Wednesday, September 30, 2015

Peluang Biofarmaka Dalam Pengembangan dan Hasil Olahan Produk Pertanian Agrofarmasi




Biofarmaka merupakan tanaman yang bermanfaat untuk obat-obatan, kosmetik dan kesehatan yang dikonsumsi atau digunakan dari bagian-bagian tanaman seperti daun, batang, buah, umbi (rimpang) ataupun akar. Indonesia sebagai negara dengan potensi besar dalam produksi biofarmaka khususnya rimpang-rimpangan, namun masih banyak hambatan dalam pengembangan biofarmaka.Potensi tumbuhan obat asli Indonesia dapat terlihat dari kontribusinya pada produksi obat dunia. Sebagai contoh dari 45 macam obat penting yang diproduksi oleh Amerika Serikat yang berasal dari tumbuhan obat tropika, 14 spesies di antaranya berasal dari Indonesia. Tanaman rempah Indonesia ada 5 jenis tanaman unggulan dengan produktifitas tertinggi ada pada komoditas pala, lada dan kayu manis. Dari segi keanekaragaman hayati, Indonesia merupakan negara terkaya nomor dua di dunia setelah Brazil, sedangkan Malaysia menempati urutan ke-12. Potensi bisnis biofarmaka memiliki prospek bisnis yang cerah untuk peluang pemasaran domestik dan luar negeri. Peluang pengembangan Biofarmaka besar, baik untuk pasar domestik maupun untuk ekspor. Tanaman biofarmaka sebagai pangan fungsional yang potensi pengembangannya cukup besar adalah: temulawak, jahe, kencur dan kunyit, terutama untuk bahan minuman dan obat-obatan.
Pelaku agrobisnis biofarmaka untuk lebih berupaya lagi didalam mewujudkan potensi biofarmaka menjadi salah satu penggerak pembangunan pertanian melalui mutu dan kontinuitas penyediaan bahan baku. Sebagai contoh produk jamu Indonesia seperti Jamu Nyonya Meneer, Jamu Jago, Jamu Sido Muncul dan sebagainya baik digunakan dan diekspor ke luar negeri dan tidak kalah bersaing dengan produk China dan India. Dalam kesempatan ini peluang prospek bisnis tanaman berbasis biofarmaka masih memiliki peluang yang cerah untuk memenuhi potensi pasar. Sebagai dasar bahan konsumsi obat-obatan untuk pasokan pabrik obat/medicinal factory tentunya memerlukan jumlah untuk bahan baku yang cukup sesuai dengan mutu dan standardisasinya. Indonesia adalah  negara kedua terkaya di dunia dalam hal keanekaragaman hayati. Terdapat sekitar 30.000 jenis (spesies) yang telah diidentifikasi dan 950 spesies diantaranya diketahui memiliki fungsi biofarmaka, yaitu tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang memiliki potensi sebagai obat, makanan kesehatan, nutraceuticals, baik untuk manusia, hewan maupun tanaman termasuk tanaman obat. Dengan kekayaan tersebut Indonesia berpeluang besar untuk menjadi salah satu negara terbesar dalam industri obat tradisional dan kosmetika alami berbahan baku tumbuh-tumbuhan yang peluang pasarnya pun cukup besar. Salah satu alternatif pengembangan biofarmaka, fitofarmaka atau lebih dikenal dengan tanaman obat, sangat berpotensi dalam pengembangan industri obat tradisional dan kosmetika Indonesia. Selama ini, industri tersebut berkembang dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang diperoleh dari hutan alam dan sangat sedikit yang telah dibudidayakan petani. Teknik budidaya dan pengolahan bahan baku belum menerapkan persyaratan bahan baku yang diinginkan industri , yaitu bebas bahan kimia dan tidak terkontaminasi jamur ataupun kotoran lainnya. Untuk teknologi pasca panen, terutama diversifikasi produk, yang sangat penting pada saat harga produk segar tanaman obat atau simplisia rendah diwaktu terlalu banyak pasokan, masih sangat terbatas. Untuk peningkatan dan pengembangan hasil olahan biofarmaka perlunya keseriusan dalam pengolahan hasil yang berkelanjutan dengan melihat seberapa besar potensi tersebut dari segi kuantitas, kapasitas dan kualitas dalam rantai pasok bahan biofarmaka di pasar lokal maupun pasar ekspor. (Berbagai sumber media terkait, data diolah F. Hero K. Purba).

Friday, September 25, 2015

Kemiri Sunan Prospek Peluang Usaha Agribisnis Bioenergi




Kemiri sunan menghasilkan bahan bakar biodiesel yang bisa dijadikan sumber energi alternatif. Minyak nabati yang berasal dari kemiri sunan bisa menggantikan peranan bahan bakar minyak bumi.Kemiri Sunan (Reutalis trisperma (Blanco) Airy Shaw) suatu potensi yang sangat menjanjikan. Dengan kadar minyak dan potensi produksi seperti ini berarti dalam satu hektar dengan populasi 100 pohon dapat menghasilkan 50 ton biji kering, setara dengan 15-25 ton minyak, lebih tinggi dibanding potensi produksi yang dihasilkan Kelapa Sawit. Kemiri sunan dapat ditemukan pada ketinggian hingga 1000 m di atas permukaan laut (Maman, 2009). Kemiri sunan adalah salah satu komoditas tanaman penghasil minyak nabati non edibel yang prospektif sebagai bahan baku biodiesel.

Mulai dari proses pembibitan hingga pengolahan buah kemiri sunan menjadi bahan bakar biodiesel, kemiri sunan menghasilkan bahan bakar biodiesel yang bisa dijadikan sumber energi alternatif. Minyak nabati yang berasal dari kemiri sunan bisa menggantikan peranan bahan bakar minyak bumi. Hal ini tentu menguntungkan sebab selain bijinya bisa menjadi sumber minyak, menanam pohon kemiri sunan juga akan memperbaharui “udara” di bumi. Potensi dari komoditi kemiri sunan dalam menggantikan BBM terpusat pada kandungan yang ada pada bagian bijinya. Biji kemiri sunan tersusun atas cangkang dan juga biji. Pada biji tersebut terdapat bagian iti biji dan juga kulit biji. Bagian inti biji tersebutlah yang kemudian diproses dan menghasilkan minyak kemiri sunan dan digunakan sebagai salah satu energi alternatif untuk manusia. Biji ini kemiri sunan ini sendiri mengandung minyak nabati sekitar 56%. Wujudnya cairan dengan warna kuning dan sedikit bungkil. Minyak ini mengandung sejumlah senyawa antara lain palmitic, asam oleic, asam linoleic, asam alpha-elaeostearic, asam stearic.

Proses bahan dasar biodiesel yang dimiliki oleh Kemiri Sunan memperhatikan keunggulan bahan dasar biodiesel yaitu: 1. Bahan dasar biodiesel tidak digunakan untuk bahan dasar makanan (non edible oil) sehingga tidak timbul konflik antara bahan dasar makan dan keamanan sumber energi; 2. Transesterifikasi bekerja pada katalis basa lebih baik dari katalis asam. 3 Minyak bereaksi cepat tanpa memodifikasi mesin biodiesel; 4. Biodiesel yang dihasilkan melalui proses enzimatik dapat mempercepat reaksi atau menyederhanakan mekanisme reaksi; 5. Kinerja biodiesel meningkat ditandai dengan rendahnya emisi debu, CO dan HC, (Yaliwal at al., 2011). Pengembangan tanaman kemiri khususnya Kemiri Sunan di Indonesia perlu mendapat perhatian dalam meningkatkan taraf kehidupan petani dengan melihat prospek dari berbagai jenis kemiri yang di budidayakan. (Sources: Berbagai sumber media terkait, Litbang Kementan, data diolah F. Hero K Purba).


Tuesday, September 22, 2015

Pengolahan Buah Belimbing sebagai Nilai Tambah Produk Olahan



Pengembangan buah  Belimbing merupakan satu-satunya buah lokal yang harganya mampu bersaing dengan buah-buahan impor. Umumnya belimbing ditanam dalam bentuk kultur pekarangan (home yard gardening), yaitu diusahakan sebagai usaha sambilan sebagai tanaman peneduh di halaman-halaman rumah. Belimbing (Averrhoa carambola) merupakan tumbuhan penghasil buah berbentuk khas yang berasal dari Indonesia, India, dan Sri Lanka. Saat ini, belimbing telah tersebar ke penjuru Asia Tenggara, Republik Dominika, Brasil, Peru, Ghana, Guyana, Tonga, dan Polinesia. Usaha penanaman secara komersial dilakukan di Amerika Serikat, yaitu di Florida Selatan dan Hawaii.  Adapun Manfaat buah belimbing: Mengobati jerawat, Mengatasi masalah kencing manis, menyembukan sariawan,  baik bagi penderita kanker,  mengobati demam, menyembuhkan batuk, Mengatasi kolesterol, menyembuhkan sakit tenggorokan, kandungan seratnya yang tinggi melancarkan pencernaan, menyembuhkan sakit kepala, sebagai obat Hipertensi, menyembuhkan Nyeri pada persendian dan sebagainya. Pada buah belimbing Belimbing memiliki kandungan pektin cukup tinggi. Kandungan dari Pektin merupakan unsur zat pada buah atau sayur yang memiliki manfaat mengurangi kolesterol. Konsumsi buah berpektin setiap hari bisa untuk mengurangi kadar kolesterol di dalam tubuh. Sektor pertanian Hortikultura yakni buah belimbing juga menjadi ciri khas dan yang menjadi andalan adalah tanaman buah yang salah satunya adalah buah belimbing yang selama ini menjadi trademark.
Khususnya untuk sektor hortikultura buah lokal seperti belimbing bagaimana menjaga kestabilan harga belimbing di tingkat petani, menambah personil penyuluh pertanian agar penyuluhan kepada petani dapat dilakukan secara intensif dan efektif. Upaya lain dalam meningkatkan nilai tambah produk Belimbing adalah pengolahan produk. Sebagai usaha pengolahan hortikultura di kota Depok masih minim, akan tetapi sosialisasi pelatihan di bidang olahan untuk memotivasi pengusaha mikro dibidang pengolahan dalam memproduksi olahan hortikultura khususnya buah-buahan menjadi minuman segar terus ditingkatkan. Seperti contoh belimbing asal Depok dengan perkiraan total produksi yang dihasilkan dari belimbing Depok berkisar antara 2.700 Ton sampai 3.000 Ton per tahun, Sementara kapasitas Produksi Belimbing jika diterapkan budidaya sesuai SOP Belimbing Dewa, diharapkan produktifitas per pohon dapat mencapai 300 kg per tahun dan jika diasumsikan harga per Kg Belimbing Berkisar antara Rp 5.000 – Rp7.000,-. Bahwa prospek usahatani agribisnis belimbing sangat cerah bila dikelola secara intensif dan komersial, baik dalam bentuk kultur perkebunan, pekarangan yang merupakan potensi dalam pengembangan usaha hortikultura buah. (Sumber: Litbanghorti, data media, data diolah Frans Hero13)

Wednesday, September 16, 2015

Peningkatan Daya Saing Produk Olahan Kakao dalam Pemasaran Global



 Indonesia mengekspor sekitar 60.000 ton biji kakao pada tahun 2014 yang lalu. Adapun industri penggilingan mengimpor sekitar 100.000 ton biji kakao, yang normalnya diimpor hanya sekitar 30.000 ton.Kapasitas produksi kakao tersebut mencapai 1.000 ton per tahun. Harga rata-rata biji kakao berada di atas US$3.000/ton.  Sementara harga pada tahun 2014 bergerak antara US$2.800/ton – US$3.200 ton. Produk kakao olahan sedang digalakkan untuk mendorong tumbuhnya industri hilir di dalam negeri. Produk olahan yang dimaksud berupa serbuk ataupun minyak cokelat. Produk tersebut memberi nilai tambah bagi penyerapan tenaga kerja dan menggerakkan perekonomian nasional. Untuk konsumsi cokelat di Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga di Asia. Sebut saja Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Minimnya konsumsi cokelat di Indonesia, menurutnya, tidak terlepas dari faktor kebiasaan dan budaya yang berkembang. Indonesia menjadi salah satu produsen utama kakao di dunia. Namun belum banyak produk cokelat siap konsumsi lokal Indonesia yang inovatif dalam mengemas dan menjual produk ke masyarakat luas.
Biji kakao Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional diharapkan akan lebih banyak lagi negara yang membutuhkan kakao biji dari Indonesia dan produsen akan lebih bersemangat untuk memproduksi kakao biji dengan mutu yang lebih baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Menurut data BPS pada tahun 2010-2012 biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton. Untuk  pasca kebijakan bea keluar terdapat peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun 2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011. Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada tahun 2014. Kapasitas terpasang dari 660.000 ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun pada 2015.Untuk luas areal tanaman kakao Indonesia mencapai 1,4 juta hektar dengan produksi 803 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading diikuti Ghana pada urutan ketiga, Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 Ha dan produksi 795.581 ton. Secara umum didunia terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia sekitar 20% dan Amerika latin sekitar 15%. Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Total produksi kakao Indonesia sekitar 16 persen dari total produksi dunia, namun jumlah yang diekspor masih kurang dari 5 persen. Selain itu produsen di Indonesia masih mempunyai posisi tawar yang lemah ditunjukkan oleh harga kakao yang mudah berfluktuasi pada tingkat yang rendah.
Untuk Biji kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi/produk yang diperdagangkan secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan. Perdagangan luar negeri komoditi/produk tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558 Ha pada tahun 2009. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.Kebijakan umum di bidang perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor, dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan impor ada dua, yakni (1) mengurangi impor, dengan prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar atau (2) menambah impor, jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pengembangan potensi daya saing produk kakao diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Pengembangan produk olahan kakao, pemerintah juga telah mengeluarkan serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengaruh persaingan /daya saing didasarkan pada perubahan pangsa pasar negara pengekspor yang dianalisis (Indonesia) di pasar negara tertentu untuk suatu komoditas tertentu hanya dapat berlangsung selama waktu analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif komoditas negara pengekspor (Indonesia). Daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.(Berbagai sumber media terkait, data -data diolah F. Hero K. Purba)