Indonesia
mengekspor sekitar 60.000 ton biji kakao pada tahun 2014 yang lalu. Adapun industri
penggilingan mengimpor sekitar 100.000 ton biji kakao, yang normalnya diimpor
hanya sekitar 30.000 ton.Kapasitas produksi kakao tersebut mencapai 1.000 ton
per tahun. Harga rata-rata biji kakao berada di atas US$3.000/ton.
Sementara harga pada tahun 2014 bergerak antara US$2.800/ton – US$3.200 ton. Produk kakao olahan sedang digalakkan untuk
mendorong tumbuhnya industri hilir di dalam negeri. Produk olahan yang dimaksud
berupa serbuk ataupun minyak cokelat. Produk tersebut memberi nilai tambah bagi
penyerapan tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian nasional. Untuk konsumsi
cokelat di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia. Sebut
saja Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Minimnya konsumsi cokelat di
Indonesia, menurutnya, tidak terlepas dari faktor kebiasaan dan budaya yang
berkembang. Indonesia menjadi salah satu produsen utama kakao di dunia. Namun belum
banyak produk cokelat siap konsumsi lokal Indonesia yang inovatif dalam
mengemas dan menjual produk ke masyarakat luas.
Biji kakao
Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional diharapkan akan lebih
banyak lagi negara yang membutuhkan kakao biji dari Indonesia dan produsen akan
lebih bersemangat untuk memproduksi kakao biji dengan mutu yang lebih baik dan
biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di
pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan
memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan
produksinya. Menurut data BPS pada tahun 2010-2012 biji kakao yang diekspor
menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun
dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar
119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012
mencapai 215.791 ton. Untuk pasca kebijakan bea keluar terdapat
peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun
2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011.
Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada
tahun 2014. Kapasitas terpasang dari 660.000
ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun pada 2015.Untuk luas
areal tanaman kakao Indonesia mencapai 1,4 juta hektar dengan produksi 803 ribu
ton menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua
dunia setelah Pantai Gading diikuti Ghana pada urutan ketiga,
Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 Ha dan produksi 795.581 ton. Secara
umum didunia terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3
benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia sekitar 20% dan
Amerika latin sekitar 15%. Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding),
Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai
Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat
sepanjang 5 tahun terakhir. Total produksi kakao
Indonesia sekitar 16 persen dari total produksi dunia, namun jumlah yang
diekspor masih kurang dari 5 persen. Selain itu produsen di Indonesia masih
mempunyai posisi tawar yang lemah ditunjukkan oleh harga kakao yang mudah
berfluktuasi pada tingkat yang rendah.
Untuk Biji kakao maupun produk olahan
kakao merupakan komoditi/produk yang diperdagangkan secara internasional.
Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao.
Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor
Indonesia belum menunjukkan perkembangan. Perdagangan luar negeri
komoditi/produk tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar
negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558
Ha pada tahun 2009. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di
Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.Kebijakan umum di bidang
perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan ekspor dan
kebijakan impor. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor,
dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan
tujuan utama dari kebijakan impor ada dua, yakni (1) mengurangi impor, dengan
prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar atau (2)
menambah impor, jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Pengembangan potensi daya saing produk kakao
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao
Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar.
Pengembangan produk olahan
kakao, pemerintah juga telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan
perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, pada dasarnya dapat dikatakan
bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor produk olahan kakao. Namun,
industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan
tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung
ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengaruh
persaingan /daya saing didasarkan pada perubahan pangsa pasar negara pengekspor
yang dianalisis (Indonesia) di pasar negara tertentu untuk suatu komoditas
tertentu hanya dapat berlangsung selama waktu analisis sebagai respon terhadap
perubahan harga relatif komoditas negara pengekspor (Indonesia). Daya saing diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar
ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya
saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran,
peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.(Berbagai
sumber media terkait, data -data diolah F. Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment