Friday, October 7, 2011

Krisis Ekonomi Dunia dan Antisipasinya dalam Perekonomian Global


Kekhawatiran pasar terhadap posisi fiskal Italia dan Spanyol telah membuat Bank Sentral Eropa akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah darurat dan mulai meningkatkan program pembelian asetnya dengan membeli obligasi pemerintah Italia dan Spanyol. kondisi perekonomian global kembali terlihat memasuki cuaca buruk. Awal Agustus suatu lembaga rating terkemuka, Standard & Poor (S&P), menurunkan rating Amerika Serikat (AS) dari AAA ke AA+. Ini adalah suatu pukulan telak, mengingat rating puncak AAA telah dipegang AS sejak 1941. Krisis fiskal dan prospek ekonomi yang negatif adalah argumen S&P untuk melakukan downgrade atas status kredit AS.

Di Eropa permasalahan krisis fiskal bahkan lebih parah. Secara teknis, sebenarnya Yunani telah bangkrut dan sepenuhnya tergantung pada bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF) dan Uni Eropa. Bantuan dana juga diberikan kepada Portugal dan Irlandia yang tengah mendekati kondisi bangkrut. Kalangan analis memperkirakan, Spanyol dan Italia segera menyusul.

Kejatuhan posisi fiskal negara-negara di Eropa dan AS akan menimbulkan kerugian (capital loss) bagi banyak lembaga keuangan besar dunia. Dengan posisi modal yang belum pulih dari krisis global lalu, hal itu akan kian memperburuk fungsi intermediasi. Kerugian juga akan dialami sektor riil yang akan menurunkan keyakinan (optimisme) bisnis.

Indonesia tentu tidak dapat menghindar dari perkembangan ekonomi global yang negatif itu. Dampak perkembangan ekonomi global akan terjadi melalui jalur perdagangan, keuangan, dan psikologis. Daya tahan yang tinggi seperti ketika menghadapi krisis global pada 2008-2009 dapat saja terjadi, mengingat kontribusi sektor perdagangan hanya sebesar 10%-15% terhadap pembentukan output nasional. Kendati demikian, dampak tak langsung terhadap konsumsi dan investasi (yang mencakup 70% kontribusi output nasional) melalui jalur keuangan dan psikologis lebih penting untuk diperhatikan.

Berdasarkan hasil proyeksi Bank Dunia, harga CPO pada 2012 akan menurun berada di bawah USD1.000 per ton. Harga minyak mentah dunia juga cenderung turun, di mana harga minyak WTI kini berada di bawah USD90 per barel.Beruntung minyak mentah kita sebagian besar di ekspor ke pasar Asia, yang masih memperoleh harga yang relatif lebih tinggi. Penurunan harga ini hampir terjadi pada seluruh komoditas primer yang diekspor Indonesia.

Dengan penurunan harga-harga ini terutama dipengaruhi oleh ekspektasi akan menurunnya demand atas berbagai komoditas primer akibat melemahnya ekspektasi pertumbuhan ekonomi global dan tingginya risiko perekonomian global.Kondisi ini diperkirakan akan menyebabkan melambatnya volume perdagangan dunia, yang akhirnya akan memengaruhi perdagangan luar negeri (khususnya ekspor) Indonesia.Situasinya diperkirakan akan mirip dengan pelemahan ekspor Indonesia yang terjadi pada 2008,di mana sejak September 2008 hingga kuartal I-2009, ekspor Indonesia mengalami penurunan. Pengurangan porsi investasi asing dapat terjadi secara tiba-tiba (sudden reversal)—dalam kondisi ini rupiah berpotensi mengalami tekanan besar. Kendati demikian, cadangan devisa yang dimiliki, yakni sebesar +/- US$120 miliar, diperkirakan dapat mengimbangi risiko ini. Di samping itu, berbagai indikator kerentanan, seperti rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), defisit fiskal, dan inflasi, berada dalam batas aman. Dengan demikian, potensi risiko dari sudden reversal dapat dikatakan cukup terkendali.

Dengan melakukan pengawasan lebih ketat harus diberikan pada sektor keuangan, terutama perbankan. Berbeda dengan industri lain, menutup suatu bank bukan pekerjaan yang gampang, apalagi jika bank besar (memiliki risiko sistematis). Penutupan bank berpotensi menimbulkan dampak domino berupa persepsi negatif nasabah yang memicu penarikan dana besar-besaran dari sistem perbankan (bank rush). Aspek yang terpenting yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan risiko. Pengalaman yang ada menunjukkan dua sumber utama kerentanan perbankan, yakni penurunan kualitas aktiva produktif dan kerugian portofolio dagang (trading book), terutama dari valuta asing dan surat berharga. Adapun dari analisa analisis bahwa Pertama, pemerintah kesulitan membayar. Kedua, mungkin pemerintah meningkatkan pajak atau menambah pengeluaran untuk sektor keuangan yang mengurangi insentif ekonomi di sektor riil. Ketiga, investor di sektor nonriil akan kehilangan kepercayaan. Ekonomi dunia sekarang terlalu otomatis di mana setiap kemungkinan menghasilkan return baik sektor riil maupun nonriil berkompetisi. Akibatnya potensi kapital lebih banyak terserap di sektor nonriil. Salah satu sifat ekonomi nonriil adalah tiap instrumen tidak independen satu dengan yang lainnya. Keruntuhan yang satu segera merembet pada yang lain atau bersifat sistemik. Industri ini sangat rawan terhadap shock psikologis dan rumor.

Adapun Krisis yang terjadi diramalkan akan terjadi biasanya memberi koreksi pada sistem yang ada dan memungkinkan lahirnya ekonomi baru. Ekonomi baru inilah yang diharapkan mengurangi peran ekonomi nonriil dan mendorong penguatan ekonomi riil.Kelebihan kapital di negara maju yang selama ini diserap di pasar derivatif dan saham yang menggelembung lebih masuk akal jika benar-benar tersalur ke ekonomi dunia ketiga yang masih memungkinkan tumbuh. Kalau demikian halnya, penyerapan itu juga akan memiliki misi lain berupa kemanusiaan, mengurangi keterbelakangan, kemiskinan, pengangguran sampai kriminalitas dan terorisme. Krisis yang diduga akan terjadi tentu akan memukul sektor perbankan.Terutama melalui kredit pada sektor-sektor yang terimbas krisis. Perlu dikaji sektor-sektor apa yang akan terpukul jika terjadi krisis di negara maju. (Berbagai sumber media terkait,infobanknews, data diolah F. Hero K. Purba)

No comments: