Untuk
pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan sidang International Cocoa Organization (ICCO) yang berlangsung tanggal 18 – 22 Maret 2013 di Discovery
Kartika Plaza Hotel, Bali yang dilanjutkan dengan penandatanganan “Abidjan Declaration”, yaitu deklarasi
bersama Negara-negara produsen dan importir kakao untuk memberikan dukungan
penuh bagi pengembangan sektor kakao secara berkelanjutan di Negara-negara
anggota ICCO. Indonesia telah masuk menjadi anggota ICCO dengan
ditandatanganinya Internasional Cocoa Agreement pada 12 September 2011,
sekaligus menandai masuknya Indonesia pada keanggotaan ICCO, Indonesia mendapat
kemudahan akses dalam mengekspor produk kakao ke negara anggota.
Menteri Pertanian Suswono dalam sambutannya
mengatakan bahwa Indonesia telah melakukan langkah-langkah dalam hal
peningkatan produksi kakao nasional, diantaranya dengan pencanangan Gerakan
Nasional (Gernas) Kakao sejak tahun 2009, dan dampaknya adalah produksi kakao
yang tadi 1 Hektar hanya sekitar 400 kg kini telah meningkat menjadi 700
kg/Hektar, potensi produksi kakao nasional per hektar dapat mencapai 1,5
Ton/ hektar. Indonesia
merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.
Total produksi setara biji tahun 2012 adalah sebasar 833.310 ton atau meningkat
17 % dibandingkan dengan produksi tahun 2011 sebesar 712.231 per ton,
dengan total nilai ekspor Indonesia tahun 2012 adalah 978 juta US Dollar.
Perkembangan ekspor biji
kakao pada September 2012 naik 37%. namun secara kumulatif Januari-September
2012, ekspor biji kakao hanya mencapai 105.000 ton atau turun 33,54% karena
lebih banyak diserap dalam negeri.Ekspor kakao untuk produk downstream tiga
yang merupakan produk akhir olahan kakao hanya US$ 74,9 juta pada 2009, namun
pada 2011 sudah mencapai US$ 209,3 juta. Kenaikan mencapai tiga kali lipat.
Untuk produk downstream I atau produk intermediate kakao dari nilai ekspornya US$
250,4 juta pada 2009 naik menjadi US$ 518,9 juta pada 2011. Ekspor kakao
menunjukkan pergeseran dari dominasi biji kakao pada 2009 menjadi kakao olahan
mulai 2011. Pada 2009, ekspor biji kakao mencapai 80% atau 439 ribu ton. Angka ini
menurun menjadi 70% atau 210 ribu ton pada 2011. (Berdasarkan data media
terkait, BPS, data diolah F. Hero K Purba).
Produksi kakao berkelanjutan
berdampak signifikan pada perekonomian
negara-negara berkembang dan
memberikan mata pencaharian bagi 40
sampai 50 juta orang di seluruh
dunia. Tidak seperti industri
agribisnis yang lebih besar, sebagian besar masih berasal
dari kakao pada
keluarga-menjalankan peternakan
kecil yang memiliki akses terbatas
ke sumber daya dan pasar terorganisir. Untuk mengatasi
berbagai tantangan yang dihadapi produksi
kakao dunia, aktor publik dan sektor
swasta semakin bermitra untuk mendedikasikan dana
dan keahlian untuk meningkatkan pertanian kakao yang
berkelanjutan dan kondisi komersial
negara berkembang lokal. Dengan bantuan dari World Cocoa Foundation (WCF), upaya ini akan diterjemahkan ke dalam kehidupan yang lebih baik di tingkat petani,
peningkatan sumber daya dan investasi di tingkat nasional, dan lingkungan, lebih aman lebih aman bagi petani kecil yang memasok sebagian besar produksi kakao bagi konsumen dunia..
Industri dalam negeri dapat meningkatan jatah biji
kakao. Tahun 2011, industri pengolahan mendapat kuota sekitar 207.000 ton.
Tahun depan, pasar domestik diberi jatah untuk menyerap 250.000 ton biji kakao
produksi nasional. Namun, alokasi jatah bahan baku itu tidak setara dengan target produksi
industri pengolahan sebesar 400.000 ton pada 2012. Khasiat
coklat dari chocolate
shop untuk
kesehatan adalah sebagai antioksidan, antioksidan dalam coklat untuk chocolate
souvenir diperoleh dari biji kakao yang mengandung
antioksidan flavonoid yang berguna untuk menahan radikal bebas. Kandungan
kakao (biji cokelat) lebih dari 70% juga memiliki manfaat untuk kesehatan,
karena cokelat kaya akan kandungan antioksidan yaitu fenol dan flavonoid.
Dengan adanya antiosidan, akan mampu untuk menangkap radikal bebas dalam
tubuh. Produksi kakao mempunyai arti yang strategis dan penting karena
pasar ekspor biji kakao Indonesia
masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap. Dalam
pengembangan potensi kakao ini hampir sekitar 80% dari produksi kakao nasional di
ekspor karena daya serap industri pengolahan dalam negeri relatif rendah. Citra
mutu kakao Indonesia yang
dikenal rendah serta rendahnya kapasitas industri pengolahan dapat menghambat
peningkatan daya saing kakao dan kakao olahan Indonesia. Serta peningkatan mutu
kakao Indonesia sebagai daya
saing kakao dan kakao olahan Indonesia
dan faktor-faktor apa yang menjadi penentu daya saing komoditi tersebut di
pasar internasional serta bagaimana strategi untuk meningkatkan daya saing kakao
dan kakao olahan Indonesia.
Indonesia selama ini hanya mendapat fasilitas bea masuk 0%
untuk biji kakao, sedangkan kakao olahan dikenai tarif bea masuk yang
bervariasi. Misalnya, cocoa butter
4,2%, cocoa powder 2,8%, dan cocoa cake 6,1%. Angka tarif bea masuk
itu ditetapkan setelah mendapat potongan tarif Generalized System of Preferences (GSP).
Berdasarkan informasi ICCO bahwa untuk sidang
tahunan ICCO merupakan sidang tahunan yang diadakan dua kali dalam setahun,
yaitu di London
dan di Negara anggota ICCO. Pertemuan di Bali, Indonesia merupakan pertemuan
yang ke-87 kalinya yang diikuti oleh 70 delegasi asing yang berasal dari Eropa
sebanyak 7 negara, Afrika sebanyak 10 Negara, Amerika Latin sebanyak 3 negara,
Malaysia dan Papua Nugini.
No comments:
Post a Comment