Setiap negara hampir di dunia ini memiliki ternak kelinci (Leporidae) karena kelinci mempunyai daya adaptasi tubuh yang relatif tinggi sehingga mampu hidup di hampir seluruh dunia. Kelinci dikembangkan di daerah dengan populasi penduduk relatif tinggi, Adanya penyebaran kelinci juga menimbulkan sebutan yang berbeda, di Eropa disebut rabbit, Indonesia disebut kelinci, Jawa disebut trewelu dan sebagainya. Potensi budidaya Kelinci tidak hanya bisa menjadi alternatif pengganti daging sapi saja, ternyata kelinci memiliki banyak nilai tambah dan ekonomi yang bernilai tinggi. Indonesia banyak terdapat kelinci lokal, yakni jenis Kelinci jawa (Lepus negricollis) dan Kelinci Sumatera (Nesolagus netseherischlgel). Kelinci jawa, diperkirakan masih ada di hutan-hutan sekitar wilayah Jawa Barat. Warna bulunya cokelat perunggu kehitaman. Ekornya berwarna jingga dengan ujungnya yang hitam. Untuk berat Kelinci jawa dewasa bisa mencapai 4 kg.
Produk lain dari ternak kelinci adalah daging , dan produk olahannya yang banyak diminati adalah sosis, bakso, nugget, burger dan abon. Pasar utama daging kelinci adalah Italia, Perancis dan Spanyol, dengan pemasok utama adalah Cina, dan pada tahun 1992 pasar Eropa mengalami devisit daging kelinci sebesar 12.000 ton (Raharjo, 2003). Dari uraian tersebut maka perlu dilihat analisis usaha peternakan kelinci apakah menguntungkan dan dapat diandalkan untuk menambah pendapatan masyarakatdan lebih jauh lagi dapat menjadi produk ekspor non migas teritama dari fur yang dihasilkan. Untuk permintaan dari restoran, hotel dan pabrik pengolahan daging sebetulnya banyak, namun sampai kini belum ada peternak yang sanggup memasok secara kontinu. (Sources data: Litbang Deptan,Wikipedia, artikel Media, majalah, data diolah F. Hero K. Purba)
Negara negara produsen daging kelinci terbesar untuk daging kelinci seperti Rusia, Prancis, Italia, China dan Negara-negara di Eropa Timur, disamping itu ada pula beberapa negara yang memproduksi daging kelinci dalam jumlah kecil yang hanya ditujukan untuk konsumsi sendiri seperti beberapa negara Afrika dan Amerika Latin, Philipina, Malaysia, Mesir dan beberapa negara berkembang (Raharjo, 1994), sedangkan di Indonesia sampai saat ini sulit untuk memperoleh data produksi dan konsumsi daging kelinci, namun menurut Lebas dan Collen (1994), bahwa konsumsi daging kelinci di Indonesia baru mencapai 0,27 kg/kapita/tahun. Daging kelinci dapat dijadikan peluang yang baik untuk mewujudkan standar norma gizi protein hewani yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia, karena sampai tahun 2002 sektor peternakan baru mencapai 4,82 gram/kapita/hari Berdasarkan data bahwa Pemasaran produk kelinci di Jawa barat dan Jawa Timur terdiri dari 3 pasar yaitu daging kelinci, hewan kesayangan dan pembibitan. Persentase yang lebih besar ada di hewan kesayangan dengan penjualan per minggu ± 1000 ekor usia 1,5−2 bulan, untuk pemasaran daging permintaan pasarnya sangat tinggi namun daging yang dapat dipasok per minggunya ± 6 kuintal sedangkan pemasaran bibit per 3 bulan ± 200−400 ekor berbagai jenis. Untuk itu mengembangkan budidaya usaha kelinci dengan sistem pembinaan kepada peternak serta potensi promosi lokal dan luar negeri.
No comments:
Post a Comment