Sesuatu yang ironis bila kita rasakan jika negara Indonesia
yang kaya ini selalu ketergantungan Impor terutama produk pangan. Mengharapkan
cita-cita swasembada pangan yang tak kunjung tergenapi. Sebagai contoh faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras
secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga
terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen);
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras
nasional (15 persen). Faktorfaktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif
adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,
harga beras impor dan harga terigu. Melaksanakan
kebijakan impor produk pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing dengan
produk pertanian luar negeri. Sebagai contoh dalam komoditas kedelai, gandum,
dan beras. Saat ini apabila ada kesenjangan antara ketersediaan pangan dan
kebutuhan akan pangan, maka sudah dapat dipastikan pemerintah akan
mengutamakan melaksanakan kebijakan impor. Misalnya, pada kebutuhan akan
kedelai. Kebutuhan akan kedelai selalu mengalami peningkatan tiap
tahunnya. Diperkirakan tiap tahunnya kebutuhan akan biji kedelai adalah kurang
lebih 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sebesar 1,1 juta ton. Guna memenuhi
kebutuhan maka pemerintah melaksanakan kebijakan impor. Impor kedelai ini menyebabkan
petani dalam negeri sulit untuk bersaing karena murahnya harga kedelai impor. Perlu diketahui dalam
rangka pemenuhan akan kedelai , kita harus mengimpor kurang lebih 60% dari luar
negeri.
Untuk komoditas
gandum, kini negara Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum
terbanyak di dunia, melalui MNC (multi national corporation) yaitu sebesar
2,5 juta ton. Untuk mengimpor gandum sebanyak itu diperlukan dana hampir Rp 8
triliun/tahun dan hal itu telah menguras devisa negara yang ada. Pada era
liberalisasi ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perdagangan dengan
memurahkan gandum. Tidakkah pemerintah menyadari betapa buruk dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan tersebut? Sebagai negara berkembang kita bisa saja
ikut serta dalam liberalisasi perdagangan, apabila liberalisasi tersebut mampu
mendorong berkembangnya agroindustri, harga membaik, produktivitas produk
ekspor meningkat ,upah riil naik dan tercipta lapangan kerja karena dorongan
ekspor. Kini masyarakat Indonesia cenderung menjauhi produk lokal dan lebih
menjatuhkan pilihannya pada produk impor seperti gandum impor ini. (Berbagai sumber
terkait, media data terkait, data diolah F. Hero K. Purba)
Berdasarkan data bahwa Impor pangan dalam periode 1996-2005 telah
menghabiskan devisa tidak kurang USD 1,6 milyar/tahun setara dengan Rp 14,7
triliun/tahun, hanya untuk impor 10 produk pangan seperti beras, jagung,
kedelai, gula, susu, daging dll. Itu belum termasuk impor gandum yang mencapai
5 juta ton pada 20005 yang menguras devisa Rp 7,2 triliun. Indonesia pernah
menyampaikan Trade Policy Review pada 2003 (WTO 2003). Salah satu yang dilaporkan
adalah impor gandum. Pada 2002, impor gandum menghabiskan devisa USD 1,2
milyar, terbesar ke 6 diantara 10 besar produk impor Indonesia seperti bahan
kimia, mesin, otomotif, mesin khusus, biji besi (iron), tekstil, plastik dsb.
Gandum satu-satunya bahan pangan, lainnya adalah untuk bahan baku industri dan
barang kapital Indonesia sesungguhnya sedang menghadapi risiko tinggi terhadap
ketahanan pangan, memperlemah pembangunan perdesaan serta usaha pengentasan
kemiskinan di wilayah perdesaan. Itu terjadi karena keterbatasan devisa,
tingginya hutang luar negeri, serta perdagangan pangan dunia yang dikontrol
oleh MNCs (multi national coorporations). Hal itu dapat membawa dampak buruk
terhadap suatu negara besar seperti Indonesia, apabila tidak ada usaha untuk menciptakan
perlindungan yang tepat serta membangun industri pangan dalam negeri yang kuat.
Fungsi
permintaan impor tradisional menjelaskan impor sebagai fungsi dari pendapatan
riil domestik dan harga domestik relatif terhadap harga impor. Pada saat harga domestik
mengalami kenaikkan, maka permintaan impor akan mengalami kenaikan karena
adanya efek substitusi. Efek substitusi menjelaskan perilaku konsumen pada saat
terjadi kenaikan harga, akan mengganti barang tersebut dengan barang yang
relatif lebih murah. Pada saat harga domestik mengalami kenaikkan, maka
konsumen akan menggantinya dengan produk impor yang harganya relatif lebih
murah.
No comments:
Post a Comment