
Kedaulatan Pangan
rakyat hendaknya tidak hanya sekedar wacana, solusi bagaimana pembangunan
kedaulatan pangan guna mengurangi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar
Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin menurun? Praktek impor pangan sebenarnya
menunjukkan bahwa tidak mampu mencapai tujuan meningkatkan produksi pangan
nasional sebagaimana diharapkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), laju
permintaan terhadap pangan terus meningkat rata-rata lima persen setahunnya.
BPS men catat, selama Januari-Oktober 2013, secara volume impor pangan mencapai
15,4 juta ton atau setara dengan 7,73 miliar dolar AS. Memenuhi
kebutuhan bagi petani
khususnya dan masyarakat pada umumnya rencana pembangunan mesti bijak,
baik dan benar sehingga dapat mengoptimalkan potensi dan meminimalkan resiko
yang ada untuk mewujudkan perikehidupan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan
justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di
dalam negeri yang terus menurun. Begitu juga halnya dengan kenaikan harga
kedelai pada saat ini, diperlukan solusi jangka panjang dan tidak hanya instant
untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri dan tidak hanya ketergantungan
akan impor. Sebagai salah satu contoh dimana produksi kedelai nasional tampak
mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi
tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. (Sources media
terkait dan artikel, data diolah F. Hero K. Purba).

Untuk itu perlu
diperhatikan dengan rendahnya
penerapan dalam teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan
potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh
oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket
teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga
penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Begitu juga halnya
seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan
yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi
teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri.
Gerakan kemandirian dalam program pangan berkelanjutan harus lebih diperhatikan
kembali, dengan apa yanga kan dicita-cita dalam kembali terwujud di negara kaya
seperti Indonesia dalam pencapaian swasembada berkelanjutan.
No comments:
Post a Comment