Menurut data pada 2013,
produksi komoditas penghasil bubuk merica itu menembus 59.000 ton, dibandingkan
dengan angka konsumsi domestik yang hanya mencapai 16.600 ton. Pengembangan
usaha budidaya lada saat ini diperlukan komitmen dalam memberikan nilai tambah
yang signifikan terhadap hasil panen petani terutama dalam penerapan teknologi
yang secara otomatis memerlukan tambahan input dibanding dengan budidaya cara
tradisional. Harga lada putih di pasaran berkisar antara Rp125.000-Rp165.000
per kg. Harga tersebut dinilai relatif tinggi, tapi sangat berbanding terbalik
dengan hasil yang diperoleh oleh petani lada yang hanya sekitar
Rp25.000-Rp30.000 per kg. Menurut data produsen lada terbesar di dunia saat ini
“di pimpin” oleh Vietnam, dengan produksi hampir 100.000 ton.
Kemudian disusul India (30-35.000 ton) dan Cina (20.000 ton).Pada tahun
2013, Vietnam mengekspor sekitar 134 ton lada dengan nilai 899 juta dolar AS,
atau naik sekitar 15 persen dalam hal jumlah dan 13 persen dalam hal nilai
berbanding dengan tahun 2012. Data International Pepper Community (IPC),
ekspor lada hitam selama 2011 dari enam negara pengekspor utama (Brasil, India,
Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Sri Lanka) adalah 242.450 ton. Pada bulan
Desember 2010, harga komposit lada hitam tercatat 4.572 dolar AS per metrik ton
dan lada putih 7.025 dolar AS per metrik ton, lebih tinggi dari harga komposit
pada 2009 yang berturut-turut 3.031 dolar AS per metrik ton dan 4.404 dolar As
per metrik ton. Total produksi lada di Indonesia tahun 2011 sebesar 33.000 ton
(18.000 ton lada hitam dan 15.000 ton lada putih). Jumlah tersebut lebih rendah
daripada tahun 2010 yang mencapai 59.000 mt (terdiri dari 40.000 ton lada hitam
dan 19.000 ton lada putih). Hingga Mei
2011, total ekspor dari Vietnam diperkirakan sekitar 50.000 mt, yang 9.000 mt
rendah dari periode yang sama. Amerika Serikat dan Jerman adalah pasar utama
untuk Lada. Vietnam, diikuti oleh Belanda, Uni Emirat Arab dan Mesir.Nilai ekspor
lada hitam dan lada putih dalam tahun 2001 menunjukkan penurunan. Lada hitam,
nilai ekspor tertinggi diperoleh tahun 2000 sebesar US $ 100,6 juta, dan tahun
2001 menurun menjadi US $ 39,9 juta. Sementara itu nilai ekspor lada putih pada
tahun 1995 sebesar US $ 69,8 juta, dan angka ini meningkat menjadi US $ 140,7
juta pada tahun 1999. Setelah itu nilai ekspor ini menurun menjadi US $ 60,1
juta pada tahun 2001. Indonesia merupakan produsen lada terbesar kedua di dunia
setelah Vietnam dengan kontribusi 17 persen dari produksi lada dunia pada 2010.
Terintegrasinya dalam harga eksportir dan harga dunia mencerminkan bahwa
pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar
internasional. Hal ini member petunjuk bahwa pengembangan komoditas lada
seyogyanya mempertimbangkan efisiensi dan daya saing di pasar dunia. Lada
merupakan penyumbang devisa negara terbesar keempat untuk komoditas perkebunan
setelah minyak sawit, karet, dan kopi.
Lada Indonesia masih
mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan, karena lahan yang sesuai
untuk lada cukup luas, biaya produksi lebih rendah dibanding negara pesaing,
tersedianya teknologi budi daya lada yang efisien, serta adanya peluang
melakukan diversifikasi produk apabila harga lada jatuh.Indonesia merupakan salah satu negara penghasil utama
lada, strateginya adalah mengembangkan lada yang sesuai, serta menerapkan
eknologi rekomendasi dan efisiensi biayaproduksi. Dari sisi permintaan, impor
lada ke Amerika Serikat selama periode Januari – November 2011 menunjukkan
angka 64.276 ton yang terdiri dari 47.742 mt lada hitam, 5.331 mt lada putih
dan 11.203 ton groud pepper. Impor sedikit lebih tinggi jika dibandingkan
dengan impor AS dari 63.274 ton pada periode yang sama tahun lalu. Indonesia tetap
menjadi pemasok terbesar lada hitam keseluruhan untuk pasar AS, pengiriman
17.844 ton (37 persen), diikuti oleh Vietnam (12.424 ton), Brasil (11.427 ton)
dan India (5285 mt). Daya saing lada Indonesia dipasar Internasional dapat
ditingkatkanmelalui peningkatan produktivitas, mutu hasil dan diversifikasi
produk bila produk utama harganya jatuh. Hal yang terpenting adalah sistem
kelembagaan pada tingkat petani dan penerapan jaminan mutu dan teknologi
pengolahannya dengan melihat kondisi cuaca dan efisiensi perhitungan
pembiayaannya. Perlunya pembinaan petani melalui kelembagaan dalam upaya penerapan
teknologi dan perbaikan mutu olahan produk lada harus secara berkelanjutan dilaksanakan
bak oleh pemerintah maupun pihak swasta melalui CSR dan rogram pendukung
lainnya agar lada dapat diperhatikan dengan potensi sentra wilayah
pengembangannya.(Sumber: Data IPC, BPS, berbagai sumber terkait, data diolah
F.Hero Purba.2015)