Tuesday, November 18, 2014

Tantangan dan Peluang Komoditi Cabe (Capsicum annuum L.) Dalam Usaha Agribisnis




Perkembangan komoditas Cabe, produksi tahunan Indonesia sekitar 1.378.000 ton. Kebutuhan dalam negri kita sebesar 800.000 ton, sehingga untuk cabe terjadi surplus 578.000 ton. Untuk bawang merah, produksi tahunan Indonesia sekitar 1.050.000 ton, kebutuhan konsumsi konsumsi & pabrikan dalam negri sebesar 935.000 ton, sehingga terjadi surplus 115.000 ton.Perkembangan fluktuasi harga komoditas Cabe yang terjadi di pasar eceran, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan juga disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi sisi penawaran. Dapat dijelaskan bahwa kadang-kadang keseimbangan harga terjadi pada kondisi jumlah yang ditawarkan relatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang diminta. Hal inilah yang mengakibatkan harga akan sangat tinggi. Cabai (Capsicum annuum L.) merah adalah salah komoditas perdagangan, sehingga pengusahaan  ditingkat petani bersifat komersial yang dicirikan hasilnya berdasarkan permintaan pasar. Jenis cabe juga cukup bervariasi, beberapa jenis dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, rasa pedasnya dan warna buahnya. Di Indonesia sendiri jenis cabe yang banyak dibudidayakan antara lain cabe keriting, cabe besar, cabe rawit, dan cabe paprika.Kenaikan harga cabe beberapa pekan terakhir, membuat pemerintah kembali mengandalkan pasokan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan data bahwa harga cabe di pasar domestik pada bulan Agustus 2012 turun sebesar 9 % dibandingkan bulan Juli 2012. Harga cabe di pasar domestik pada bulan Agustus 2012 naik sebesar 53 % dibandingkan bulan Agustus 2011. Harga cabe secara nasional cenderung berfluktuasi dengan koefisien keragaman harga bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan Agustus 2012 sebesar 16 %. Disparitas harga cabe antar wilayah pada bulan Agustus 2011 sampai dengan bulan Agustus 2012 cukup tinggi dengan koefisien keragaman harga antar wilayah sebesar 33%. Konsumen pembeli Cabe saat ini banyak beralih membeli cabe impor karena harga cabe lokal masih sangat tinggi selain itu rasanya pun tak kalah pedas, dibanding cabe lokal. Banyaknya pasokan cabe impor dikeluhkan pedagang yang biasa menjual cabai lokal. Masuknya cabe impor ke dikhawatirkan di Indonesia pasaran cabe lokal dan ini sangat merugikan pedagang cabai lokal maupun para petani. (Sources data media terkait, data diolah F. Hero K. Purba).
Beberapa langkah yang dilakukan oleh para petani juga pedagang mengatasi rendahnya cabai merah belum ada solusinya karena cabai merah tidak tahan lama, kurang dari sepekan kualitas sudah berubah menunggu dua pekan membusuk paling dimanfaatkan oleh pedagang bumbu sebagai bahan cabai merah kering. Harga cabai merah sebelumnya sempat dikeluhkan oelh konsumen karena para pedagang menjual dengan harga sekitar Rp 65 ribu-Rp 70 ribu per kg bahkan sampai Rp. 100 ribu. Kenaikan harga cabai merah ketika itu disebabkan harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Sebagai contoh Cabe bubuk merupakan olahan lanjut dari cabe merah kering. Pada jenis olahan ini, setelah kering cabe selanjutnya mengalami proses penggilingan hingga menjadi bubuk cabe. Bubuk cabe banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industry macaroni, bihun, industry mie instant dan ikan kaleng, mie, kecap, kerupk, emping, bumbu masak, pati, dan industry pelumatan buah-buahan serta sayuran. Bubuk cabai merah dibuat dari cabai merah yang telah dikeringkan. Pasar-pasar tradisional di Jakarta membutuhkan cabe merah setiap harinya sebanyak 75 ton, dan di pasar tradisional Bandung membutuhkan 32 ton per hari, yang semuanya berasal dari Brebes. Dalam usahatani komoditi cabe merah pada akhirnya untuk memperoleh pendapatan dan tingkat keuntungan yang layak dari usahataninya. Kegairahan petani untuk meningkatkan kualitas produksinya akan terjadi selama harga produk berada di atas biaya produksi. Komoditi cabai merah selain harga juga menjanjikan memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, juga mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan membuat cabai merah semakin menarik untuk diusahakan sebagai usaha agribisnis yang memiliki prospek.

Wednesday, November 12, 2014

Minyak Cengkeh dalam Potensi Pengembangan Agribisnis




Potensi minyak atsiri ini masih terbuka luas baik di dalam maupun luar negeri. Minyak esensial dari cengkeh ini bisa untuk mengobati berbagai macam gangguan kesehatan seperti sakit gigi, gangguan pencernaan, batuk, asma, sakit kepala, stres dan darah kotor. Daun cengkeh memang sangat dibutuhkan untuk bahan membuat minyak. Menurutnya, minyak cengkeh sudah menjadi komoditas ekspor dan harganya relatif stabil.Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa hanya sebagian kecil jenis minyak atsiri yang telah diproduksi di Indonesia. Permintaan minyak atsiri ini pun diperkirakan terus meningkat dengan bertambahnya populasi penduduk dunia. Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn.Eugenia aromaticum) dapat diolah jugas sebagai minyak cengkeh. Minyak cengkeh merupakan minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif. Banyak zat terkandung dalam minyak cengkeh yaitu antibiotik, anti-virus, anti-jamur dan memiliki khasiat sebagai antiseptik. Adapun cara penggunaan minyak cengkeh agar bermanfaat bagi kesehatan, seperti dikutip dari eHow, Rabu yaitu: 1. Minyak cengkeh bermanfaat untuk memperbaiki kondisi pernapasan. bagi orang yang menderita pilek, hidung tersumbat, infeksi virus, asma, TBC atau bronchitis bisa menggunakan minyak cengkeh. Minumlah campuran 10-15 tetes minyak cengkeh dalam segelas air matang. Ini juga efektif untuk mengatasi gejala sakit tenggorokan. 2. Minyak cengkeh bisa mengobati sakit gigi. Zat eugenol yang terkandung dalam minyak cengkeh bisa menjadi pembunuh rasa sakit sekaligus bakteri dan jamur secara alami. Teteskan minyak cengkeh dan minyak zaitun ke bola kapas, lalu tempelkan pada gigi yang berlubang atau sakit. Teknik ini juga bisa mengurangi peradangan. 3. Minyak cengkeh untuk mengurangi nyeri otot dan sendi. Di dalam minyak cengkeh terdapat kalsium, minyak omega 3 dan zat besi yang semuanya dapat berkontribusi dalam menguatkan sendi dan tulang di tubuh. 4. Minyak cengkeh untuk merawat kondisi kulit. Minyak cengkeh bisa digunakan secara alami untuk menyembuhkan kulit, mengobati bekas gigitan serangga dan mengurangi kemungkinan infeksi.

Kegunaan lain Cengkeh juga dapat digunakan untuk meringankan gejala yang sangat tidak nyaman dalam sistem pencernaan, termasuk gas perut berlebih, masalah seperti kolik, dan kembung di daerah perut. Kejang otot bisa lega jika cengkeh digunakan sebagai salep topikal, pada saat yang sama, aksi anti-spasmodik dari cengkeh juga membantu dalam pengentasan batuk dan masalah lainnya dari sistem pernapasan. Properti merangsang cengkeh telah membuatnya terkenal sebagai afrodisiak di barat serta di India. Cengkeh diyakini untuk membantu dalam merangsang tubuh serta pikiran dengan meningkatkan memori lesu. Dalam beberapa budaya Asia, wanita hendak masuk ke tenaga kerja kadang-kadang diberi cengkeh untuk mempersiapkan mereka untuk kerasnya dan tuntutan fisik dari kelahiran anak, diyakini bahwa kontraksi otot rahim selama persalinan diperkuat dan didorong oleh cengkeh. Untuk pasokan minyak cengkeh Indonesia ke pasar dunia cukup besar yaitu lebih dari 60 persen kebutuhan dunia, tetapi produksi sebesar itu tergantung dari keadaan musim. Walaupun kebutuhan akan minyak cengkeh tidak diunggulkan di tingkat pasar internasional, tetapi setidaknya peluang usaha untuk memproduksi minyak cengkeh juga memberikan keuntungan yang cukup besar. (Berbagai sumber terkait, materi artikel media, data diolah F. Hero K. Purba).

Friday, November 7, 2014

Pangan Lokal dalam Membangun Potensi dan Sumberdaya yang Berdayasaing




Pembangunan potensi kearifan pangan lokal selayaknya harus mengenali karakter sumber daya alam lingkungan agar dapat dikelola dengan tepat bagi kelanjutan hidup manusia sekarang dan di masa mendatang. Beberapa daerah keberadaan pangan lokal belum diusahakan dengan intensif, baik usaha budidaya maupun pasca panennya. Hal ini tentunya salah satunya tergantung pada kebijakan pemerintah daerahnya. Untuk itu jika kebijakan sudah diambil, sosialisasi tentang kebijakan tersebut sangat diperlukan. Kekayaan alam yang miliki Indonesia seharusnya mampu menciptakan ketahanan pangan nasional. Dengan membanjirnya pangan impor menimbulkan permasalahan sosial sendiri bagi ketahanan pangan nasional. Walaupun diversifikasi pangan bukan merupakan program baru, program ini merupakan langkah jitu untuk meredam gejolak pangan dunia dan nasional ditengah ancaman perubahan iklim. Sementara itu, diversifikasi pangan menjadi cara mengembangkan kearifan lokal melalui pengoptimalan sumber daya yang ada. Diversifikasi pangan untuk aneka olahan dari Produk pertanian akan berjalan efektif apabila industri makanan dan minuman Indonesia telah mapan untuk mengolah ratusan jenis pangan bermutu tinggi yang dapat di produksi negeri ini. Upaya diversifikasi pangan sebagai salah satu solusi mencukupi kebutuhan pangan pun terus dilakukan oleh pemerintah dengan program pengembangan diversfikasi olahan produk seperti pengembangan produk umbi-umbian sebagai pengganti beras sebagai makanan pokok, pengembangan produk olahan. Menurut UU No.7 tahun 1996, Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Program untuk diversifikasi konsumsi pangan telah ada sejak dahulu, namun dalam perjalanannya menghadapi berbagai kendala baik dalam konsep maupun pelaksanaannya. Beberapa kelemahan diversifikasi konsumsi pangan masa lalu adalah (1) Distorsi konsep ke aplikasi, diversifikasi konsumsi pangan bias pada aspek produksi penyediaan; (2) Penyempitan arti, diversifikasi konsumsi pangan bias pada pangan pokok dan energi politik untuk komoditas beras sangat dominan; (3) Koordinasi kurang optimum, tidak ada lembaga yang menangani secara khusus dan berkelanjutan; (4) Kebijakan antara satu departemen dengan departemen lainnya kontra produktif terhadap perwujudan diversifikasi konsumsi pangan; (5) Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi pangan lokal; (6) Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-Bali, pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat (7) Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat partial tidak berkelanjutan dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama; (8) Kurangnya kemitraan dengan swasta/industri dan LSM; (9) Ketidakseimbangan perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk altematif dengan beras, (Ariani dan Ashari, 2003; Martianto, 2005, Krisnamurthi, 2003).                  
Masalah peningkatan produksi pangan di dalam negeri ini sudah sering diserukan banyak pihak sejak beberapa tahun ini. Faktanya, hingga saat ini pemerintah selalu mengambil jalan pintas membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Jika kita sadari awal pemerintah serius membenahi sektor produksi pertanian, Indonesia tidak perlu terlalu tergantung pada impor pangan seperti sekarang ini.Di sisi lain, ancaman krisis pangan di Indonesia makin terlihat nyata seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tidak adanya kebijakan pangan yang kuat. Selain itu, maraknya alih fungsi lahan-lahan pertanian menjadi peruntukan selain pertanian, juga menambah semrawutnya masalah. Klaim pemerintah untuk menjaga tanah pertanian yang subur hanya untuk pangan dan dijamin tidak ada konversi ke penggunaan lainnya hingga kini realisasinya masih dipertanyakan publik. Untuk itu perlunya mendorong masyarakat untuk mengembangkan potensi pangan lokal, demi terwujudnya ketahanan pangan nasional, agar menjadi bangsa mandiri, yang menghidupi masyarakatnya dengan olahan pangan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. (Berbagai sumber media terkait, artikel pangan, data diolah F. Hero K. Purba)

Wednesday, November 5, 2014

Peluang dan Tantangan Pengelolaan Ternak Sapi Indonesia dalam Konsumsi Kebutuhan dan Usaha Agribisnis Peternakan




Pergerakan pertumbuhan produksi daging sapi pada tahun 2014 sebesar 23 persen. Tahun 2013 produksi daging sapi sebesar 430.000 ton, dan tahun depan produksinya ditargetkan 530.000 ton. Impor daging hingga akhir tahun ini mencapai 250 ribu ton atau 45 persen dari total kebutuhan daging dalam negeri pada 2014.Harga daging sapi impor berpengaruh negatif terhadap jumlah impor daging sapi, namun pengaruhnya tidak nyata. Pada umumnya, konsumen daging sapi impor mempunyai pendapatan yang relatif tinggi, maka kenaikan harga daging sapi impor tidak memberikan pengaruh berarti terhadap volume impor. Sedangkan tahun lalu, pemerintah Indonesia memberikan kuota impor daging sapi sekitar 90 ribu ton, dan sapi bakalan 600 ribu ekor. Untuk tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia pada tahun 2011 hanya 4,7 gram per orang per hari. Angkat ini sangat rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina yang rata-rata 10 gr/orang/hari. Tahun 2012, pemerintah Indonesia menghitung kebutuhan daging sebesar 484 ribu ton. ketersediaan daging sapi hanya mampu memenuhi 399 ribu ton, sisanya 85 ribu ton dipenuhi dari impor. Untuk jumlah impor tahun 2012 terbagi atas daging sapi sebesar 34 ribu ton, dan sapi bakalan 283 ribu ekor. Sementara Korea, Brasil, dan China sekitar 20-40 gram/orang/hari. negara-negara maju seperti Amerika Serikat, prancis, Jepang, Kanada, dan Inggris mencapai 50-80 gr/kapita/hari. Indonesia mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan asal ternak sendiri dan malahan berpotensi menjadi negara pengekspor produk peternakan. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan karena ketersediaan sumber daya lahan dengan berbagai jenis tanaman pakan dan keberadaan SDM yang cukup mendukung.Untuk tingkat konsumsi yang akan menentukan kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan daging dan produksi ternak lainnya dan tingkat pendapatan rumahtangga (purchasing Berdasarkan  data BPS, provinsi yang memiliki populasi sapi potong lebih dari 0,5 juta ekor berturut turut adalah Provinsi Jawa Timur 4,7 juta ekor; Jawa Tengah 1,9 juta; Sulawesi Selatan 984 ribu ekor; Provinsi NTT 778,2 ribu ekor; Lampung 742,8 ribu ekor; NTB 685,8 ribu ekor; Bali 637,5 ribu ekor; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor. Sementara itu untuk sapi perah populasi terbanyak di Jawa Timur 296,3 ribu ekor sedangkan kerbau di Provinsi NTT sebanyak 150 ribu ekor. Peterrnak merupakan hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. Dalam kegiatan ini, ternak yang dimaksudkan adalah Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau. Segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, dan pengusahaannya.
Untuk wilayah yang merupakan sumber utama ternak sapi potong adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Barat, Bali, NTT, Sumsel, NTB, dan Lampung. Kemudian wilayah yang mempunyai potensi cukup besar untuk ternak kambing dan domba adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung, Sumut, NAD, Banten, dan Sulsel. Sedangkan wilayah yang potensial untuk perkembangan ternak domba adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten. Untuk itu , Peternak berskala kecil dan menengah diberi prioritas untuk melakukan usaha budidaya dan pengembangbiakan ternak Indonesia yang kehidupannya masih alami dan belum tersentuh teknologi namun berpotensi ekonomi, misalnya ternak ayam Indonesia (baik asli maupun lokal).
Menurut data statistik 2011 secara regional/pulau populasi sapi potong terbesar terdapat di Pulau Jawa 7,5 juta ekor atau 50,74 persen dari populasi sapi potong nasional. Regional/pulau Sumatera memiliki populasi terbesar kedua setelah Jawa dengan populasi 2,7 juta ekor (18,40 persen) disusul kemudian oleh Bali dan Nusra 2,1 juta ekor (14,19 persen); Sulawesi 1,8 juta ekor (11,97 persen); Kalimantan
437,3 ribu ekor (2,95 persen) serta Maluku dan Papua 258,1 ribu ekor (1,74 persen). Untuk sapi perah regional/pulau Jawa mencatat populasi 592,4 ribu ekor (99,21 persen) sedangkan kerbau terbanyak dijumpai di regional/pulau Sumatera 512,8 ribu ekor (39,30 persen). Praktisi bidang peternakan, maupun masyarakat luas harus difasilitasi dan dibina dalam upaya meningkatkan mutu genetik ternaknya melalui program persilangan yang secara ekonomis memang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternaknya. Indonesia, dengan penduduk yang hampir mencapai 237 juta jiwa ternyata mengkonsumsi telur dan daging ayam yang relatif rendah dibanding di negara-negara tetangga. Rata rata konsumsi telur nasional 87 butir/ kapita/tahun dan daging ayam 7 kg/kapita/tahun, bandingkan dengan konsumsi telur di Malaysia yang mencapai 311 butir/kapita/tahun (hampir 1 butir/kapita/hari) dan daging ayam mencapai 36 kg/kapita/tahun. Dalam hal ini perlu upaya serius harus dilakukan oleh berbagai pihak dalam meningkatkan konsumsi protein hewani tersebut. (Berbagai sumber data media terkait, data diolah F. Hero KP)