah ironis jika sebagian besar dari kebutuhan susu Indonesia masih harus diimpor. Dengan demikian, pemerintah dan stakeholder lainnya perlu berupaya keras meningkatkan pangsa pasar (market share) para pelaku pasar domestik dalam agribisnis persusuan Indonesia. (Source: Berbagai Sumber media terkait, data DPN, data F. Hero K. Purba).

Monday, May 26, 2014

Perkembangan Potensi Peluang dan Tantangan Komoditi Karet Dalam Prospek Pemasaran




Kebijakan dalam komoditi karet yang awalnya hanya diintervensi oleh 3 negara yaitu Thailand, Indonesia, dan Malaysia di dalam International Tripartit Rubber Corporation (ITRC). Untuk harga karet dunia dalam beberapa waktu terakhir anjlok cukup signifikan menjadi US$ 1,6/kg atau Rp 16.000/kg dari US$ 5,7 atau Rp 57.000/kg. Sementara harga di tingkat petani hanya Rp 6.000-7.000/kg. Perkembangan komoditi karet menurut data tahun 2012, Indonesia hanya mampu memberikan kontribusi untuk kebutuhan karet dunia sebanyak 2,41 juta ton karet alam atau urutan kedua setelah Thailand yang sebesar 3,25 juta ton. Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Negara penghasil karet alam seperti Thailand, Indonesia dan Malaysia yang dikenal dengan International Tripartite Rubber Council (ITRC) karena ketiga negara tersebut menjadi penghasil karet alam terbesar. Thailand menjadi negara penghasil karet alam terbesar dengan produksi karet pada tahun 2012 sebesar 3,5 juta ton, sementara Indonesia di peringkat kedua dengan produksi karet pada periode yang sama sebesar 3 juta ton kemudian disusul oleh Malaysia dengan produksi 946 ribu ton pada periode yang sama. Jika melihat kondisi harga karet di pasar rubber Tokyo, Jepang sudah berada di level USD 3,3/kg. Untuk terus menjaga stabilitas harga karet, ITRC akan meminta Vietnam untuk ikut bergabung. Pasalnya, secara statistik produksi karet Vietnam juga mempunyai porsi yang cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara (pada tahun 2012 melebihi mencapai 860 ribu ton). Empat Negara yakni Indonesia, Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menguasai hampir 74 persen pasar dunia.
Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian berupaya dalam pembentukan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB). Berfungsinya UPPB, pemasaran Bahan Olah Karet /BOKAR milik anggota kelompok petani pekebun tidak boleh dijual langsung secara sendiri-sendiri kepada pedagang. UPPB dapat bertindak sebagai wakil petani pekebun bila berhadapan dengan pedagang atau pabrik pengolahan BOKAR terutama dalam melakukan transaksi pemasaran, asal UPPB berpedoman pada harga yang berlaku dan harus menjaga mutu BOKAR yang akan dijual. Dengan meningkatkan mutu BOKAR yang dihasilkan oleh petani pekebun, maka pemerintah kabupaten/kota atau instansi terkait bersinergi dengan pelaku usaha agribisnis karet membangun kualitas karet dalam potensi pemasaran Internasional dengan daya saing mutu produk karet yang berkualitas dan kontinuitas, kapasitas dalam memenuhi pemasaran global. (Sumber: data media, BPS, data diolah F. Hero K. Purba).