Di satu sisi, kita melihat bahwa aturan main pada skim pembiayaan formal bersifat rigid, sementara di sisi lain para petani dan masyarakat pedesaanmemiliki keterbatasan. Akhir-akhir ini beberapa terjadi kendala masalah terjadi didalam kondisi alam yang tidak akrab dengan lingkungan serta mengakibatkan musim panen yang tidak memuaskan kepada Petani. Harga jual gabah di tingkat petani pada musim panen kali ini masih belum memuaskan. Akibatnya, banyak petani yang terpaksa menunda penjualan karena nilai rata-rata jual di bawah standar. Pantauan di beberapa kalangan petani yang sudah panen, harga gabah masih tergolong murah dan tidak seperti hasil jual yang sebelumnya. Faktor kegagalan panen tersebut dapat diatasi dengan system kelembagaanpertanian dan mempunyai pembiayaan yang cukup untuk mengcover, masalah yang terjadi akibat gagal panen. Dengan banyak program pembiayaan yang telah ditawarkan tetapi sangat sedikit petani yang memanfaatkannya. Secara umum, seakan akan belum ada titik temu antara kedua pihak, Lembaga Pembiayaan dan Petani pelaku usaha. Untuk gabah kategori basah sawah, dibeli langsung seusai panen, harganya berkisar antara2.000 – 3.000 rupiah per kilogram. Padahal saat panen sebelumnya, sudah mencapai2.800 rupiah per kilogram. Demikian juga halnya Petani kopi di Lampung mengakuiproduksi kopi pada tahun 2010 turun hingga 300 kilogram per hektare (ha) daritahun sebelumnya. Adapun Penurunan produksi itu akibat pengaruh cuaca yaknitingginya curah hujan sehingga merontokkan bunga bakal buah. Jika hal ini dapatteratasi dengan system dan kelembagaan dan Pembiayaan yang teintegrasi maka permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Adapun permasalahan yang penting diperhatikan secara garis besar perlu kita analisa:
1. Kegiatan usahatani belum dilaksanakan secara intensif sehingga produktivitas masih relatif rendah (belum optimal sesuai potensi hasil) dan pengentasan masalah untuk mengetahui dan mengatasi iklim/cuaca yang ada
2. Kemampuan SDM yang terbatas karena belum intensifnya pembinaan danpendampingan.
3. Pembudidayaan ternak masih konvensional dan dalam skala kecil, serta pemberian pakan belum proporsional sehingga produksi ternak belum optimal.
4. Pemanfaatan lahan untuk kegiatan usaha tani belum optimal dimana intensitas tanam tanaman pangan, hal ini terutama karena keterbatasan irigasi dan juga permodalan usahatani.
5. Pemanfaatan Limbah ternak (padat dan cair) belum dikelola/diproses dengan baik untuk pupuk yang bermutu dan juga untuk biogas.
6. Belum berkembangnya kegiatan pengolahan hasil pertanian dan kendala
dalam pemasaran hasil khususnya pada musim panen raya.
7. Limbah tanaman yang dapat dipergunakan sebagai pakan ternak juga belum dikelola/diproses dengan baik menjadi pakan bermutu dan tahan simpan untuk
kebutuhan pada musim kemarau.
8.Terbatasnya infrastruktur khususnya jalan usahatani, bangunan konservasi air dan infrastruktur lainnya.
Di beberapa negara, pemerintah membentuk organisasi-organisasi khusus seperti
Kementerian Pertanian, sumber daya alam, peternakan, pengembangan air, perumbahan dan sebagainya. Dalam penggunaan menyediakan kredit bagi petani pada masa sulit misalnya saat paceklik dan depresi ekonomi. Kredit yang bersumber dari negara bagi petani biasanya dibarengi dengan subsidi serta jaminan kredit pun tidak terlalu ketat. Sebagai upaya untuk menutupi biaya depresiasi untuk fasilitas fisik seperti irigasi dapat melalui iuran sebagai sewa. Pemahaman secara baik dan komprehensif mengenai perilaku pihak pengguna (pelaku usaha pertanian) dan pihak lembaga pembiayaan dapat dipergunakan sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam merumuskan skim pembiayaan yang sesuai. Artinya, skim pembiayaan tersebut dapat diterima oleh kedua pihak menurut karakteristik masing-masing, baik dari pihak pengguna maupun pihak lembaga pembiayaan sebagai penyedia dana dan juga dengan adanya Bank Pertanian yang Pro of Farmers Development. (Berbagai sumber dan Media terkait, data diolah F. Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment