
Ketahanan
pangan dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan
pangan dan kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai artian bahwa menyediakan ini
tidak sama dengan memproduksi bahan pangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam
kedaulatan pangan. Kenyataannya kita
tidak merasa percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai
tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang
cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan menjadi
tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa
Indonesia. Dalam hal ini perlu peningkatkan sistem produktivitas yang lebih
baik lagi serta menerapkan kebijaksanaan dalam Management Stock Pangan. Dalam
krisis pangan dunia ada dua hal yang perlu dilakukan secara simultan, dimana,
kita harus keluar dari dua jebakan anomali kebijakan yang dapat membekukan
kinerja pertanian dalam jangka panjang. Diversifikasi pangan sudah sering
digaungkan tetapi penerapan dan implimentasi kebijakan ke depan yang perlu
dipikirkan rencananya. Diversifikasi pangan secara program telah ada sejak
1970-an, tetapi aksinya adalah upaya untuk mengindustrialisasikan dan
menyediakan aneka ragam produk pangan. Sering dengan peningkatan infrastruktur
fisik pertanian terutama irigasi, sistem transportasi, telekomunikasi dan
energi di desa; pengembangan kelembagaan agribisnis termasuk dukungan
pemerintah hingga level teknis dan penguatan jejaring usaha; rekonstruksi. Hal
ini merupakan suatu hal yang harus disingkapi dengan seksama dan gerakan yang
membumi dalam pelaksanaannya. Eksplorasi dalam potensi genetik aneka ragam tanaman
yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil
produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini
teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam
menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi.
Perlu diperhatikan dengan rendahnya penerapan dalam
teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi
dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal
ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru
yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan
teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Begitu juga halnya seperti
penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang
belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi
teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri.
Gerakan kemandirian dalam program pangan berkelanjutan harus lebih diperhatikan
kembali, dengan apa yanga kan dicita-cita dalam kembali terwujud di negara kaya
seperti Indonesia dalam pencapaian swasembada berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment