Tuesday, December 18, 2012

Kebijakan Impor Pangan Dampak Ketergantungan dalam Pengembangan Agribisnis



Sesuatu yang ironis bila kita rasakan jika negara Indonesia yang kaya ini selalu ketergantungan Impor terutama produk pangan. Mengharapkan cita-cita swasembada pangan yang tak kunjung tergenapi.  Sebagai contoh faktor-faktor yang mempengaruhi impor beras secara nyata adalah kebijakan perdagangan (penetapan tarif impor), harga terigu, harga beras impor dan harga beras dalam negeri (taraf nyata 1 persen); nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (taraf nyata 5 persen) dan produksi beras nasional (15 persen). Faktorfaktor yang mempengaruhi impor beras secara negatif adalah variabel produksi beras nasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga beras impor dan harga terigu. Melaksanakan kebijakan impor produk pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk pertanian luar negeri. Sebagai contoh dalam komoditas kedelai, gandum, dan beras. Saat ini apabila ada kesenjangan antara ketersediaan pangan dan kebutuhan akan pangan, maka sudah dapat dipastikan pemerintah akan  mengutamakan melaksanakan kebijakan impor. Misalnya, pada kebutuhan akan kedelai. Kebutuhan akan kedelai selalu  mengalami peningkatan tiap tahunnya. Diperkirakan tiap tahunnya kebutuhan akan biji kedelai adalah kurang lebih 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sebesar 1,1 juta ton. Guna memenuhi kebutuhan maka pemerintah melaksanakan kebijakan impor. Impor kedelai ini menyebabkan petani dalam negeri sulit untuk bersaing karena murahnya harga kedelai impor. Perlu diketahui dalam rangka pemenuhan akan kedelai , kita harus mengimpor kurang lebih 60% dari luar negeri.
Untuk komoditas  gandum,  kini negara Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum terbanyak di dunia, melalui MNC (multi national corporation) yaitu  sebesar 2,5 juta ton. Untuk mengimpor gandum sebanyak itu diperlukan dana hampir Rp 8 triliun/tahun dan hal itu telah menguras devisa negara yang ada. Pada era liberalisasi ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perdagangan dengan memurahkan gandum. Tidakkah pemerintah menyadari betapa buruk dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut? Sebagai negara berkembang kita bisa saja ikut serta dalam liberalisasi perdagangan, apabila liberalisasi tersebut mampu mendorong berkembangnya agroindustri, harga membaik, produktivitas produk ekspor meningkat ,upah riil naik dan tercipta lapangan kerja karena dorongan ekspor. Kini masyarakat Indonesia cenderung menjauhi produk lokal dan lebih menjatuhkan pilihannya pada produk impor seperti gandum impor ini. (Berbagai sumber terkait, media data terkait, data diolah F. Hero K. Purba)
Berdasarkan data bahwa Impor pangan dalam periode 1996-2005 telah menghabiskan devisa tidak kurang USD 1,6 milyar/tahun setara dengan Rp 14,7 triliun/tahun, hanya untuk impor 10 produk pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula, susu, daging dll. Itu belum termasuk impor gandum yang mencapai 5 juta ton pada 20005 yang menguras devisa Rp 7,2 triliun. Indonesia pernah menyampaikan Trade Policy Review pada 2003 (WTO 2003). Salah satu yang dilaporkan adalah impor gandum. Pada 2002, impor gandum menghabiskan devisa USD 1,2 milyar, terbesar ke 6 diantara 10 besar produk impor Indonesia seperti bahan kimia, mesin, otomotif, mesin khusus, biji besi (iron), tekstil, plastik dsb. Gandum satu-satunya bahan pangan, lainnya adalah untuk bahan baku industri dan barang kapital Indonesia sesungguhnya sedang menghadapi risiko tinggi terhadap ketahanan pangan, memperlemah pembangunan perdesaan serta usaha pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan. Itu terjadi karena keterbatasan devisa, tingginya hutang luar negeri, serta perdagangan pangan dunia yang dikontrol oleh MNCs (multi national coorporations). Hal itu dapat membawa dampak buruk terhadap suatu negara besar seperti Indonesia, apabila tidak ada usaha untuk menciptakan perlindungan yang tepat serta membangun industri pangan dalam negeri yang kuat. Fungsi permintaan impor tradisional menjelaskan impor sebagai fungsi dari pendapatan riil domestik dan harga domestik relatif terhadap harga impor. Pada saat harga domestik mengalami kenaikkan, maka permintaan impor akan mengalami kenaikan karena adanya efek substitusi. Efek substitusi menjelaskan perilaku konsumen pada saat terjadi kenaikan harga, akan mengganti barang tersebut dengan barang yang relatif lebih murah. Pada saat harga domestik mengalami kenaikkan, maka konsumen akan menggantinya dengan produk impor yang harganya relatif lebih murah.

No comments: