Friday, May 29, 2015

Kakao Indonesia Dalam Peningkatan Daya Saing Produk Olahan Pemasaran Global




Produk kakao olahan sedang digalakkan untuk mendorong tumbuhnya industri hilir di dalam negeri. Produk olahan yang dimaksud berupa serbuk ataupun minyak cokelat. Produk tersebut memberi nilai tambah bagi penyerapan tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian nasional. Untuk konsumsi cokelat di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia. Sebut saja Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Minimnya konsumsi cokelat di Indonesia, tidak terlepas dari faktor kebiasaan dan budaya yang berkembang. Indonesia menjadi salah satu produsen utama kakao di dunia. Namun belum banyak produk cokelat siap konsumsi lokal Indonesia yang inovatif dalam mengemas dan menjual produk ke masyarakat luas.

Biji kakao Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional diharapkan akan lebih banyak lagi negara yang membutuhkan kakao biji dari Indonesia dan produsen akan lebih bersemangat untuk memproduksi kakao biji dengan mutu yang lebih baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Menurut data BPS pada tahun 2010-2012 biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton. Untuk  pasca kebijakan bea keluar terdapat peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun 2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011. Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada tahun 2014. Kapasitas terpasang dari 660.000 ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun pada 2015.Untuk luas areal tanaman kakao Indonesia mencapai 1,4 juta hektar dengan produksi 803 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading diikuti Ghana pada urutan ketiga, Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 Ha dan produksi 795.581 ton. Secara umum didunia terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia sekitar 20% dan Amerika latin sekitar 15%. Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Total produksi kakao Indonesia sekitar 16 persen dari total produksi dunia, namun jumlah yang diekspor masih kurang dari 5 persen. Selain itu produsen di Indonesia masih mempunyai posisi tawar yang lemah ditunjukkan oleh harga kakao yang mudah berfluktuasi pada tingkat yang rendah.
Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi/produk yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan. Perdagangan luar negeri komoditi/produk tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558 Ha pada tahun 2009. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.Kebijakan umum di bidang perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor, dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan impor ada dua, yakni (1) mengurangi impor, dengan prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar atau (2) menambah impor, jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Potensi pengembangan daya saing produk kakao diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Pengembangan produk olahan kakao, pemerintah juga telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengaruh persaingan /daya saing didasarkan pada perubahan pangsa pasar negara pengekspor yang dianalisis (Indonesia) di pasar negara tertentu untuk suatu komoditas tertentu hanya dapat berlangsung selama waktu analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif komoditas negara pengekspor (Indonesia). Daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.(Berbagai sumber media terkait, data -data diolah F. Hero K. Purba)

Thursday, May 28, 2015

Daya Saing dan Potensi Sagu dan Pengembangan Pemanfaatan di Indonesia



Sagu sangat potensial dalam pengembangannya karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dimanfaatkan secara optimal dalam menerobos pangsa pasar lokal dan Internasional. Sagu merupakan anugerah kekayaan alam Indonesia yang paling luas di dunia. Diperkirakan luas lahan sagu dunia mencapai 2,2 juta hektar (ha), sekitar 50% berada di Indonesia. Areal penanaman sagu di Indonesia tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi Utara,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dan Selatan, Jambi, Riau dan Kepulauan Riau.Pengembangan Komoditi tanaman sagu di Papua yang sangat luas, peluang pengembangan industri rumah tangga hasil olahan sagu sangat besar. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan keterampilan masyarakat Papua dapat menopang keberhasilan pengembangan industri rumah tangga berbasis sagu. Pemanfaatan Sagu (Metroxylon sp.) Untuk potensi usaha lokal di masyarakat. Berdasarkan data bahwa luas hutan sagu di Indonesia mencapai 1.250.000 ha dan budidaya sagu sekitar 148.000 ha. Di wilayah Papua sendiri, terdapat areal sagu sekitar 1.200.000 ha. Dalam skala dunia, Indonesia memiliki areal sagu alam sebesar 96%, dan Papua menyumbang 53% dari total luas lahan sagu dunia yang mencapai 2.250,000 ha. Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu Indonesia menurut Prof. Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,4-13,6 juta ton per tahun. Tetapi data luas areal sagu ini, perlu diteliti lagi ketepatannya melalui metode dan teknik yang lebih akurat dan mutakhir, karena berbagai sumber informasi lainnya, khususnya provinsi Papua dan Papua Barat yang mencakup 90% sagu di Indonesia, sangat besar perbedaannya yaitu dari 600.000-5 juta ha. Data sagu perlu diperbaiki, apalagi data yang dipakai selama ini, selain sudah puluhan tahun, dan ternyata sebagian besar merupakan data perkiraan. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Area tumbuh seperti gambaran di atas, sagu mampu menghasilkan produk terbaiknya bagi kebutuhan manusia. Padahal, risiko tanaman sagu di area tumbuh seperti itu juga cukup rentan terhadap serangan hama dan ragam penyebab kerusakan lahannya. Pada sagu usia muda (3-4 tahun) biasanya mulai dilakukan penyiangan gulma, sebab gulma dapat menyebabkan kebakaran lahan kebun sagu. Dari gulma, juga dapat menjelma menjadi hama perusak pohon sagu. Dalam masa-masa pertumbuhan, sagu mengalami gangguan mulai dari akar hingga dedaunannya. Akar sagu akan mati jika pengairan dan tanah di rawah tidak menunjang untuk pernapasan akar, akibatnya pohon sagu pun bisa mati yang mengakibatkan gagal panen. Batang dan daun sagu juga sering terserang hama, ciri dari serangan hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas oryctes. Apabila serangan terjadi pada titik tumbuh, dapat menyebabkan kematian pohon. Adapun beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional yang sering dilakukan yakni: Pertama, batang sagu dapat digunakan sebagai saluran air untuk irigasi persawahan atau ladang, batang sagu dapat dibelah lebih tipis untuk dijadikan papan alas saung di perkembunan, dan menjadikan batang sagu sebagai pagar area perkebunan. Kedua, pati sagu dalam batang dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan seperti mie dan beragam jenis kue. (Berbagai sumber media terkait, litbang Deptan, data diolah F Hero K. Purba).

