Wednesday, October 15, 2008

Dampak Pengaruh Krisis Ekonomi Global “The effect of Economic Crisis 2008”

Dengan adanya dampak dari kredit macet di negara Asia jauh lebih kecil dari negara Eropa dan AS namun demikian negara Asia belum bisa bernapas lega, karena sejak tahun 1997 yakni sejak krisis Asia, perusahaan keuangan Asia beralih ke tangan AS maupun Eropa sehingga dengan terpuruknya perekonomian AS maka dengan sendirinya perusahaan AS di Asia akan terkena imbasnya. Pengaruh krisis keuangan yang bermuara dari subprime mortgages di Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia belum ter - lalu dirasakan. Dampak yang ada sebatas gejolak di pasar uang domestik, seperti melemahnya indeks harga saham gabungan (IHSG) dan kurs rupiah, yang itu pun temporer. Selama Mei-September 2007, IHSG dan kurs rupiah sempat melemah dan mengalami rebound menjelang akhir tahun. Namun, beberapa minggu terakhir, baik IHSG maupun kurs ru piah, kembali melemah. gejala globalisasi pasar dunia yang dipengaruhi langsung oleh berbagai kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi di Asia Pasifik, banyak membuka kesempatan berusaha bagi produsen domestik dan investor modal asing. Meluasnya jaringan organisasi dan komunikasi perusahaan global beberapa tahun sebelum terjadinya krisis perekonomian dunia, terbukti telah memberikan berbagai kesempatan berusaha bagi perusahaan-perusahaan swasta domestik di Indonesia dalam bentuk kerjasama usaha patungan (joint ventures) dan waralaba (franchising).Tetapi sebaliknya kita saksikan bagaimana perubahan lingkungan eksternal yang berjalan dengan sangat cepatnya, seperti kejadian penyerangan gedung kembar World Trade Center dan serbuan militer Amerika Serikat ke Irak, kemudian dalam sekejap memporak-porandakan keunggulan bersaing satu negara dalam pola perdagangan antar bangsa di dunia. Pengaruh buruk dampak lingkungan eksternal kadang-kadang bersifat terselubung, dan dengan kejamnya merenggut kedudukan keunggulan persaingan beberapa perusahaan domestik yang berskala kecil dan menengah.
Dengan melihat kondisi pasar Indoneis, Sentimen negatif yang melanda pasar keuangan Indonesia sebagai dampak dari krisis ekonomi global, membuat investor asing buru-buru menarik dananya dari berbagai portofolio surat berharga di Indonesia. Inilah yang menyebabkan rupiah mengalami depresiasi yang sangat tinggi dalam beberapa minggu terakhir. Bahkan beberapa hari lalu, rupiah sempat menembus level Rp 10.000.

Data Bank Indonesia memperlihatkan, pembalikan dana atau net outflows dari pasar keuangan Indonesia baik melalui SBI, SUN dan pasar saham mencapai US$ 1,9 miliar. Ini menunjukkan bahwa net beli asing pada SBI, SUN dan pasar saham lebih kecil dibandingkan dengan dana-dana yang dibawa ke luar negeri.Kebanyakan investor asing lebih suka mengoleksi SUN daripada SBI dan saham, karena yield yang ditawarkan lebih tinggi serta tanpa risiko. Selama kuartal ketiga, arus dana asing yang masuk ke SUN meningkat sebesar Rp 10,13 triliun atau setara dengan US$ 1,11 miliar.Dengan demikian, total kepemilikan asing pada SUN naik menjadi sebesar Rp 104,23 triliun atau setara dengan US$ 11,15 miliar. Bila ditotal dengan kepemilikan asing pada SBI, maka penempatan asing mencapai Rp 124,6 triliun atau US$ 13,33 miliar. Sedangkan kepemilikan asing pada saham atau net beli, perlahan-lahan menunjukkan penurunan juga menjadi Rp 2,16 triliun atau sebesar US$ 230,35 juta.

Pembalikan dana tersebut, secara tidak langsung menurunkan posisi cadangan devisa menjadi sebesar US$ 57,1 miliar atau setara dengan 4,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah pada akhir September 2008. Padahal pada akhir kuartal dua yang lalu masih ada sekitar US$ 59,45 miliar. itu artinya, selama satu kuartal terjadi penurunan cadangan devisa sebesar US$ 2,35 miliar. (Sumber Kontan Newpaper, Other Resources Material, Data process by, Frans Hero K. Purba)

Wednesday, October 8, 2008

Keadaan Ekonomi dunia dengan ada Krisis Pasar Modal dan Financial bubble" & Economic Bubble 2008

Dengan diketahuinya nama-nama besar seperti Lehman Brothers, American International Group (AIG), Merril Lynch, Goldman Sach sudah lempar handuk. Wall Street yang selama ini dikenal dunia sebagai simbol kedigdayaan ekonomi kapitalis dan suksesnya ekonomi pasar bebas, kini, tak berdaya. Tanpa bailout pemerintah, krisis keuangan yang menimpa Wall Street tidak hanya melumpuhkan ekonomi AS, juga menyeret ekonomi dunia ke dalam resesi. Kondisi ekonomi AS saat ini ditandai inflasi tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, angka pengangguran yang melonjak, serta defisit bujet dan defisit neraca pembayaran yang terus membengkak. Krisis subprime mortgage mengakibatkan ketatnya likuiditas dan bangkrutnya perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, serta ambruknya harga saham dan surat utang di Wall Street.
Sejak beberapa kuartal terakhir telah terjadi peningkatan modal jangka pendek (hot money) yang luar biasa ke kawasan Asia Timur. Perkembangan ini dinilai banyak negara, seperti Korea Selatan, Thailand, dan China, cukup mengkhawatirkan.Alasannya, aliran hot money telah mengakibatkan mata uang mereka terlalu kuat sehingga mengganggu kinerja ekspor.Negara-negara tersebut segera mengambil langkah untuk memperlemah nilai tukarnya, termasuk meredam overheating, menaikkan pajak transaksi di pasar modal dan pasar uang, untuk mengempeskan financial bubble dan property bubble yang berlebihan.Perlu diingat, sepuluh tahun lalu Indonesia terseret gelombang krisis jauh lebih dalam dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya karena struktur ekonomi yang rapuh.Terlalu menyederhanakan masalah bila saat ini tim ekonomi pemerintah menganggap Indonesia lebih kuat menghadapi ancaman krisis hanya karena alasan aliran dana dari luar telah dicatat dengan baik dan transparan dibandingkan sepuluh tahun lalu.Sebagaimana negara-negara Asia lainnya, saat ini Indonesia juga mengalami financial bubble. Namun, respons yang diambil sangat berbeda. Pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya financial bubble sehingga tidak ada respons kebijakan optimal untuk mengurangi potensi bahaya. Padahal, indikasi bubble dan rapuhnya struktur ekonomi sudah cukup banyak. Pertama, Indonesia paling rentan terhadap krisis karena peningkatan ekspor dan cadangan devisa lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas dan aliran hot money. Sangat berbeda dengan negara Asia Timur lainnya yang mengalami kenaikan ekspor dan cadangan devisa dari kenaikan produktivitas dan volume ekspor.Kedua, pelaksanaan regulasi legal lending limit belum betul- betul efektif. Data kami menunjukkan telah kembali terjadi peningkatan group lending dan pembiayaan di sektor properti yang berlebihan. Hal tersebut sangat rentan terhadap potensi peningkatan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) perbankan.Ketiga, terjadi pertumbuhan semu di sektor perbankan. Saat ini net interest margin (NIM) perbankan sangat tinggi (6 persen), paling tinggi di dunia. Padahal, pertumbuhan kredit masih sangat rendah dan kredit yang tak dicairkan sangat tinggi (26,8 persen di sektor manufaktur).Ini menunjukkan bahwa NIM yang tinggi tersebut terutama diakibatkan oleh penerimaan bank dari bunga rekap dan investasi besar-besaran di instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN), bukan akibat membaiknya kinerja sektor riil.Kesehatan bank juga belum sepenuhnya pulih. Banyak bank membukukan peningkatan profit yang tidak sebanding dengan pertumbuhan kredit. Ini terjadi karena bank tetap menjadi pasien negara yang masih terus diinfus lewat bunga bank rekap, SBI, dan SUN. Kredit konsumsi tumbuh lebih cepat dibandingkan kredit modal kerja dan investasi. Bila porsi kredit konsumsi pada tahun 2000 hanya sebesar 15 persen, saat ini telah melonjak hampir dua kali lipat menjadi 29 persen. Tambahan pula, saat ini mulai terjadi peningkatan kredit macet di sektor konsumsi akibat rendahnya daya beli.Keempat, sektor riil, seperti manufaktur, mengalami perlambatan pertumbuhan. Manufaktur yang biasanya menjadi lokomotif pertumbuhan saat ini justru tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi.Sementara itu, kinerja sektor finansial dan pasar uang sangat luar biasa, padahal kenaikan indikator fundamental tidak mendukung. Terjadi gap yang semakin tinggi antara harga asset finansial dan faktor fundamental pendukungnya.Kelima, telah terjadi property bubbles. Seperti diketahui, empat tahun terakhir pertumbuhan pasok properti cukup tinggi, baik residensial maupun bisnis. Sementara permintaannya masih rendah akibat belum pulihnya daya beli masyarakat dan tidak adanya investasi baru yang signifikan.Akibatnya, terjadi kelebihan pasok yang mengancam kredit macet di sektor properti yang cukup besar (Kompas, 24 Mei 2007, "Ribuan Kios di Pertokoan Hayam Wuruk-Kota Kosong"). Cepat atau lambat financial bubble pasti akan mengalami koreksi. Alan Greenspan, mantan pemimpin Bank Sentral AS, telah mengingatkan kemungkinan akan terjadinya koreksi ekonomi dunia sebesar sepertiganya. (Sumber terkait Kompas News Paper other related material, data di olah oleh Frans Hero K. Purba)