Apabila kita melihat penemuan
canggih terkait dengan teknologi pertanian. Diantaranya dapat meringankan
berbagai pekerjaan manusia. Tidak hanya pekerjaan yang terkait dengan industri
besar saja, pekerjaan yang biasa dikerjakan secara tradisional seperti di
bidang pertanian juga membutuhkannya. Transfer teknologi pertanian dari
masyarakat kampus ke masyarakat tani hendaknya berlangsung secara lancar. Untuk
itu diperlukan berbagai media atau transformator, antara lain melalui pengembangan budaya dialog antara masyarakat
kampus dan masyarakat tani. Memasyarakatkan teknologi pertanian memang
bukan hanya tugas pemerintah semata, namun menjadi tanggung jawab berbagai
pihak, baik itu perguruan tinggi, dunia usaha dan LSM.
Sebagai contoh Surono Danu, sejak
1985, praktis memusatkan penelitiannya pada ketiga jenis padi itu. Dari hasil
persilangan benih itu, 10 tahun kemudian ia menemukan benih padi yang berusia
150 hari. Dan, tujuh tahun kemudian--dengan rumus ciptaan dan pengetahuan yang
dimilikinya--Surono akhirnya menemukan benih padi berusia 135 hari. Meski
hasilnya cukup spektakuler, Surono belum puas juga. Ia masih terus meneliti dan
tahun 1997 ditemukanlah benih padi berusia 105 hari. Benih padi itu pun ia beri
nama Sertani 1. Serangkaian nama lain penemu yakni Abdul Jamil Ridho & Niti
Soedigdo – Penemu Varietas Unggul Singkong Raksasa dan lain sebagainya. Negeri
Indonesia tercinta yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa yang hasil
penemuanna kita pakai sebagai hasil penemuan inovasi internasional.
Dalam sektor pertanian dengan penemuan yang berdaya
guna dan berdayasaing. Dimana sekarang sudah
banyak teknologi-teknologi pertanian yang sudah diterapkan oleh beberapa negara
maju, dari mulai alat-alat pertanian, varietas-varietas unggul bibit pertanian,
hingga budidaya pertanian dengan cara modern. Terbukti, dengan adanya teknologi
pertanian dapat meningkatakan produktifitas pangan suatu negara. Perlu diperhatikan dengan
rendahnya penerapan dalam teknologi budidaya tampak dari besarnya
kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan
yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan
penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara
utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Begitu
juga halnya seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara
pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya
sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu
sendiri. Gerakan kemandirian dalam program pangan berkelanjutan harus lebih diperhatikan
kembali, dengan apa yanga kan dicita-cita dalam kembali terwujud di negara kaya
seperti Indonesia dalam pencapaian swasembada berkelanjutan. (Sumber: data terkait, media,
data diolah F. Hero K. Purba)