Monday, May 25, 2015

Pengelolaan Ternak Sapi Indonesia dalam Konsumsi Kebutuhan dan Usaha Agribisnis Peternakan





Perkembangan pertumbuhan produksi daging sapi pada  tahun 2014 sebesar 23 persen. Tahun 2013 produksi daging sapi sebesar 430.000 ton, dan tahun depan produksinya ditargetkan 530.000 ton. Tahun 2012, pemerintah Indonesia menghitung kebutuhan daging sebesar 484 ribu ton. ketersediaan daging sapi hanya mampu memenuhi 399 ribu ton, sisanya 85 ribu ton dipenuhi dari impor. Untuk jumlah impor tahun 2012 terbagi atas daging sapi sebesar 34 ribu ton, dan sapi bakalan 283 ribu ekor. Harga daging sapi impor berpengaruh negatif terhadap jumlah impor daging sapi, namun pengaruhnya tidak nyata. Pada umumnya, konsumen daging sapi impor mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, maka kenaikan harga daging sapi impor tidak memberikan pengaruh berarti terhadap volume impor. Sedangkan tahun lalu, pemerintah Indonesia memberikan kuota impor daging sapi sekitar 90 ribu ton, dan sapi bakalan 600 ribu ekor. Untuk tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia pada tahun 2011 hanya 4,7 gram per orang per hari. Angkat ini sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 10 gr/orang/hari. Sementara Korea, Brasil, dan China sekitar 20-40 gram/orang/hari. negara-negara maju seperti Amerika Serikat, prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris mencapai 50-80 gr/kapita/hari. Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung.Untuk tingkat konsumsi yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan daging dan produksi ternak lainnya dan tingkat pendapatan rumahtangga (purchasing Berdasarkan  data BPS, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Provinsi NTT 778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Peterrnak merupakan hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. Dalam kegiatan ini, ternak yang dimaksudkan adalah Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau. Segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
Untuk wilayah yang merupakan sumber utama ternak sapi potong adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Barat, Bali, NTT, Sumsel, NTB, dan Lampung. Kemudian wilayah yang mempunyai potensi cukup besar untuk ternak kambing dan domba adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumut, NAD, Banten, dan Sulsel. Sedangkan wilayah yang potensial untuk perkembangan ternak domba adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Untuk itu , Peternak berskala kecil dan menengah diberi prioritas untuk melakukan usaha budidaya dan pengembangbiakan ternak Indonesia yang kehidupannya masih alami dan belum tersentuh teknologi namun berpotensi ekonomi, misalnya ternak ayam Indonesia (baik asli maupun lokal). Praktisi bidang peternakan, maupun masyarakat luas harus difasilitasi dan dibina dalam upaya meningkatkan mutu genetik ternaknya melalui program persilangan yang secara ekonomis memang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternaknya. Indonesia, dengan penduduk yang hampir mencapai 237 juta jiwa ternyata mengkonsumsi telur dan daging ayam yang relatif rendah dibanding di negara-negara tetangga. Rata rata konsumsi telur nasional 87 butir/ kapita/tahun dan daging ayam 7 kg/kapita/tahun, bandingkan dengan konsumsi telur di Malaysia yang mencapai 311 butir/kapita/tahun (hampir 1 butir/kapita/hari) dan daging ayam mencapai 36 kg/kapita/tahun. Dalam hal ini perlu upaya serius harus dilakukan oleh berbagai pihak dalam meningkatkan konsumsi protein hewani tersebut. (Berbagai sumber terkait, data BPS, DitjenNak,Kementan, data diolah F. Hero K. Purba)

