Thursday, September 11, 2008

Productivity of Work as Challenge for Yourself (Produktivitas Kerja Yang ada Pada Diri Anda)

Produktivitas Kerja (Productivity of Work)
Mahoney (dalam campbell dan camphell, 1990) mendefinisikan produktivitas sebagai suatu pengertian efisiensi secara umum yaitu sebagai rasio antara hasil dan masukan salam suatu proses yang menhasilkan suatu produk atau jasa. Hasil (outputs) itu meliputi (penjualan, laba, kepuasan konsumen), sedangkan masukan meliputi alat yang digunakan, biaya, tenga, keterampilan dan jumlah hasil individu. According Claire Tompkins (www.clairetompkins.com.) who found the theory of Productivity of work that productivity involves producing. Producing widgets, events, reports, sales. The more producing you do, the more money you have and the greater success your company has. Right? It's not that simple. It doesn't matter how many widgets you produce if no one buys them. It doesn't matter how many reports you produce if they're irrelevant. So, productivity must be tied to a worthwhile goal.

1. Pengertian produktivitas kerja
Sejalan dengan pendapat diatas, As’ad (1987) menjelaskan produktivitas tidak dapat dipisahkan dengan pengertian produksi karena keduanya saling berhubungan. Apabila mempermasalahkan produktivitas maka produksi selalu tersangkut di dalamnya.
Hadi (1974) menjelaskan produktivitas kerja selalu disoroti dari dua segi, segi korban atau input dan segi hasil atau output. Perbandingan antara kedua segi itu akan menjadi ukuran dari produktivitas besar jika menunjukan hasil yang besar. Walaupun korbannya relatif kecil. Korban yang lebih besarpun dapat meningkatkan produktivitas jika tambahan korban itu secara relatif memberikan hasil yang lebih besar daripada tambahan korban.
Meier (dalam Martaniah dkk, 1990) mengemukan bahwa kriteria produktivitas antara lain adalah kualitas, waktu yang dipakai, absensi dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Untuk memudahkan pengukuran produktivitas kerja, pekerjaan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu ; (1) pekerjaan produksi yang hasilnya dapat langsung dihitung dan mutunya dapat dinilai melaui pengujian hasil sehingga standar yang objektif dapat dibuat secara kuantatif; (2) pekerjaan yang non produksi yang hasilnya hanya diperoleh melaui pertimbangan–pertimbangan subjektif, misalnya penilaian atasan, teman, dan diri sendiri.
Menurut Sinungun (1987) produktivitas diartikan sebagai perbandingan ukuran antara harga masukan dan hasil. Produktivitas diartikan juga perbedaan antara jumlah pengeluaran dengan jumlah masukan.
Pengertian produktivitas secara teknis, ekonomis, dan psikologis adalah rangkuman atau gabungan antara unsur efektivitas, efisiensi dan kepuasan kerja yang harus mengandung volume produksi, hemat masukan serta optimalisasi kepuasan kerja secara manusiawi (Hadipranata, 1987). Produktivitas jugamengandung pengertian sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini (ravianto, 1985).
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa produktivitas adalh kekuatan atau kemampuan untuk menghasilkan suatu produk atau hasil dengan rasion banding input leibh kecil dari output.

Meningkatkan Produktivitas Kerja
Cara meningkatkan produktivitas dapat ditempuh dengan usaha-usaha sebagai berikut:
(1). Peningkatan prestasi tenaga kerja yang dilaksanakan melalui berbagai perbaikan pada pelaksnan tugas dengan menggunakan sarana pendekatan manajerial dan pendekatan technical skill (pendekatan teknis), (2) peningkatan partisipasi tenaga kerja dengan ruang lingkup peningkatan pengetahuan yang mendasari tercapainya produktivitas serta pelatihan untuk menghasilkan tenaga kerja siap pakai (Siswanto,1987).
Mengukur data produktivitas adalah penting dan perlu juga diperhatikan adalah menggunakan data tersebut guna membangun produktivitas, sebab manfaat baru akan diperoleh kalau perilaku sudah diartikan sekaligus diwujudkan. Proses yang terjadi pada individu yang mendorong produktivitas diri dalam lapangan pekerjaan tidak terlepas dari karakterisktik pekerjaannya, sebab tingkat keberhasilan atau kesuksesan dalam pekerjaan berkaitan dengan pelaksanaan kerja. Pelaksanaan kerja ini adalah fungsi tingkah laku individu yang terarah dan ditujukan kepada sutu objek atau sasaran.
Berkenaan dengan keadaan tersebut Berdson dan Steimer (dalam Siswanto, 1987) menjelaskan motivasi merupakan proses kejiwaan yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan dan mengarahkan perilaku untuk mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Muchinsky (1987) bahwa tenaga kerja yang termotivasi akan menciptakan suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk keberhasilan pekerjaannya.
Sejalan dengan pendapat ahli di atas Campbell (dalam Schultz, 1970) mengemukakan bahwa hal-hal yang melibatkan motivasi para tenaga kerja dalam mencapai tingkat prestasi yang tinggi adalah adanya dorongan yang kuat untuk mengoptimalkan usahanya, kemudian adanya cita-cita dan inisiatif serta suasana kerja yang mendukung terlaksananya pekerjaan yang dilaksanakan. Dalam hal ini Burns (dalam Karn dan Gilmer, 1962) menjelaskan bahwa proses motivasi yang berkembang dalam kondisi kerja cenderung adanya penekanan pada pencapaian keberhasilan kerja, yang berpengaruh pada hasil akhir, dengan kata lain motivasi dapat membantu tenaga kerja untuk bekerja lebih produktif.
Salah satu teori motivasi yang terkenal adalah dari Maslow (dalam Robertson dan Cooper, 1983) yang mengidentifikasikan motivasi ke dalam lima kategori kebutuhan yang berbeda yaitu :
a. Kebutuhan fisiologis.
b. Kebutuhan akan rasa aman.
c. Kebutuhan akan cinta dan memiliki.
d. Kebutuhan akan penghargaan.
e. Kebutuhan akan perwujudan diri.
Pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi akan bisa dicapai apabila kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi. Robertson dan Cooper (1983) mengemukakan bahwa teori motivasi dari Maslow dikenal baik dalam lingkungan manajemen organisasi, alasannya adalah kebutuhan itu menimbulkan dorongan untuk mencapai tujuan yang menimbulkan perhatian yang sungguh-sungguh dari karyawan terhadap organisasi sehingga mereka berusaha menata dan menciptakan suasana kerja yang mendorong pencapaian akan kebutuhan perwujudan diri. Dengan kata lain motivasi diartikan sebagai konsep tindakan perilaku tenaga kerja yang diarahkan pada sasaran.
Untuk menjelaskan kebutuhan tenaga kerja akan keinginan berprestasi, Vroom dalam Harris (1984) menjelaskan untuk mengidentifikasikan motivasi tenaga kerja sehingga dapat dengan efektif difungsikan. Demikian juga halnya usaha-usaha karyawan untuk pemenuhan tujuan harus memberi kelangsungan ganjaran di masa depan yang dapat dimilikinya. Sebab suatu studi yang dilakukan. Matsui dkk. (1982) menemukan bahwa individu yang mempunyai kebutuhan berprestasi yang lebih tinggi akan menetapkan tujuan dan kinerja yang lebih tinggi juga.

Locke (dalam Wexley dan Yukl,1988) sehubungan dengan pendapat ahli di atas menyatakan bahwa perilaku seseorang diatur menurut tujuan-tujuan serta maksud-maksud individu. Tingkat kesulitan sasaran serta tanggungjawab individu untuk mencapai target ikut serta menentukan tingkat usaha yang akan dicurahkan.
Gambaran yang lebih jelas serta taktik pelaksanaan kerja yang tergolong sukses dalam pencapaian sasaran organisasi perlu kiranya digambarkan. Shatter (dalam Beck 1976) menjelaskan langkah-langkah yang harus diambil secara bersama-sama oleh para pelaku yang terlibat dalam suatu organisasi:

1. Tetapkan sasaran atau target yang dianggap penting, diutamakan dan mendesak, misalnya masalah penjualan (sales Quota) atau malah kualitas, Penjabaran ini akan membangkitkan usaha secara sadar untuk mencapai tujuan atau sasaran, bukan keinginan yang timbul secara kebetulan saja.

2. Langkah kedua yaitu tetapkan jumlah sasaran secara jelas.Pada bagian-bagian ini organisasi harus memusatkan perhatian pada sasaran yang telah digariskan secara jelas dan pasti.
3. Jelaskan sasaran yang diharapkan dapat tercapai, supaya menimbulkan tanggungjawab pada pelaksanaan tugas yang dibebankan. Penekanannya adalah pada sasaran atau target yang harus dicapai.
4. Berikan wewenang clan kepercayaan kepada tenaga kerja yang telah diberi tugas, sehingga menimbulkan keseriusan dan tanggungjawab dalam pelaksanaan kerja.
5. Kembangkan dan perluas proses keberhasilan yang telah tercapai, karena dapat memberi gambaran yang lebih tepat dalam proses pengembangan tugas berikutnya, maka akan terarah pada pengembangan dan perluasan yang diharapkan lebih luas.

Berdasarkan penjelasan dan pendapat ahli di atas secara garis besar dapat dikatakan bahwa peranan motivasi dalam pelaksanaan kerja yang berdasarkan sasaran sangat berpengaruh terhadap prestasi atau produktivitas kerja yang diarahkan pada pemenuhan kebutuhan individu dan di sini lain untuk pencapaian sasaran atau tujuan perusahaan. Ravianto (1985) mencontohkan gaya manajemen Jepang yang berhasil dalam dunia industri untuk pasaran domestik dan internasional, yang berorientasi pada pendayagunaan sumber daya manusia termasuk penerapan pemotivasian tenaga kerja serta adanya pandangan akan pentingnya pengembangan kemampuan pekerjaannya.

3. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Produktivitas
Hadipranata dkk (1987) menyebutkan beberapa sifat kepribadian yang mempengaruhi produktivitas antara lain: kreatif, bersahabat, ulet, percaya diri dan kooperatif.
Forsyth (1970) mengemukakan pentingnya peranan kemampuan menjalin hubungan dengan individu lain pada tenaga pemasaran karena berpengaruh pada produktivitas kerjanya.
Sejalan dengan pendapat tersebut Wrightsman dan Deaux (1981) menyatakan bahwa kecakapan tenaga kerja dalam menjalin hubungan dengan orang lain sangat penting dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam aktivitas organisasi, baik dalam kelompok skala besar maupun kelompok skala kecil.
Suratmodjo (dalam LPM. 1982) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis pada setiap individu yang mempengaruhi perkembangan fisik dan mental, misalnya emosi, sosial dan etikanya. Dengan kata lain, pendidikan merupakan kekuatan yang dinamis dan mempengaruhi seluruh aspek kepribadian. Suatu keberhasilan bekerja akan dimiliki oleh individu yang bermotivasi dan terorganisasi baik serta berwawasan luas tentang kehidupannya.
Maier (1973) menjelaskan prestasi atau produktivitas merupakan suatu hasil gabungan dari variabel individu dan lingkungan. Variabel individu meliputi motivasi berprestasi, kepercayaan diri dan kesungguhan dalam bekerja. Variabel lingkungan meliputi kondisi kerja dan sistem dalam suatu organisasi.
Dari pendapat ahli di atas dapat digambarkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah: adanya motivasi berprestasi, tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi, kepandaian menjalin hubungan dengan individu lain, masa kerja yang relatif lama. Adanya kecakapan dan wawasan diri yang baik serta suka berteman saat sebagai variabel sertaan atau kontrol atau yang dijadikan adalah: (a) variabel tingkat pendidikan dan Cb) variabel masa kerja. Alasannya yaitu variabel tersebut dianggap berperanan besar dalam kesuksesan tenaga kerja di bidang pemasaran dalam menjual produk perusahaan. Oleh karena itu di bawah ini akan dijelaskan variabel tersebut.
a. Pendidikan
Bremmer (1982) menemukan bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih agresif. Lebih berorientasi prestasi kerja. Hal ini disebabkan karena faktor pendidikan dapat mempengaruhi ambisi, harapan-harapan yang lebih tinggi serta adanya pengetahuan tentang pekerjaan tersebut, sehingga dapat menunjang pencapaian prestasi kerja.
Rambo (dalam Himam, 1989) mengemukakan bahwa faktor pendidikan berhubungan positif dengan prestasi kerja. Artinya makin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi hasil atau prestasi kerja yang dicapai. Faktor pendidikan mempengaruhi aspirasi pekerja terhadap prestasi yang harus dicapai.
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap prestasi kerja sehingga tingkat pendidikan dijadikan variabel sertaan.
b. Masa Kerja
Masa kerja karyawan dalam suatu perusahaan yang berspesialisasi dalam pemasaran dapat berpengaruh terhadap pencapaian tingkat hasil penjualan. Hal ini berhubungan dengan pengalaman yang ada sebelumnya yang memberi pemaknaan tugas yang sedang dikerjakannya saat sekarang (Forsyth, 1970).
Vinacke (dalam Martaniah dkk.1990) menjelaskan inteligensi, keterampilan, pengalaman, masa kerja dan motivasi mempengaruhi produktivitas kerja karyawan. Dari pendapat-pendapat di atas disimpulkan bahwa masa kerja karyawan dapat mempengaruhi pencapaian tingkat hasil kerja karena didukung oleh pengalaman yang dimiliki sebelumnya yang bisa diterapkan untuk pekerjaan masa sekarang ketika tenaga kerja menghadapi suatu masalah.
4. Produktivitas
Jumlah hasil akhir merupakan hal yang paling umum digunakan untuk mengukur kecakapan kerja dan dianggap dapat dilakukan untuk pengukuran tersebut. Pedoman khusus yang didasarkan pada hasil akhir adalah jumlah unit yang diproduksi, waktu yang dibutuhkan, dan jumlah penjualan dalam periode tertentu (Ghiselli and Brown,1955).
Manullang (dalam LPM, 1981) mengemukakan produktivitas individu ini diukur melalui tingkat ukuran keluaran yaitu jumlah produk yang dihasilkan.
Jumlah produk
Produktivitas individu = ----------------------
Jumlah tenaga kerja
Dari cara-cara pengukuran tentang produktivitas yang dikemukakan di atas nampak bahwa produktivitas itu adalah rasio antara hasil yang didapatkan dengan sumber yang digunakan. Lebih lanjut Manullang menambahkan bahwa produktivitas adalah ukuran dari seberapa jauh penggunaan sumber dalam hal mencapai hasil yang diinginkan. Hasil yang diperoleh berhubungan dengan efektivitas dalam mencapai suatu misi atau prestasi, sedangkan sumber yang digunakan berhubungan dengan efisiensi dalam mendapatkan hasil dengan penggunaan sumber daya minimal.
Goal Setting
1. Pengertian
Beck dan Hillmar (1976) menjelaskan salah satu jenis intervensi pengembangan organisasi adalah setting. Proses pelaksanaan soal setting ini merupakan pendekatan terhadap pemahaman manajemen berdasarkan sasaran atau hasil yang membantu memberi pengertian tentang aspek pengelolaan atau manajemen, hasil dan sasaran (objektives).
Pengertian goal setting adalah proses penetapan sasaran atau tujuan dalam bidang pekerjaan, dalam proses goal setting ini melibatkan atasan dan bawahan secara bersama-sama menentukan atau menetapkan sasaran atau tujuan-tujuan kerja yang akan dilaksanakan tenaga kerjanya sebagai pengemban tugas dalam suatu periode tertentu (Gibson, dkk. 1985).
Latham den Locke (dalam Steers dan Porters, 1983); Locke dkk (1981) menjelaskan bahwa pengertian goal setting adalah suatu gagasan untuk menetapkan. Tenaga kerja melaksanakan suatu pekerjaan dimana tugas yang diberikan sudah ditetapkan targetnya atau sasarannya, misalnya untuk mencapai kuota yang ditargetkan atau menyelesaikan sejumlah tugas dengan batas waktu yang sudah ditentukan. Dalam hal ini sasaran (goal) adalah objek dari perbuatan dan jika individu menetapkan taktik kemudian berbuat untuk mencapai sasaran atau tujuannya tersebut, berarti sasaran atau tujuan ini menentukan perilaku dalam bekerja. Hersey dan Blanchard (1986) orientasi seseorang menyatakan bahwa perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu, dan perilaku itu pada dasarnya bertujuan pada objek atau sasaran.
Pengertian goal setting yang dikemukakan Davis (1981) adalah manajemen penetapan sasaran atau tujuan untuk keberhasilan mencapai kinerja (performance). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penerapan penetapan tujuan yang efektif membutuhkan tiga langkah yaitu: menjelaskan arti dan maksud penetapan target tersebut, kedua menetapkan target yang jelas, dan yang ketiga memberi umpan balik terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan. Cascio (1987) menyatakan bahwa goal setting itu didasarkan pada pengarahan tingkah laku terhadap suatu tujuan.Sasaran atau target bisa ditambah dengan memberi penjelasan atau informasi kepada tenaga kerja bagaimana mengerjakan tugas tersebut, serta mengapa sasaran atau tujuan tersebut penting dilaksanakan.
Penerapan goal setting ini terhadap sistem kinerja sangat populer dan luas penggunaannya. Pendekatan manajemen berdasarkan sasaran ini meliputi perencanaan, pengawasan, penilaian pegawai, serta keseluruhan sistem kinerja yang ada dalam organisasi. Prosedur umum dalam manajemen berdasarkan sasaran ini yang paling utama adalah mengidentifikasikan bagian-bagian kunci keberhasilan, sehingga dapat berpengaruh terhadap keseluruhan performance organisasi misalnya volume penjualan, hasil keluaran (production output), maupun kualitas layanan, dengan demikian pengukuran kinerja (performance) dapat ditentukan (Luthans, 1981).
Gibson dkk, (1985) menggambarkan penerapan soal setting dari perspektif manajemen. Langkah-langkahnya adalah (1) diagnosis kesiapan, misalnya apakah tenaga kerja, organisasi dan teknologi sesuai dengan program goal setting; (2) mempersiapkan tenaga kerja berkenaan dengan interaksi antara individu, komunikasi, pelatihan (tranning) dan perencanaan; (3) penekanan pada sasaran yang harus diketahui dan dimengerti oleh manajer dan bawahannya; (4) mengevaluasi tindak lanjut untuk penyesuaian sasaran yang ditentukan; (5) tinjauan akhir untuk memeriksa cara pengerjaan dan modifikasi yang ditentukan. Strauss dan Sayless (1981) menjelaskan bahwa prosedur manajemen berdasarkan sasaran memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk membuat penilaiannya sendiri mengenai hasil-hasil operasi, artinya jika ia membicarakan hasil maka sebenarnya individu tersebut menilai dirinya sendiri dan mungkin sekali mendapatkan wawasan mendalam bagaimana ia harus memperbaiki sikapnya. cara-caranya atau kelakuannya.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang penetapan sasaran ini, di bawah ini dikemukakan sebuah penelitian pada perusahaan kayu, dimana sopir truk selalu mengisi truknya kurang dari kapasitas resmi.Setelah diadakan observasi dan diteliti, tim peneliti kemudian menjelaskan nilai potensial goal setting (penetapan tujuan) untuk diterapkan pada sopir truk dan kemudian perusahaan menentukan target yang jelas bagi para sopir truk. Setelah tiga bulan kedua peneliti secara seksama mencatat keadaan pelaksanaan kerja dan kemudian hasilnya Peneliti ternyata naik 90 % dari kapasitas rata-rata. Tujuh tahun menawarkan tetap tinggi. Suatu keterangan mengapa prosedur seperti kerja meningkatkan hasil kerja. Alasannya adalah tenaga melihat dan atau mencatat beban truk mereka bangga akan prestasi ini, mereka juga melihat tujuan sebagai yang menantang ini permainan sesuatu menyenangkan bagi truk yang sopir mengalahkan orang lain (Gibson dkk, 1985).
Jadi penelitian ini telah menunjukkan satu ini kerja mereka penetapan sebab adalah alasan prestasi kerja. Sistem meningkatkan mengapa penetapan sasaran atau target itu motivasi dan penetapan atau target apabila dimasukkan ke dalam tatanan maka para pekerja akan melihat tujuan bagaimana ikhtiar mereka kerja pencapaian membantu menimbulkan hasil, ganjaran, dan kepuasan pribadi karena memuaskan target atau sasaran itu dorongan berprestasi dan kebutuhan harga diri aktualisasi diri, maka perencanaan seseorang sasarannya di masa datang akan lebih tinggi.
