Nilai ekspor sagu tahun 2019, sebesar Rp 47,52 Milyar dan total volume 13.892 ton, 5 negara tujuan utama ekspor sagu Indonesia yaitu Malaysia, Jepang, China, Korea Selatan, dan Singapura. Kondisi ini menunjukkan bahwa produk sagu Indonesia diminati oleh pasar global, sehingga perlu dikembangkan untuk meningkatkan daya saing produk, serta meningkatkan kontribusi ekspor sagu terhadap devisa Negara.Pemanfaatan Sagu (Metroxylon sp.) untuk potensi usaha lokal di masyarakat, berdasarkan data bahwa luas hutan sagu di Indonesia mencapai 1.250.000 ha dan budidaya sagu sekitar 148.000 ha. Di wilayah Papua sendiri, terdapat areal sagu sekitar 1.200.000 ha. Dalam skala dunia, Indonesia memiliki areal sagu alam sebesar 96%, dan Papua menyumbang 53% dari total luas lahan sagu dunia yang mencapai 2.250,000 ha. Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya sangat besar. Sekitar 60% areal sagu dunia ada di Indonesia. Data yang ada menunjukkan bahwa areal sagu Indonesia menurut Prof. Flach mencapai 1,2 juta ha dengan produksi berkisar 8,4-13,6 juta ton per tahun. Tetapi data luas areal sagu ini, perlu diteliti lagi ketepatannya melalui metode dan teknik yang lebih akurat dan mutakhir, karena berbagai sumber informasi lainnya, khususnya provinsi Papua dan Papua Barat yang mencakup 90% sagu di Indonesia, sangat besar perbedaannya yaitu dari 600.000-5 juta ha. Data sagu perlu diperbaiki, apalagi data yang dipakai selama ini, selain sudah puluhan tahun, dan ternyata sebagian besar merupakan data perkiraan. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Area tumbuh seperti gambaran di atas, sagu mampu menghasilkan produk terbaiknya bagi kebutuhan manusia. Padahal, risiko tanaman sagu di area tumbuh seperti itu juga cukup rentan terhadap serangan hama dan ragam penyebab kerusakan lahannya. Pada sagu usia muda (3-4 tahun) biasanya mulai dilakukan penyiangan gulma, sebab gulma dapat menyebabkan kebakaran lahan kebun sagu. Dari gulma, juga dapat menjelma menjadi hama perusak pohon sagu. Dalam masa-masa pertumbuhan, sagu mengalami gangguan mulai dari akar hingga dedaunannya. Akar sagu akan mati jika pengairan dan tanah di rawah tidak menunjang untuk pernapasan akar, akibatnya pohon sagu pun bisa mati yang mengakibatkan gagal panen. Batang dan daun sagu juga sering terserang hama, ciri dari serangan hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas oryctes. Apabila serangan terjadi pada titik tumbuh, dapat menyebabkan kematian pohon. Adapun beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional yang sering dilakukan yakni: pertama, batang sagu dapat digunakan sebagai saluran air untuk irigasi persawahan atau ladang, batang sagu dapat dibelah lebih tipis untuk dijadikan papan alas saung di perkembunan, dan menjadikan batang sagu sebagai pagar area perkebunan. Kedua, pati sagu dalam batang dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan seperti mie dan beragam jenis kue. (Berbagai sumber media terkait, litbang Deptan, data diolah F Hero K. Purba). Sagu sangat potensial dalam pengembangannya karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta dimanfaatkan secara optimal dalam menerobos pangsa pasar lokal dan Internasional.