Thursday, May 21, 2015

Peluang dan Potensi Serabut Kelapa (Coco Fiber) dalam Pengembangan dan Persaingan Usaha di Pasar Internasional




Potensi serat sabut kelapa yang dicari pasar sebagai bahan baku jok mobil, furniture, pot, geotekstil, maupun matras. Pemasaran kspor dan domestik menyerap produk itu dalam jumlah besar. Coconutfiber merupakan serat sabut atau yang prioritas diekstrak dari kulit luar dari buah kelapa. Hal ini digunakan dalam berbagai cara di seluruh dunia, dan menjadi sangat populer untuk tali dan tikar, dan ada sejumlah sumber untuk sabut dan coir produk. Coir berasal dari lapisan berserat kusut ditemukan Antara sekam dalam dan luar kelapa. Untuk memproses sabut, sabut kelapa secara klasik Direndam menyebabkan serat membengkak dan melonggarkan sehingga mereka dapat ditarik terpisah. Ada dua jenis coconutfiber: serat sabut putih dan coklat. Coconutfiber putih berasal dari kelapa muda, sementara coconutfiber coklat berasal dari spesimen yang lebih matang. Dalam kelapa matang, lapisan lignin telah disimpan dalam dinding serat selulosa, menyebabkan ia gelap dalam penampilan. Setelah diekstrak dari kelapa, serat dapat berputar atau kusut.
Produk yang dihasilkan dari komoditas kelapa antara lain berupa serat sabut kelapa atau "coco fiber" untuk bahan baku industri bernilai ekonomi tinggi, seperti spring bed, matras, sofa, bantal, jok mobil, karpet dan tali. produksi buah kelapa Indonesia yang mencapai 15 miliar butir per tahun, dan baru dapat diolah sekitar 480 juta butir atau 3,2 persen per tahun.Setiap butir sabut kelapa rata-rata menghasilkan serat sabut kelapa atau dalam perdagangan internasional disebut coco fiber sebanyak 0,15 kilogram dan serbuk sabut kelapa atau coco peat sebanyak 0,39 kilogram. Indonesia yang hanya mampu memasok sabut kelapa sekitar 10 persen dari kebutuhan dunia. Sebagai salah satu contoh Shengyang, produsen kasur pegas dan mebel, meminta pasokan 700 ton serat sabut untuk masa kontrak 12 bulan. Artinya, bahwa mesti menyiapkan rata-rata 58 ton tiap bulan selama setahun. Ia lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan Shengyang Xudong ketimbang importir lain. Serat sabut, hanya produk sampingan dari kelapa, kini diminati, khususnya negara China. Di Sri Lanka, meskipun tanaman kelapa tahunan rata-rata produksi sabut hanya sekitar 80.000 ton dan yang diekspor sekitar 70.000 ton. Vietnam merupakan pendatang baru di pasar, ekspor serabut kelapa sekitar 114.000 ton.  Sri Lanka tidak dapat merebut kesempatan, karena hanya 25 persen dari sabut kelapa yang tersedia di negara tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan sabut dan keseimbangan Hampir 75 persen menjadi limbah. Pendapatan yang diperoleh oleh ekspor serat di Rs 6,4 miliar dan jika total potensi dimanfaatkan negara akan menjadi kaya oleh sekitar lain Rs 20 miliar. Untuk Serat sabut kelapa Indonesia dihadapkan kepada negara-negara pesaing yang lebih maju dalam hal teknologi produksi serat sabut kelapa, sehingga mempunyai kualitas yang lebih unggul. Persaingan tersebut juga dihadapi oleh karena perkembangan aplikasi teknologi yang lebih maju dalam membuat produk industri dengan bahan baku serat sabut kelapa. Negara-negara pesaing Indonesia tersebut antara lain adalah Srilanka, Philippines,India dan Thailand. Untuk Serat sabut kelapa Indonesia dihadapkan kepada negara-negara pesaing yang lebih maju dalam hal teknologi produksi serat sabut kelapa, sehingga mempunyai kualitas yang lebih unggul. Persaingan tersebut juga dihadapi oleh karena perkembangan aplikasi teknologi yang lebih maju dalam membuat produk industri dengan bahan baku serat sabut kelapa. (Sumber: Data media, data statistic, data diolah F. Hero K. Purba)