Dari pendapat para ahli di atas dapat serta untuk goal setting adalah disimpulkan bahwa pengertian berdasarkan penetapan sasaran atau target berorientasi hasil. Manajemen yang berorientasi ini dianggap lebih baik karena lebih menekankan pencapaian hasil, kesempatan sehingga memberi manajemen yang sasaran pada kepada tenaga kerja untuk mengerti bagaimana seharusnya bekerja, dan hubungan komunikasi antara atasan dan bawahan lebih terbina karena terjadi interaksi antara yang memberi tugas dengan pelaksana. Secara umum pengertian goal setting itu adalah penetapan sasaran atau target yang akan dicapai tenaga kerja.
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Goal Setting
Berdasarkan beberapa pendapat ahli (Locke dkk, 1981: Steers dan Porter, 1983; Davis, 1981; 1989), Cascio, 1987: Gibson, 1985; Davis & Newstrom, penulis menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi goal setting adalah :
a. Penerimaan (acceptance).
b. Komitmen (commitment).
c. Kejelasan (specifity).
d. Umpan balik (feedback).
e. Partisipasi (participation).
f. Tantangan (challenger).
Untuk menjelaskan bagaimana terjadinya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap sistem penetapan sasaran atau target berdasarkan hasil ini (goal setting), di bawah ini akan dijelaskan pengertian satu persatu faktor-faktor tersebut.
a. Pengertian Denerimaan (acceptance)
Penerimaan terhadap sasaran atau target yang tenaga kerja sebab tujuan ditetapkan terjadi karena adanya kemauan untuk menerima target yang dibebankan, sasaran yang efektif tidak hanya cukup diketahui saja tetapi juga harus dapat diterima tenaga kerja untuk dilaksanakan.
Menurut Davis dan Newstrom (1989) bahwa goal setting (penetapan sasaran atau target) merupakan alat motivasi yang efektif bila empat unsur dasar disertakan ke dalam sistem pengelolaan penetapan sasaran tersebut yaitu: (1) penerimaan; (2) spesifikasi; (3) umpan balik; dan (4) tantangan. Pada bagian berikutnya akan dijelaskan unsur-unsur di atas serta pengaruhnya terhadap penetapan sasaran.
Lebih lanjut Davis dan Newstrom mengemukakan bahwa penerimaan terhadap sasaran atau target tersebut harus dapat diketahui atau dimengerti oleh tenaga yang bersangkutan, dalam hal ini penerimaan sasaran yang ditetapkan harus dapat dipahami dan pihak pemberi target harus menjelaskan maksud dan kegunaan sasaran atau tujuan ditetapkan terhadap penerima atau tenaga kerja, karena penetapan tujuan yang sepihak tanpa penerimaan karyawan tidak akan membawa hasil. Oleh karena itu penting melibatkan tenaga kerja dalam proses penetapan sasaran atau tujuan bersama untuk memperoleh penerimaan.
Menurut Yoder (1979) produktivitas kerja akan lebih tinggi dan efisien bila ada perasaan bahwa diperlukan dalam penerimaan dan adanya sasaran yang diemban itu berguna dan pencapaian keberhasilan persetujuan terhadap pelaksanaan pencapaian sasaran atau target organisasi merupakan faktor utama dalam tanggung jawab tenaga kerja dalam menjalankan tugas-tugas.
Berkenaan pendapat di atas Likert (dalam Yoder, 1979) juga menjelaskan jenis aktifitas individu dalam organisasi yang mempunyai perasaan yang sama dalam penerimaan loyalitas atau kebersamaan satu sama lain dalam pelaksanaan kerja cenderung mengacu pada prestasi.
Dari sebuah penelitian pengaruh bentuk penilaian dari tiga dimensi goal setting yang dilakukan oleh Tziner dan Kopelman (1988), diperoleh data yang menunjukkan bahwa kejelasan, penerimaan, dan komitmen berhubungan dengan sasaran. Penelitian ini membuktikan bentuk penilaian mempengaruhi sistem pengelolaan penetapan sasaran (goal setting).
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa penerimaan akan penetapan sasaran atau target berpengaruh terhadap pelaksanaan kerja yang akan dilaksanakan tenaga kerja yang bersangkutan.
b. Komitmen
Pengertian komitmen secara umum adalah adanya suatu kesepakatan atau persetujuan antara tenaga kerja dengan perusahaan. Gibson dkk (1985) mengemukakan pengertian komitmen adalah keadaan yang melibatkan identifikasi dan loyalitas yang diwujudkan terhadap perusahaan tempat individu bekerja.
Mitchell (1985) menjelaskan individu yang kurang sepakat dengan sasaran atau target organisasi merupakan sikap negatif dan bisa berakibat kerugian. Kejadian di Amerika dalam 10 tahun terakhir, bahwa hilangnya jam kerja akibat pemogokan dan kemangkiran bekerja. Contoh ini merupakan kejadian akibat adanya ketidaksetujuan tenaga kerja terhadap kebijakan perusahaan.
Huber (1985) menjelaskan bahwa antara penerimaan dan komitmen terhadap sasaran sering diartikan sama, tetapi kenyataan dalam gagasannya (construtes) berbeda. Penerimaan terhadap target atau sasaran berarti ada kesektujuan untuk melaksanakan, sedangkan komitmen itu bisa saja individu menerimanya tetapi belum tentu mau mengejar target atau sasaran yang dibebankan. Dengan demikian tenaga kerja dapat dikatakan menerima (acceptance) dan komitmen (commitment) terhadap pelaksanaan kerja untuk mencapai target apabila mengetahui dan mengerti akan sasaran yang dimaksudkan, serta ada kesediaan atau persetujuannya.
Griffin (1987) mengemukakan bahwa dapat efektif apabila ada pemahaman dari terhadap tujuan yang akan target catat goal setting tenaga dicapai, karyawan akan mendapat antara komitmen perusahaan dengan tenaga kerja yang sukses aakan mendapat perioritaas untuk jenjang karir yang lebih tinggi, kemudian target yang ditetapkan harus jelas serta ada tenggang waktu yang efisien untuk pelaksanaan. Terakhir harus ada konsistensi dan ganjaran terhadap pelaksanaan pencapaian target sebagai tujuan utamanya dengan demikian tenaga kerja akan mendapat sesuatu yang memuaskan mereka.
Duffy dan Rusbult (dalam Brigham, 1991) menyatakan bahwa individu dalam organisasi akan memberikan komitmenlebih tinggi terhadap pekerjaan bila: (1) tenaga kerja puas dengan hasil (outcomes) yang mereka peroleh; (2) kesetiaan yang telah ditanamkan sebagai bagian dari hidupnya organisasi, antara lain: pelibatan diri, pemberian waktu dan energi dan kesetiakawanan (mutual friend) dan (3) tidak adanya pilihan lain yang lebih menguntungkan.
Dari pendapat–pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen atau kesepakatan atau kesetujuan tenaga kerja terhadap perusahaan untuk melaksanakan pencapaian sasaran atau target dapat berpengaruh terhadap sistem kerja goal setting.
c. Spesifikasi (Specifity)
Pengertian speksifikasi atau keseksamaan sasaran tujuan menurut Gibson dkk, (1985) adalah derajat secara kuantitatif daripada sasaran atau tujuan itu.
Menurut Davis dan Nestrom (1989) penetapan sasaran harus jelas atau spesifik dan dapat diukur agar kerja dapat mengetahui kapan suatu target atau tenaga tujuan diperoleh atau dicapai. Instruksi yang jelas dan terarah memfokuskan kerja pada pelaksanaan pencapaian tenaga target karena patokan sebagai mempunyai keberhasilannya. Sasaran yang jelas menuntun harus dikerjakan atau dicapai, maka tenaga tersebut dapat mengukur kemajuannya. Tenaga kerja selalu dan berpedoman pada perintah yang samar jelas akan menimbulkan pengertian yang samar dan terarah.
Menurut Beck den Hillmar (1978) jika sasaran itu adalah sebuah pernyataan dari hasil (outputs) yang spesifik atau jelas maka individu atau kelompok akan merencanaakn untuk meraih prestasi melaui usaha–usaha yang lebih kuat.
Terborg (dalam Muchnisky,1987) lebih mengemukakan sasaran yang lebih khusus dan jelas menjadikan usahanya individu lebih memfokuskan lanjut akan untuk mengejar sasaran tersebut serta tingkah lakunya akan lebih terarah.
Blum dan Naylor (1968) juga mengemukakan pendapat bahwa informasi-informasi tentang sifat-sifat pekerjaan dapat dipandang sebagai spesifikasi atau kekhususan dari informasi yang diterima, dan pengetahuan terhadap sifat-sifat tersebut bisa dianggap sebagai perluasan terhadap pengetahuan individu pada kinerjanya. Sehingga dapat memotivasi individu tersebut.
Locke dkk, (1981) mengadakan penelitian tentang meta-analisis sistem penetapan sasaran terhadap kinerja. Dari 110 penelitian yang dinilai ternyata 99 menunjukkan sasaran yang jelas dan spesifik. Adanya tingkat kesulitan atau tantangan dalam pelaksanaan kerja dalam mencapai target atau sasaran menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada penetapan sasaran atau target yang tingkat kesulitannya tidak ada atau samar-samar atau tanpa target sama sekali.
Penelitian yang melihat peranan sasaran atau target yang jelas atau spesifik terhadap kinerja, hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang positif (Locke dkk, 1984; Dosset dkk., 1979; Bandura, 1977).
Latham dkk, (dalam Steers dan Porter,1983) mengemukakan bahwa melibatksn karyawan dalam penetapan sasaran atau target yang spesifik dan jelas mempunyai dua keuntungan, akan menambah karyawan bahwa pekerjaan tersebut harus pengertian pertama diselesaikan, kedua menuntun pekerja pada penetapan tujuan yang tinggi daripada secara sepihak yang menentukan sendiri. Dengan kata lain lebih tinggi kinerjanya.
Secara garis besar beberapa pendapat dan penjelasan ahli-ahli menunjukkan di atas spesifikasi atau kejelasan sasaran mempengaruhi terlaksananya penetapan sasaran atau target, pelaksanaan mendapat sasaran yang tidak jelas akan membuat arah kerja tidak terpusat pada apa yang seharusnya perhatian utama tenaga kerjanya.
Berkenaan dengan pendapat ahli di atas, pustaka dilakukan Latham dan Yukl (1975); yang Locke(1980) menunjukkan secara konsisten bahwa sasaran atau tujuan yang jelas dan adanya tingkat tantangan yang menghasilkan kinerja yang lebih tinggi.
d. Umpan Balik (feedback)
Umpan balik kerja ini adalah informasi ini berasal dari dalam pengelolaan pekerjaan itu namun bisa orang informasi berasal dari itu lebih sendiri. Namun bisa informasi itu bisa berasal dari orang lain, bagaimana keadaan pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan, apakaah tergolong sukses, berhasil atau tidak berhasil. Sejalan dengan definisi diatas Davis dan Newstrom (1989) menyatakan bahwa umpan balik cenderung mendorong prestasi kerja menjadi lebih tinggi dan merupakan alat motivasi yang baik. Seorang atlet pelari harus mengetahui total waktu yang dibutuhkan untuk memenangkan suatu pertandingan. Seorang tenaga pemasan mengetahui target atau unit produk yang harus dijualnya dalam jangka waktu tertetntu dikatakan berhasil atau berprestasi. Oleh karena itu umpan balik pekerjaan dibutuhkan untuk memberi informasi dalam menerapkan taktik baru untuk meningkatkan hasil penjualan berikutnya.
Berkenaan dengan umpan balik pekerjaan ini dan Klein Campbell, (dalam Campbell dan menjelaskan bahwa balik itu penting umpan menggambarkan kemajuan pada pelaksanaan kerja, diperoleh informasi baru untuk menyiapkan tingkah laku apabila diperlukan. Luthans (1981) menekankan pada tenaga kerja yang mempunyai berprestasi tindak supaya menyusun taktik berdasarkan keakuratan informasi umpan balik diperoleh dari lingkungan kerja.
Yoder (1979)menjelaskan seharusnya lingkungan untuk kerja dilengkapi dengan umpan balik yang tepat menyesuaikan pelaksanaan tindakan berikutnya, guna untuk memperbaiki mutu kerja yang pada akhirnya menunjukan kemajuan yang berarti, sehingga dapat dibedakan antara kondisi kerja yang berjalan normal dengan kondisi kerja yang memperoleh kemajuan. Lebih lanjut dijelaskan fungsi Yoder Kinerja digambarkan sebagai seseorang artinya dari kinerja yang dicapailah tenaga kerja yang bersangkutan memperoleh umpan balik kemajuan juga kondisi tidak yang dicapainya. Studi Latham dan Yukl mengemukakan bahwa umpan balik merupakan yang penting untuk mempengaruhi kinerja, akan ada kemajuan tanpa ada penilaian atau balik clair pelaksanaan kerja.
Studi iyang dilakukan Locke dan Bryan (dalam Locke dkk.1981) meneliti pengaruh umpan balik dan setting terhadap kinerja. Penelitian untuk mengetahui apakah hanya dimaksudkan kinerja saja hanya umpan balikdan pengaruh goal setting terhadap kinerja. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah hanya umpan balik saja yang secar langsung mempengaruhi kinerja atau hanya karena pengaruh sistem penetapan sasaran itu. Ternyata hasil yang didapat menunjukan bahwa umpan balik berpengaruh terhadap kinerja akibat sistem penerapan pengukuran prestasinya berdasarkan pada sasaran atau target yang ditentukan.Dengan kata lain adanya pengaruh umpan balik yang diberikan terhadap kinerja diakibatkan sistem penilaiannya berdasarkan target yang dicapai.
Penerimaan umpan balik juga akan memberi pengaruh untuk beraksi pada suatu perbuatan yang bermakna, jadi dapat dikatakan antara kerja dengan hasil yang didapat saling mempengaruhi (Leavitt, 1973). Sejalan dengan pendapat di atas.Stoner (1989) menyatakan bahwa pemberian umpan balik mengenai prestasi kerja yang diperoleh tenaga kerja mengakibatkan hasil kerja yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Beck dan Hillmar (1976) menjelaskan bahwa sistem umpan balik kerja yang efektif diperoleh apabila individu atau kelompok memperoleh penjelasan cara-cara pelaksanaan dan evaluasi kerja. Penjelasan ini berupa catatan penjualan, laporan-laporan pelaksanaan kerja, hasil survei luar (pasar), survei dalam (organisasi) dan data-data pendukung lainnya.
Penjelasan hasil penelitian dan pendapat para ahli tersebut memberi pengertian bahwa umpan balik dari pelaksanaan kerja berpengaruh terhadap manajemen penetapan sasaran itu sendiri (goal setting).
e. Partisipasi (participation)
Menurut Beach (1975) partisipasi adalah proses yang melibatkan tenaga kerja dalam aktivitas organisasi secara mental dan fisik. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa partisipasi umumnya dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk mengemukakan sumbangan pikiran terhadap pemecahan masalah dan tindak lanjut pelaksanaan kerja. Gibson dkk. (1985) memberi pengertian partisipasi yaitu tenaga kerja yang terlibat dalam penentuan sasaran atau tujuan kerja serta pengembangan sasaran tersebut.Sedangkan eksperimen cumming dan Molly maupun Yukl (dalam Beach,1975) menunjukkan manajemen partisipasi di berbagai bidang pekerjaan menunjukkan pengaruh yang positif terhadap pencapaian sasaran kerja.
Sejalan dengan pendapat di atas Locke dan Latham (dalam Steers dan Porter,1983) meneliti peranan penetapan sasaran ( goal setting)kelompok pertama yaitu partisipasi di dalam sistem pada dua kelompok, adanya keikutsertaan tenaga kerja dalam menetapkan sasaran atau target, kelompok kedua penetapan sasaran atau target hanya dilakukan supervisor saja. Hasilnya menunjukkan program keikutsertaan tenaga kerja dalam menentukan sasaran kerja, hasilnya lebih positif dan lebih tinggi dibanding dengan penetapan sasaran yang hanya dilakukan supervisor saja. Begitu pula penelitian Mento dkk, (dalam Landy, 1989) menunjukkan adanya pengaruh partisipasi terhadap goal setting, artinya keikutsertaan tenaga kerja dalam menentukan jumlah sasaran atau target berpengaruh terhadap kinerja.
Back dan Hilmar (1976) menyatakan proses sistem goal setting menciptakan kondisi positif bila nilai-nilai yang dimiliki organisasi mendukung perkembangan tenaga kerja serta adanya kesempatan mengemukakan pemikiran-pemikiran untuk organisasi.
Pendapat dan hasil penelitian para ahli di atas memberi gambaran bahwa partisipasi berpengaruh terhadap proses pengelolaan penetapan sasaran (goal setting)dan dengan demikian akan berpengaruh terhadap kinerja.
f. Tantangan (challenge)
Adanya tingkat tantangan dalam mencapai sasaran atau target yang ditetapkan akan membuat tenaga kerja bekerja lebih keras dan bersungguh-sungguh daripada tidak ada tangangan sama sekali. Pencapaian sasaran atau tujuan yang menantang menciptakan usaha-usaha pemecahan danakan menimbulkan dorongan berbuat yang lebih baik lagi, namun sasaran harus masih dalam jangkauan berkenaan dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja.
Studi ahli yang menguji hubungan besarnya peranan sasaran yang mempunyai tantangan terhadap kinerja antara lain penelitian yang dilakukan Basset; Patton (dalam Locke, 1980). menemukan bukti yang positif bahwa sasaran atau tujuan yang mempunyai tantangan dalam pekerjaan menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada sasaran yang tidak mempunyai tantangan.
Locke dkk. (1981) menjelaskan sasaran atau target itu adalah sesuatu yang akan dicapai individu serta merupakan objek dari aksi atau perbuatan. Dalam tindakan dua aksi yang terjadi proses mental yang melibatkan dua faktor utama yaitu faktor isi (content) dan intensitas (intencity). Dalam faktor isi ada dua sub faktor yaitu spesifikasi dan tingkat kesulitan. Spesifikasi berarti tingkat keseksamaan dalam mencapai sasarn atau tujuan yang dimaksud. Riset lapangan dan laboratorium dari Locke (1980) juga membuktikan bahwa unsur yang spesifik dan tingkat tantangan yang dimiliki target atau sasaran hasilnya menunjukan pencapaian kinerja yang lebih tinggi.
Penelitian Hampton (1981); Dubren (1982) menunjukan hasil yang sama dengan penelitian Locke (1980), bahwa sasaran atau target yang lebih menantang untuk dilaksanakan akan menetukan hasil kerja yang lebih tinggi, dan sasaran atau target yang lebih menantang untuk dilaksanakan akan menunjukan hasil kerja yang lebih tinggi, dan sasaran yang lebih mudah dicapai atau dilakukan tidak menimbulkan usaha yang lebih gigih untukk memenuhi kebutuhan tercapainya kinerja yang lebih baik.
Penelitian Locke dkk (1981); Latham dan Saari (1979) menemukan bahwa individu dengan rancangan sasaran yang lebih sulit akan menampilkan kerja yang lebih baik dibanding dengan individu dengan sasaran yang relatif mudah. Pendapat ini sejalan dengan penjelasan Latham dkk (dalam Steers dan Porter, 1983) bahwa sasaran atau tujuan yang spesifik dan mempunyai tantangan menunjukkan hasil kerja yang lebih efektif.
Dari gambaran di atas dapat diartikan bahwa adanya tingkat tantangan (sasaran tidak terlalu mudah) dalam pelaksanaan pencapaian sasaran atau target akan berpengaruh terhadap efektifitas sistem penetapan sasaran. Sebab dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam pekerjaan secara nyata akan menaikkan kinerja. Secara jelas diketahui bahwa adanya tingkat tantangan yang dimiliki sistem tersebut akan berpengaruh pada prestasi atau hasil penetapan sasaran atau target tersebut.
In this era globalization and competion on how the person can do the best of work for achievement his purposed. The best his work, he can gain the best of his life. BIBLE SAYS FAITH AND WORKS NEEDED FOR SALVATION. Do your better work in your life and working together with others to achvieve the common goal. How you should be steadfast to your job? How is the purpose of your Job? You should survived to your job surrounding you, but never forgive up. Work and work hard. Good Luck.

No comments: