Tuesday, September 30, 2014

Membangun Kedaulatan Kemandirian Usaha Agribisnis untuk Petani, Prospek Peluang dan Tantangan




  Indonesia membangun kedaulatan pangan sebagai strategi untuk mencegah krisis pangan. Membangun kedaulatan pangan dapat dilakukan melalui peningkatan produksi pangan dan pengurangan konsumsi, disertai pembangunan perdesaan terpadu. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan merupakan strategi untuk mencegah krisis pangan dan mengentaskan masyarakat tani dari kemiskinan.Solusi bagaimana pembangunan kedaulatan pangan guna mengurangi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin menurun?. Praktek impor pangan sebenarnya menunjukkan bahwa tidak mampu mencapai tujuan meningkatkan produksi pangan nasional sebagaimana diharapkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), laju permintaan terhadap pangan terus meningkat rata-rata lima persen setahunnya. BPS men catat, selama Januari-Oktober 2013, secara volume impor pangan mencapai 15,4 juta ton atau setara dengan 7,73 miliar dolar AS. Memenuhi kebutuhan bagi petani khususnya dan masyarakat pada umumnya rencana pembangunan mesti bijak, baik dan benar sehingga dapat mengoptimalkan potensi dan meminimalkan resiko yang ada untuk mewujudkan perikehidupan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Begitu juga halnya dengan kenaikan harga kedelai pada saat ini, diperlukan solusi jangka panjang dan tidak hanya instant untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri dan tidak hanya ketergantungan akan impor. Sebagai salah satu contoh dimana produksi kedelai nasional tampak mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan. Sejak tahun 2000, kondisi tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. (Sources media terkait dan artikel, data diolah F. Hero K. Purba).
Ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai artian bahwa menyediakan ini tidak sama dengan memproduksi bahan pangan sebagaimana yang dimaksudkan dalam kedaulatan pangan. Kenyataannya kita tidak merasa percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Dalam hal ini perlu peningkatkan sistem produktivitas yang lebih baik lagi serta menerapkan kebijaksanaan dalam Management Stock Pangan. Dalam krisis pangan dunia ada dua hal yang perlu dilakukan secara simultan, dimana, kita harus keluar dari dua jebakan anomali kebijakan yang dapat membekukan kinerja pertanian dalam jangka panjang. Diversifikasi pangan sudah sering digaungkan tetapi penerapan dan implimentasi kebijakan ke depan yang perlu dipikirkan rencananya. Diversifikasi pangan secara program telah ada sejak 1970-an, tetapi aksinya adalah upaya untuk mengindustrialisasikan dan menyediakan aneka ragam produk pangan. Sering dengan peningkatan infrastruktur fisik pertanian terutama irigasi, sistem transportasi, telekomunikasi dan energi di desa; pengembangan kelembagaan agribisnis termasuk dukungan pemerintah hingga level teknis dan penguatan jejaring usaha; rekonstruksi. Hal ini merupakan suatu hal yang harus disingkapi dengan seksama dan gerakan yang membumi dalam pelaksanaannya. Eksplorasi dalam potensi genetik aneka ragam tanaman yang masih belum optimal tampak pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi produksi tinggi.

Perlu diperhatikan dengan rendahnya penerapan dalam teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Begitu juga halnya seperti penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Gerakan kemandirian dalam program pangan berkelanjutan harus lebih diperhatikan kembali, dengan apa yanga kan dicita-cita dalam kembali terwujud di negara kaya seperti Indonesia dalam pencapaian swasembada berkelanjutan.
Indonesia to build food sovereignty as a strategy to prevent food crisis. Build food sovereignty can be done through increased production and reduction of food consumption, accompanied by integrated rural development. Building self-reliance and food sovereignty as a strategy to prevent and alleviate the food crisis of peasant society kemiskinan.Solusi how the development of food sovereignty in order to reduce food imports that have been flooding the Indonesian market that have an impact on the welfare of local farmers decreasing ?. Practice shows that the actual food imports are not able to achieve the goal of increasing national food production as expected. According to the Central Statistics Agency (BPS), the rate of demand for food continues to increase an average of five per cent per annum. BPS established a record, during January-October, 2013, the volume of food imports reached 15.4 million tons, equivalent to 7.73 billion dollars. Meet the need for farmers in particular and society in general development plan must be wise, good and right so as to optimize the potential and minimizing risks to people's life to realize a prosperous, just and prosperous. The need is great if not offset the increase in food production also faced the problem of latent danger that the rate of increase in domestic production continues to decline. So is the case with soybean price increases at this time, need long-term solutions and not just instant to meet consumer demand in the country and not only the dependence on imports. As one example where the national soybean production seem very alarming setback. Since 2000, the condition is getting worse, where the larger soybean imports. (Sources and related media articles, the data are processed F. Hero K. Purba).
Food security can be defined as the ability of governments to provide basic food needs and the needs of the community. As the sense that it does not provide the same to produce food as intended in food sovereignty. In fact we do not feel confident as an agricultural country that relies on agriculture as the foundation of life for the majority of the population but a large enough food importer. This will be a bottleneck in the development and become a greater challenge in realizing self-sufficiency for Indonesia. In this case the need to increase the productivity of the system better and exercise discretion in Food Stock Management. In a world food crisis there are two things that need to be performed simultaneously, which, we have to get out of the two traps policy anomalies that can freeze agricultural performance in the long run. Diversification has often echoed but the Implementation of policy implementation and to consider future plans. The diversification program has been around since the 1970s, but the action is an attempt to industry and provide a variety of food products. Often the improvement of physical infrastructure, especially irrigation farming, transportation systems, telecommunications and energy in the village; institutional development of agribusiness including the level of government support to the strengthening of technical and business networking; reconstruction. This is a matter that should be carefully disingkapi and movement grounded in practice. Exploration of the genetic potential of a variety of plants that are still not optimal results seen in the gap and productivity gains farmers abroad or research results. In this case breeding technology has undergone significant progress in creating a variety of high-yielding varieties of potential production.  
It should be noted with the poor level of the cultivation technology looks of the wide gap potential production of research results with the results obtained in the field by farmers. This is due to the understanding and mastery of the application of new technology packages that can not be understood by farmers as a whole so that the application of the technology in fragments (Mashar, 2000). It's the same as the improper use of fertilizers, seeds and maintenance means that farmers have not been optimally applied is not optimal because of the lack of dissemination of technology, guidance systems as well as poor farmers venture capital itself. Independence movement in the sustainable food program should be considered again, with what right Yanga aspired goals in the return realized in rich countries such as Indonesia in achieving sustainable self-sufficiency.

Monday, September 29, 2014

Potensi Peluang dan Tantangan Perkembangan Komoditas Karet





Perkembangan tren penurunan harga karet dunia hingga saat ini menyentuh US$ 1,5 per kilogram (kg) turut mempengaruhi kinerja produksi karet dalam negeri. Indonesia merupakan negara terbesar kedua penghasil karet setelah Thailand. Areal kebun karet Indonesia mencapai 3,4 juta hektare. Adapun Kendala peningkatan produksi karet di Indonesia adalah banyaknya tanaman karet yang kondisinya sudah tua atau rusak (berusia di atas 20 tahun). Selain itu, tingkat produktivitas tanaman masih rendah, karena sebagian besar berasal dari benih sapuan, bukan klon unggul. Terutama di perkebunan rakyat, penggunaan benih klon unggul rata-rata baru mencapai 40%.Namun produktivitas karet Indonesia masih rendah,yakni hanya 0,8 ton per hektare. Perkembangan komoditi karet menurut data tahun 2011, Indonesia hanya mampu memberikan kontribusi untuk kebutuhan karet dunia sebanyak 2,41 juta ton karet alam atau urutan kedua setelah Thailand yang sebesar 3,25 juta ton. Menurut data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), untuk tahun 2011 produksi karet alam dunia diasumsikan hanya berkisar 10,970 juta ton sementara untuk konsumsi diperkirakan mencapai 11,151 juta ton sehingga terjadi kekurangan pasokan atau minus sekitar 181.000 ton. Kurangnya produk karet alam dunia di tahun 2011 salah satunya di karenakan terganggunya produksi karet di beberapa negara seperti Australia, hujan deras yang disebabkan oleh lamina yang juga menyebabkan banjir di negara tersebut telah mengganggu proses penyadapan karet. Negara penghasil karet alam seperti Thailand, Indonesia dan Malaysia yang dikenal dengan International Tripartite Rubber Council (ITRC) karena ketiga negara tersebut menjadi penghasil karet alam terbesar. Thailand menjadi negara penghasil karet alam terbesar dengan produksi karet pada tahun 2012 sebesar 3,5 juta ton, sementara Indonesia di peringkat kedua dengan produksi karet pada periode yang sama sebesar 3 juta ton kemudian disusul oleh Malaysia dengan produksi 946 ribu ton pada periode yang sama. Jika melihat kondisi harga karet di pasar rubber Tokyo, Jepang sudah berada di level USD 3,3/kg. Untuk terus menjaga stabilitas harga karet, ITRC akan meminta Vietnam untuk ikut bergabung. Pasalnya, secara statistik produksi karet Vietnam juga mempunyai porsi yang cukup tinggi di kawasan Asia Tenggara (pada tahun 2012 melebihi mencapai 860 ribu ton). Empat Negara yakni Indonesia, Thailand, Malaysia dan Vietnam akan menguasai hampir 74 persen pasar dunia.
Pemerintah dalam hal ini, Kementerian Pertanian berupaya dalam pembentukan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olah Karet (UPPB). Berfungsinya UPPB, pemasaran Bahan Olah Karet /BOKAR milik anggota kelompok petani pekebun tidak boleh dijual langsung secara sendiri-sendiri kepada pedagang. UPPB dapat bertindak sebagai wakil petani pekebun bila berhadapan dengan pedagang atau pabrik pengolahan BOKAR terutama dalam melakukan transaksi pemasaran, asal UPPB berpedoman pada harga yang berlaku dan harus menjaga mutu BOKAR yang akan dijual. Dengan meningkatkan mutu BOKAR yang dihasilkan oleh petani pekebun, maka pemerintah kabupaten/kota atau instansi terkait bersinergi dengan pelaku usaha agribisnis karet membangun kualitas karet dalam potensi pemasaran Internasional dengan daya saing mutu produk karet yang berkualitas dan kontinuitas, kapasitas dalam memenuhi pemasaran global. (Sumber: data media, BPS, data diolah F. Hero K. Purba).

Friday, September 26, 2014

Pengolahan Buah Sukun Potensi Usaha Agribisnis



Potensi pemanfaatan buah sukun (Artocarpus communis)  telah lama dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Daerah Fiji, Tahiti, Hawai, Samoa,dan Kepulauan Sangir Talaud, buah sukun dimanfaatkan sebagai makanan tradisional dan makanan ringan. Buah dikonsumsi setelah direbus, digoreng atau dibakar. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, fosfor 0,048%, kalsium 0,21%, besi 0,0026%, kadar air 61,8% dan serat atau fiber 2%.

Beberapa daerah penghasil sukun antara lain Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Sangir Talaud, Sumatera Utara dan Lampung. Kediri merupakan sentra produksi sukun di Jawa Timur, Cilacap, dan Bawean merupakan centra produksi sukun di Jawa Tengah sedangkan sentra produksi sukun di Daerah Istimewa Yogyakarta berada di empat kabupaten yaitu : Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul(Lies Suprapti, 2002:31). Kandungan buah sukun juga terbilang tinggi, baik mineralnya maupun kandungan vitaminnya dan juga mengandung banyak unsur fitokimia yang sangat penting bagi tubuh, terutama dari beberapa jenis asam amino esensial, seperti isoleusin, methionin, lysine, histidine, tryptophan, serta valin. Daun sukun mengandung asam amino esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia seperti histidine, isoleusin, lysine, methionin, tryptophan dan juga valin. Tidak hanya itu, dalam daun sukun juga terdapat kandungan lainnya seperti, hidrosianat, asetilcolin, tannin dan juga riboflavin.Selain buahnya, daun sukun ternyata kaya akan manfaat bagi kesehatan. Sejumlah penelitian juga menyimpulkan bahwa ekstrak daun sukun dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit ginjal, liver, penyakit jantung dan penyakit kulit. Buah tersebut bila diolah menjadi tepung akan diperoleh 155,88 ton tepung sukun. Apabila tepung tersebut dimanfaatkan untuk campuran dalam pembuatan aneka olahan kue, maka tepung terigu yang dapat dihemat mencapai 39-78 ton.
Pembuatan tepung sukun ada beberapa cara, namun pada prinsipnya adalah sama, secara garis besar adalah dimulai dari pengupasan kulit buah, pencucian,pengirisan/penyawutan, pengeringan, penepungan/penggilingan, dan pengayakan. Kemudian dikemas dalam kantong plastik, dan disimpan atau siap untuk didistribusikan. Pengemasan tepung sukun yang baik dapat tahan hingga 9 bulan. Adapun keuntungan lain yang diperoleh dari pembuatan tepung sukun, antara lain adalah : (1) Tepung lebih tahan lama dan mudah disimpan; (2) Lebih praktis, ringan dan mudah didistribusikan; (3) Dapat mensubtitusi penggunaan tepung terigu; (4) Mudah dicampurkan dengan bahan lainnya; (5) Dapat diolah berbagai macam produk. Diharapkan pengembangan sukun baik dalam bentuk tepung dan aneka pangan lain dapat dikembangkan lebih baik lagi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari pada konsumennya.(Sources data: Litbang Kementan, media, data diolah F. Hero K. Purba).

Tuesday, September 23, 2014

Membangkitkan Potensi Pangan Lokal dalam Upaya Ekonomi Kreatif Suatu Wilayah


Indonesia merupakan negara agraris dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian. Pertanian adalah suatu jenis kegiatan produksi yang berlandaskan proses pertumbuhan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Untuk itu dibutuhkan penanganan yang konsisten yang berlandaskan pengembangan pangan lokal dalam upaya Ketahanan dan kedaulatan Pangan. Salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan merupakan melalui penganekaragaman pangan, yaitu suatu proses pengembangan produk  pangan yang tidak bergantung kepada satu jenis bahan saja. Kebutuhan pangan merupakan suatu penggerak esensial roda perekonomian masyarakat dunia sehingga ketika isu perubahan iklim mencuat, hal tersebut tidak menjadi dan memunculkan sesuatu kekhawatiran tersendiri pada persoalan ketahanan pangan. Dengan jumlah penduduk pada tahun 2001 sekitar 204 juta jiwa dan pada tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 237 juta jiwa, serta permasalahan lain seperti kapasitas produksi panan Nasional yang semakin terbatas karena aktivitas ekonomi dan penciutan lahan karena alih fungsi. Diversifikasi pangan untuk aneka olahan dari Produk pertanian akan berjalan efektif apabila industri makanan dan minuman Indonesia telah mapan untuk mengolah ratusan jenis pangan bermutu tinggi yang dapat di produksi negeri ini. Upaya diversifikasi pangan sebagai salah satu solusi mencukupi kebutuhan pangan pun terus dilakukan oleh pemerintah dengan program pengembangan diversfikasi olahan produk seperti pengembangan produk umbi-umbian sebagai pengganti beras sebagai makanan pokok, pengembangan produk olahan. Menurut UU No.7 tahun 1996, Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Program untuk diversifikasi konsumsi pangan telah ada sejak dahulu, namun dalam perjalanannya menghadapi berbagai kendala baik dalam konsep maupun pelaksanaannya. Beberapa kelemahan diversifikasi konsumsi pangan masa lalu adalah (1) Distorsi konsep ke aplikasi, diversifikasi konsumsi pangan bias pada aspek produksi penyediaan; (2) Penyempitan arti, diversifikasi konsumsi pangan bias pada pangan pokok dan energi politik untuk komoditas beras sangat dominan; (3) Koordinasi kurang optimum, tidak ada lembaga yang menangani secara khusus dan berkelanjutan; (4) Kebijakan antara satu departemen dengan departemen lainnya kontra produktif terhadap perwujudan diversifikasi konsumsi pangan; (5) Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi pangan lokal; (6) Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-Bali, pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat (7) Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat partial tidak berkelanjutan dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama; (8) Kurangnya kemitraan dengan swasta/industri dan LSM; (9) Ketidakseimbangan perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk altematif dengan beras, (Ariani dan Ashari, 2003; Martianto, 2005, Krisnamurthi, 2003).    Kualitas konsumsi pangan penduduk Indonesia pada 2011 untuk padi-padian masih 316 gram, padahal idealnya 275 gram. Untuk Kebijakan diversifikasi pangan menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan serapan produk dalam negeri oleh masyarakat. Selain itu, kegiatan riil berupa pameran juga bisa membuka cakrawala pengetahuan terhadap produk dalam negeri. Jika kita analisa bahwa Diversifikasi pangan dari aspek konsumsi mencakup perilaku yang didasari pertimbangan ekonomis / pendapatan dan harga komoditas dan nonekonomis (selera, kebiasaan dan pengetahuan). Produk agribisnis lokal setiap wilayah perlu dikembangkan dengan potensi setiap daerah baikm Kabupaten/ kota dalam pengembangan pangan. Diversifikasi pangan dan pola konsumsi ini secara dinamis mengalami perubahan. Jadi, diversifikasi pangan selain merupakan upaya mengurangi ketergantungan pada beras, juga penganekaragaman dari beras ke sumber kalori dan protein lainnya yang lebih berkualitas. Berkembangnya produk-produk pangan lokal di daerah-daerah, otomatis masyarakat akan melihat peluang usaha dan cenderung akan tergerak untuk ikut mengembangkan produk lokal yang ada di daerahnya. Perlu meninjau dan menelaah lagi perkembangan yang ada dan memperhatikan secara konsisten dengan mempertimbangkan potensi lokal untuk ketahanan pangan. (Berbagai sumber media terkait, artikel pangan, data diolah F. Hero K. Purba)