Transformasi pembangunan dibidang
pertanian kepada pembangunan yang digerakkan oleh modal dan selanjutnya
digerakkan oleh inovasi. Sehingga melalui membangun agribisnis akan mampu
mentransformasikan perekonomian Indonesia dari berbasis pertanian dengan produk
utama (Natural resources and unskill labor intensive) kepada perekonomian
berbasis industri dengan produk utama bersifat Capital and skill Labor Intesif
dan kepada perekonomian berbasis inovasi dengan produk utama bersifat
Innovation and skill labor intensive. Aktivitas
pengolahan hasil pertanian sederhana di tingkat petani, tetapi menyangkut
keseluruhan kegiatan mulai dari penanganan pasca panen produk pertanian sampai
pada tingkat pengolahan lanjutan dengan maksud untuk menambah value added (nilai
tambah) dari produksi primer tersebut. Dengan demikian proses pengupasan,
pembersihan, pengekstraksian, penggilingan, pembekuan, pengeringan, dan
peningkatan mutu. Sub sistem pemasaran mencakup pemasaran hasil-hasil usahatani
dan agroindustri baik untuk pasar domestik maupun ekspor. Kegiatan utama
subsistem ini adalah pemantauan dan pengembangan informasi pasar dan market
intelligence pada pasar domestik dan pasar luar negeri.
Keunggulan
kompetitif hasil olahan produk pertanian merupakan hasil interaksi dari tiga
tingkatan pasar yaitu pasar internasional dari produk, pasar domestik dari
produk, dan pasar sarana produksi. Dengan kata lain, keunggulan kompetitif
suatu komoditas pertanian, merupakan hasil resultan dari rantai agribisnis
secara vertikal mulai dari perolehan sarana produksi, usaha tani, pemasaran
domestik, dan pemasaran internasional. Menurut data pada tahun 2010 konsumsi
umbi-umbian secara nasional adalah
51,66 gram/kapita/hari, terdiri dari : Singkong: 35,32 gram/kapita/hari, Ubi jalar: 7,60 gram/kapita/hari,Kentang:5,59 gram/kapita/hari, Sagu: 1,43 gram/kapita/hari,
Umbi lainnya: 1,72 gram/kapita/hari. Permasalahan terkait dengan upaya
membangun usaha pengolahan diantaranya adalah: (a) Skala usaha kecil dan
tersebar, sehingga berdampak kepada tingginya inefisiensi karena besarnya biaya
pemasaran; (b) Masih rendahnya standar penanganan pasca panen dan pengolahan;
(c) Kinerja teknologi pengolahan dinilai belum mampu menghasilkan produk olahan
berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan kompetisi pasar yang semakin
tinggi; (d) Mutu produk olahan dinilai masih rendah, kuantitas rendah, dan
adanya inkontinuitas produk. Penerapan
teknologi pengolahan hasil pertanian memang membutuhkan biaya yang cukup besar
untuk membeli alatnya. Pemerintah pun melakukan dukungan dengan dikeluarkannya
kebijakan kredit perbankan. Diharapkan prospek kedepan tidak hanya mimpi memperbaiki
produk olahan yang berdaya saing dalam meningkatkan pemasaran Domestik dan
Pemasaran Internasional yang berdayasaing.(Berbagai
media terkait, data diolah F. Hero K. Purba)