Thursday, July 30, 2015

Potensi Pengembangan Agribisnis Pertanian Organik di Era Global




 Volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplay oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Pola hidup sehat mulai sangat penting diperhatikan terutama dari segi pangan organik untuk kesehatan sebagai pengembangan agribisnis. Konsumen akan memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan, sehingga mendorong meningkatnya permintaan produk organik.Tentunya kita harus mengetahui apa sesungguhnya pertanian organik yakni adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco-labelling attributes). Preferensi konsumen seperti ini menyebabkan permintaan produk pertanian organik dunia meningkat pesat. (Berbagai sumber terkait, data diolah F Hero K. Purba).
Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2002). Pertanian organik menuntut agar lahan yang digunakan tidak atau belum tercemar oleh bahan kimia dan mempunyai aksesibilitas yang baik. Kualitas dan luasan menjadi pertimbangan dalam pemilihan lahan. Lahan yang belum tercemar adalah lahan yang belum diusahakan, tetapi secara umum lahan demikian kurang subur. Lahan yang subur umumnya telah diusahakan secara intensif dengan menggunakan bahan pupuk dan pestisida kimia. Menggunakan lahan seperti ini memerlukan masa konversi cukup lama, yaitu sekitar 2 tahun.
Potensi pasar produk pertanian organik di dalam negeri sangat kecil, hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas. Berbagai kendala yang dihadapi antara lain:1) Belum ada insentif harga yang memadai untuk produsen produk pertanian organik. 2) Perlu adanya investasi mahal pada awal pengembangan karena harus memilih lahan yang benar-benar steril dari bahan agrokimia. 3) Belum ada kepastian pasar, sehingga petani enggan memproduksi komoditas tersebut Dalam Budidaya organik pertaniannya menggunakan teknologi dan pengetahuan organik yang dikembangkan sendiri berdasarkan temuan-temuan kondisi di lapangan tanpa menggunakan bahan kimiawi, non benih transgenik/hibrida, non pupuk kimiawi NPK, non racun pestisida atau insektisida. Selain itu juga mengembangkan pola-pola SQ/EQ pertanian dan mengembangkan usaha-usaha pertanian organik yang tergabung dalam komunitas Organik Hijau. Selain memecahkan permasalahan budidaya konvensional di kalangan petani, bersama petani membangun langkah-langkah praktis untuk membangun daerahnya dengan cara efisien, menggunakan materi disekitarnya, memangkas ongkos produksi sekaligus meningkatkan hasil budidayanya.(Sources: organikhijau, other sources material).
Pengembangan strategi pertanian organik sebagai agribisnis perlu dilihat dari beberapa aspek untuk memungkinkan pengembangan dimasa yang akan datang. Budidaya pertanian organik ternyata tidak hanya mampu memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak. Model usaha mikro pertanian ini ternyata mampu mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi ketimbang budidaya anorganik. Hal ini perlu digiatkan dalam pembentuk kelembagaan petani organik dan system sertifikasi, sehingga dapat mampu bersaing di pasar global.

Monday, July 27, 2015

Pengembangan Dalam Pengolahan Hasil Pertanian Berdaya Saing Dalam Strategi Pemasaran



Potensi pengembangan pengolahan hasil-hasil pertanian serta menjadi wadah kemitraan untuk pengembangan agroindustri lokal. Transformasi pembangunan dibidang pertanian kepada pembangunan yang digerakkan oleh modal dan selanjutnya digerakkan oleh inovasi. Sehingga melalui membangun agribisnis akan mampu mentransformasikan perekonomian Indonesia dari berbasis pertanian dengan produk utama (Natural resources and unskill labor intensive) kepada perekonomian berbasis industri dengan produk utama bersifat Capital and skill Labor Intesif dan kepada perekonomian berbasis inovasi dengan produk utama bersifat Innovation and skill labor intensive. Aktivitas pengolahan hasil pertanian sederhana di tingkat petani, tetapi menyangkut keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen produk pertanian sampai pada tingkat pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added (nilai tambah) dari produksi primer tersebut. Dengan demikian proses pengupasan, pembersihan, pengekstraksian, penggilingan, pembekuan, pengeringan, dan peningkatan mutu. Sub sistem pemasaran mencakup pemasaran hasil-hasil usahatani dan agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama subsistem ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan market intelligence pada pasar domestik dan pasar luar negeri.
Untuk keunggulan kompetitif hasil olahan produk pertanian merupakan hasil interaksi dari tiga tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari produk, dan pasar sarana produksi. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian, merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usaha tani, pemasaran domestik, dan pemasaran internasional. Menurut data pada tahun 2010 konsumsi umbi-umbian secara nasional adalah   51,66  gram/kapita/hari,  terdiri dari :  Singkong: 35,32 gram/kapita/hari, Ubi jalar: 7,60 gram/kapita/hari,Kentang:5,59  gram/kapita/hari, Sagu: 1,43 gram/kapita/hari, Umbi lainnya: 1,72   gram/kapita/hari. Permasalahan terkait dengan upaya membangun usaha pengolahan diantaranya adalah: (a) Skala usaha kecil dan tersebar, sehingga berdampak kepada tingginya inefisiensi karena besarnya biaya pemasaran; (b) Masih rendahnya standar penanganan pasca panen dan pengolahan; (c) Kinerja teknologi pengolahan dinilai belum mampu menghasilkan produk olahan berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan kompetisi pasar yang semakin tinggi; (d) Mutu produk olahan dinilai masih rendah, kuantitas rendah, dan adanya inkontinuitas produk. Penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian memang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membeli alatnya. Pemerintah pun melakukan dukungan dengan dikeluarkannya kebijakan kredit perbankan. Diharapkan prospek kedepan tidak hanya mimpi memperbaiki produk olahan yang berdaya saing dalam meningkatkan pemasaran Domestik dan Pemasaran Internasional yang berdayasaing.(Berbagai media terkait, data diolah F. Hero K. Purba)

Wednesday, July 22, 2015

Membangun Ekonomi Dalam Sentra Peternakan Rakyat (SPR) Berkelanjutan



Pembenahan dalam pengembangan sektor ekonomi dibidang agribisnis peternakan melalui Sentra Peternakan Rakyat. Indonesia harus segera  untuk menciptakan ketahanan pangan perekonomian rakyat agar mereka tidak semakin menderita didalam pemenuhan pangan untuk konsumsi daging. Dengan adanya konsep dan implementasi  Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang digagas Institut Pertanian Bogor (IPB) sebuah yang ditujukan bagi ketersediaan bibit ataupun daging sapi di Indonesia dalam jangka panjang. Penggagasan SPR ditujukan untuk  ketersediaan bibit maupun daging sapi di Indonesia dalam jangka panjang.  Prof.  Dr. Muladno, Guru Besar Ilmu Peternakan, Institut Pertanian Bogor (IPB), yang menggagas SPR dan beliau sekarang sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.
Dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku mulai Januari 2015 akan membawa tantangan yang semakin berat bagi rakyat. Arus barang dan jasa dari luar akan semakin bebas masuk ke Indonesia.  Untuk pengembangan peternakan dibutuhkan kesinergian dengan adanya program sekolah peternakan rakyat dan menjadi suatu sentra peternakan rakyat yang berkelanjutan akan membangun suatu komunitas perteumbuhan peternakan rakyat. Pertumbuhan produksi daging sapi pada  tahun 2014 sebesar 23 persen. Tahun 2013 produksi daging sapi sebesar 430.000 ton, dan tahun depan produksinya ditargetkan 530.000 ton. Tahun 2012, pemerintah Indonesia menghitung kebutuhan daging sebesar 484 ribu ton. ketersediaan daging sapi hanya mampu memenuhi 399 ribu ton, sisanya 85 ribu ton dipenuhi dari impor. Untuk jumlah impor tahun 2012 terbagi atas daging sapi sebesar 34 ribu ton, dan sapi bakalan 283 ribu ekor. Harga daging sapi impor berpengaruh negatif terhadap jumlah impor daging sapi, namun pengaruhnya tidak nyata. Pada umumnya, konsumen daging sapi impor mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, maka kenaikan harga daging sapi impor tidak memberikan pengaruh berarti terhadap volume impor. Sedangkan tahun lalu, pemerintah Indonesia memberikan kuota impor daging sapi sekitar 90 ribu ton, dan sapi bakalan 600 ribu ekor. Untuk tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia pada tahun 2011 hanya 4,7 gram per orang per hari. Angkat ini sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 10 gr/orang/hari. Sementara Korea, Brasil, dan China sekitar 20-40 gram/orang/hari. negara-negara maju seperti Amerika Serikat, prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris mencapai 50-80 gr/kapita/hari. Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung.Untuk tingkat konsumsi yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan daging dan produksi ternak lainnya dan tingkat pendapatan rumahtangga (purchasing Berdasarkan  data BPS, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Provinsi NTT 778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di NTT sebanyak 150 ribu ekor. Untuk pengembangan sentra ternak sapi yang baru harus mempertimbangkan keunggulan komparatif ternak sapi dalam negeri. Suatu usaha peternakan sapi di masa depan harus mempunyai daya saing. Peternak perlu melakukan upaya-upaya untuk bisa memiliki keunggulan kompetitif baik dalam kegiatan utamanya maupun di kegiatan pendukung termasuk SDM pelaku dari usaha peternakan. Indonesia perlu membangun Sentra Peternakan Rakyat disetiap Kawasan yang potensial untuk ternak. Dengan sistem managemen peternakan yang berkelanjutan dan tenaga sdm yang handal dan kesinergian berbagai pihak dapat memberikan dampak ke arah yang menjanjikan jika kesungguhan dalam bekerja membangun peternakan yang berdayasaing. (Sumber: data Litbangnak,data media, data diolah frans hero K. Purba)

Monday, July 13, 2015

Strategi Akses Pemasaran Potensi Pengolahan dan Pengembangan Kopi Papua





Pengembangan Potensi Pengolahan kopi membahas potensi dan tantangan yang dihadapi di dalam pengembangan Komoditas kopi arabika organik di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Lembah Baliem merupakan daerah tempat tinggal Suku Dani dimana Masyarakat adat yang diperkenalkan ke dunia luar sebagai petani pejuang. Mereka hidup bertani, namun gemar berperang. Kopi Baliem ini adalah kopi papua jenis arabika. Petani di wilayah utara Wamena umumnya menjual biji kopi mereka ke Koperasi Baliem Arabica yang saat Ini membayar sebesar Rp. 25.000 per kilogram untuk biji kopi yang sudah dikupas Dan dikeringkan. Petani memilih menjual ke Koperasi karena tidak mampu menanggung biaya angkut biji kopi dari kampong ke Wamena, walaupun di Wamena terdapat pembeli yang bersedia membeli hingga Rp.40.000, per kilogram Biji kopi yang belum dikupas tetapiHarus kering. Kopi yang memiliki ciri khasnya arabika, karakter rebusannya asam, agak berbeda dengan karakter rebusan kopi robusta yang lebih pahit. Tidak terlalu pahit karena memang arabika memiliki kadar kafein yang lebih rendah dibanding robusta. Head of Cooperative KSU Baliem Arabica; Selion Karoba mengungkapkan, September 2012 mendatang, pihaknya akan mengekspor kopi ke Amerika 18 ton. Tahun ke tahun hasil produksi kopi di Pegunungan Tengah Papua terus meningkat, pertama kita ekspor 12 ton, kemudian 14 ton dan 16 ton, selanjutnya September 2012 ekspor ke Amerika 18 ton. Pada tahun 2001 untuk luas lahan tanaman kopi di Kabupaten Jayawijaya tercatat 3.076 hektar, yang merupakan hampir setengah (42,7 persen) dari luas total 6.208 Ha areal perkebunan kopi Provinsi Papua. Perkebunan yang keseluruhannya milik rakyat ini tersebar di Kecamatan Tiom, Bokondini, dan Asologaima.
Produksi kopi Jayawijaya yang juga diekspor ke Singapura, Jepang, dan Australia ini, besarnya 316,30 ton atau setara dengan hampir setengah produksi kopi provinsi yang besarnya 740,3 ton. Selain ke Amerika, pihaknya juga akan mengirim kopi ke sejumlah tempat seperti Freeport dan Jakarta. Mengenai harga kopi, harga kopi ditentukan dalam Rapat Umum Anggota (RUA) KSU Baliem Arabica, dimana tahun ini harga pembelian kopi dari petani Rp 6.000 per liter. “Kita sudah beberapa kali naikkan harga pembelian kopi, 2010 lalu harga kopi gabah (kopi dengan kulit kering) Rp 5.000 per liter, tahun ini harganya Rp 6.000 per liter, dan 2013 mendatang harganya kita naikkan menjadi Rp 7.000 per liter. Kualitas kopi dari Lembah Baliem tidak perlu lagi diragukan. Dalam berbagai tes uji citarasa yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, sudah terbukti “Baliem Blue Coffee”atau disingkat “Bebecoffee”memiliki citarasa yang tinggi. Terakhir pada konfrensi Asosiasi Kopi Spesial Amerika yang diikuti oleh pelaku-pelaku kopi Spesial dari seluruh dunia, kopi dari daerah ini diikutsertakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia karena Koperasi Baliem Arabica adalah salah satu anggota organisasi itu. Berdasarkan data kopi di Kabupaten Yahukimo, Jayawijaya dan Lani Jaya cukup besar, dengan jumlah petani kopi 2010 orang dan luas lahan 1.102 ha serta kemampuan produksi 193,25 ton pertahun. Potensi produk kopi terbesar terdapat di kabupaten Jayawijaya, yaitu sebesar 138,75 ton pertahun, kemudian Lani Jaya. Pada tahun Rainforest Alliance melakukan audit terhadap Koperasi Baliem Arabika. Hal ini merupakan bagian dari program Aliansi Pembangunan Pertanian Papua (PADA) untuk pengembangan kopi di Lembah Baliem, Papua. Rainforest Alliance memiliki misi untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menjamin mata pencaharian yang berkesinambungan dengan mengubah praktek-praktek penggunaan lahan, praktek bisnis dan perilaku konsumen. Diharapkan potensi pengolahan kopi dibeberapa daerah dapat ditingkatkan dalam meningkatkan perekonomian masyarapat petani kopi di Papua. (Sumber: data Litbang, Disbun Papua, data diolah frans hero13)