Thursday, March 1, 2012

Mewujudkan Masyarakat Sejahtera dalam Penanggulangan Kemiskinan


Sifat kemiskinan di Indonesia cenderung daripada mutlak relatif (Sumodiningrat, 1989). Hal itujumlah pasti orang yang hidup dalam kemiskinan absolut adalah benar diketahui tetapi dianggap kecil dibandingkan dengan mereka yang tinggal di, atau dekat dengan garis kemiskinan resmi. Sementara mereka dalam kemiskinan absolut diberikan langsungbantuan, adalah bahwa kelompok yang terakhir terbesar Membutuhkan jumlah perhatian, Hal ini dimana petani subsisten dan orang-orang yang menggores hidup dari sedikit yangsektor informal dari daerah perkotaan dan hidup di tepi ekonomi bencana.Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan dan program Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dilakukan secara sistematis,terencana dan bersinergi dengan dunia usaha serta masyarakat. Program tersebut, lanjutnya, akan dilakukan dengan mempertimbangkan empat prinsip utama, yakni perbaikan pengembangan sistem perlindungan sosial, peningkatan akses pelayanan dasar dan pemberdayaan kelompok masyarakat miskin serta pembangunan yang inklusif.

Berdasarkan informasi di atas jelas bahwa profil orang miskin di perdesaan umumnya melekat pada mereka yang bekerja di sektor pertanian baik sebagai petani gurem, buruh tani, pencari kayu, maupun nelayan, sementara di perkotaan potret kemiskinan melekat pada merekayang bekerja di sektor informal perkotaan. Jam kerja rumahtangga miskin secara rata-rata juga lebih rendah dibandingkan rumahtangga tidak miskin. Hal ini juga berlaku baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan. Perbedaan profil atau karakteristik lapangan usaha kepala rumahtangga miskin antara perkotaan dan perdesaan ini seharusnya dapat dijadikan dasar bagi penentuan target atau sasaran dalam program pengentasan kemiskinan dengan membedakan antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Dengan melihat perbandingan

antara persentase kepala rumahtangga miskin dan tidak miskin yang bekerja di sektor jasa di daerah perdesaan dapat ditarik suatu pelajaran bahwa salah satu usaha yang perlu dilakukan dalam usaha memperbaiki tingkat penghasilan adalah mendorong mereka (orang miskin) yang bekerja di pertanian khususnya mereka yang bekerja sebagai buruh tani serabutan atau musiman beralih pada pekerjaan di sektor non-pertanian (off-farm employment). Hal ini dapat dilakukan baik secara langsung melalui penciptaan kesempatan kerja di sektor non pertanian maupun secara tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur perdesaan yang memadai seperti pembuatan dan perbaikan jalan yang diharapkan mampu menstimulasi penciptaan kegiatan ekonomi pedesaan. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut dan seperti telah dijabarkan dalam RPJM nasional 2010–2014, tujuan penanggulangan kemiskinan adalah mewujudkan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap dan progresif agar dapat menjalani kehidupan yang bermartabat, serta menurunkan jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan. Ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mendukung pencapaian tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals atau MDGs). Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti: pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Kemiskinan adalah salah satu bentuk hasil "keteledoran pelaksanaan suatu sistem perekonomian". Kemiskinan sebagai fenomena kemasyarakatan dapat dipandang sebagai hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan negara. Dalam hal inilah "perekonomian rakyat" sebenarnya menjadi basis bagi perkembangan masyarakat yang sedang dalam keadaan terdesak akibat kebijaksanaan nasional yang sangat mengarah pada sistem "perekonomian pasar bebas". Dalam konteks sosial-ekonomi, pembangunan berusaha meminimalkan disparitas income dan memaksimalkan distribusi pendapatan baik antarwilayah (horizontal distribution) maupun antarstrata sosial (vertical distribution). Apabila kondisi ini tidak dapat tercapai, maka problema sosial yang berlatar belakang disparitas ekonomi dan polarisasi sosial dapat membuka jarak yang lebar bagi jurang pemisah di dalam masyarakat (social gap). Hal ini tidak hanya sekedar menjadi public issues yang kasat mata, yang seyogyanya menjadi agenda pembangunan, namun suatu saat dapat menjadi efek snow-ball phenomena, yang terakumulasi kemudian menggelinding dengan muatan kekuatan destruktif yang maha dasyat dan pada akhirnya berimplikasi pada rusaknya tatanan sosial ekonomi yang ada. (Berbagai sumber terkait, media, data diolah Frans Hero K. Purba)

No comments: