Wednesday, December 3, 2008

Tantangan Menghadapi Revolusi Krisis Global

Dengan berawalnya Krisis dari gagal bayar subprime mortgage yang menyembabkan bankrutnya bank investasi Lehman Brother's, lalu merembet ke pasar modal yaitu anjloknya harga saham perusahaan yang berhubungan dengan subprime mortgage, lalu meluas pada perusahaan yang berhubungan dengan mortgage dan akhirnya meluas ke seluruh bidang. Kemudian, Krisis di pasar modal segera merembet ke pasar uang karena di berbagai tempat orang sibuk mencairkan surat-surat berharga yang mereka miliki sebagai upaya untuk memotong kerugian lebih lanjut. Dalam industri subprime mortgage membuka peluang orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, persentase subprime mortgage adalah 23.8%, 25.5%, dan 22.8% dari total pemberian pinjaman mortgage pertahunnya. (sumber: LoanPerformance estimates). Dengan disebabkannnya resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Sekarang Anda bayangkan: orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi. Maret tahun 2000 adalah awal dari runtuhnya saham-saham teknologi: burst of internet bubble. Untuk mengurangi resiko resesi, bank sentral Amerika menurunkan target suku bunga secara agresif. Dengan suku bunga bank sentral yang rendah, maka suku bunga mortgage juga rendah. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat juga meningkat pesat: housing boom. Dalam kondisi suku bunga yang rendah dan harga rumah yang terus naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar peminjam subprime mortgage. Persaingan yang ketat, berbagai strategi marketing pun dilancarkan. Salah satunya adalah 2/28, artinya : bunga yang harus dibayar peminjam selama 2 tahun pertama sangat rendah dan setelahnya (mungkin sampai 28 tahun) bunga yang dibayar langsung melonjak naik. Jadi bunganya di-reset setelah tahun ke-2. Dengan iming-iming bunga rendah selama 2 tahun pertama, banyak orang yang mengambil mortgage. Dengan harga rumah yang terus naik, ada harapan sebelum tahun ke-2 rumah bisa dijual untuk membayar sisa mortgage. Melemahnya nilai matauang negara-negara lain ini adalah sebagai akibat dari menurunnya volume perdagangan dunia akibat menurunnya daya-beli masyarakat AS yang merupakan sepertiga volume perdagangan dunia, ekspor produk dan jasa dari negara-negara ini juga ikut menurun, dengan akibat berkurangnya cash-flow Dollar AS di negara-negara lain itu. Ini memicu kepanikan masyarakat untuk membeli Dollar AS di negara-negara lain untuk dip[akai sebagai simpanan, akibatnya matauang negara-negara lain itu juga melemah terhadap Dollar AS. Jepang sebagai negara Industri besar masih mampu memproduksi barang dan jasa untuk diekspor sebagain besarnya ke negara-negara lain diluar AS, sehingga matauang Yen masih tetap kuat karena masih dibutuhkan. (Sources: Strategi Nasional)
Secara logika, seharusnya matauang Dollar AS yang melemah, sebab terjadi penambahan kertas-kertas uang Dollar AS hasil pencetakan oleh Bank Sentral AS (The Fed) untuk meningkatkan liquiditas keuangan AS akibat Krisis Finansial 2008, dengan menyuntikkan uang itu kedalam sirkulasi uang di AS lebih dari US$1 Trilyun dalam waktu yang singkat, tanpa ada hasil produksi barang dan jasa apapun, atau jaminan cadangan lempengan-lempengan logam emas di Kas The Fed! Suntikan dana liquiditas di AS itu tidak lebih dari mencetak lembar-lembar kertas Dollar AS dari percetakan The Fed! Namun adanya berita akan merebaknya Krisis Finansial 2008 ke negara-negara lain itu saja sudah mampu merontokkan harga saham di Pasar-pasar Modal negara-negara lain, dengan akibat kerugian besar para pemegang saham-saham itu, tanpa ada transaksi perdagangan apapun, sebab semuanya dihitung memakai matauang Dollar AS! Ini makin menimbulkan kepanikan para pemilik modal untuk segera menjual saham-saham mereka, sehingga memicu reaksi berantai untuk menurunkan nilai asset perusahaan-perusahaan lokal. Dampak berikutnya adalah melemahnya matauang negara-negara lain diluar AS akibat digunakannya matauang Dollar AS sebagai referensi harga dan perdagangan saham dan perdagangan Internasional.
Pemerintahan Presiden SBY yang menyarankan agar masyarakat Indonesia jangan panik dengan melakukan pelepasan saham-saham mereka di Pasar Modal lokal, serta menimbun Dollar AS. Tetapi tanpa ada penjelasan yang logis dan rasional mengapa kita harus tidak panik, sebab yang krisis Finansial adalah Amerika Serikat, mengapa kita harus ikut-ikutan krisis? Ekspor Indonesia ke AS hanyalah bagian kecil dari ekspor nasional Indonesia. (Sources: Berbagai sumber terkait).
Dan sekarang bagaimana kita menyinggapi situasi dalam mengatasi rentetan kesulitan diberbagai negara? Tetntunya diperlukan suatu strategi nasional ditiap negara dengan mengkonsepkan suatu strategi stabilitas perekonomian yang dinamis untuk mengatasi krisis global ini. Dalam konteks Krisis Global ini ada sedikitnya dua langkah strategis yang bisa diusulkan, yaitu demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim
bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar
negeri, dan menyediakan peluang pasar.