Produksi kedelai petani kita rata-rata 1,3 ton per
hektare lahan, atau relatif lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat yang
produktivitasnya 2,7 ton per hektare. Untuk harga kedelai di tingkat importir
saat ini mencapai Rp 7.300-Rp 7.600 per kilogram (kg) yang kemudian dijual oleh
para distributor seharga Rp 7.800 per kg kepada industri-industri pengrajin
tahu tempe yang mengkonsumsi sekitar 84 persen dari kebutuhan kedelai nasional.Kenaikan harga kacang kedelai yang sudah satu bulan
lebih itu bermula dari tingginya jumlah permintaan pasar dibanding pasokan dari
petaninya sendiri.Sejak
perkembangan nilai tukar rupiah melemah, dimana harga kacang kedelai impor naik
cukup tinggi. Produksi kedelai di Indonesia pernah mencapai puncaknya pada tahun 1992 (1,87juta ton). Namun setelah itu, produksi terus mengalami penurunan hingga hanya 0,672 juta ton pada tahun 2003. Artinya, dalam 11 tahun produksi kedelai merosot mencapai 64 persen. Sebaliknya, konsumsi kedelai cenderung meningkat sehingga impor kedelai juga mengalami peningkatan mencapai 1,307 juta
ton pada tahun 2004.Sekarang,
harga kacang kedelai per kilogram mencapai Rp. 9.000. Untuk memenuhi kebutuhan impor
kedelai sampai akhir tahun diperkirakan 400.000-500.000 ton. Setiap tahun
kebutuhan kedelai nasional 2,5 juta-2,7 juta ton, sedangkan produksi dalam
negeri 700.000 - 800.000 ton.Berdasarkan data kebutuhan kedelai Indonesia
mencapai 2,4-2,6 juta ton sementara produksi lokal hanya mencapai 700-800 ribu
ton. Impor yang dibutuhkan sekitar 1,8 juta ton. Perkembangan harga kedele tahun
2012 yakni Rp 6.700 per kilogram,
sementara di tingkat konsumen Rp 7.000-Rp 7.050 per kilogram. Sementara
sebelumnya, harga kedelai sempat menyentuh level Rp 8.300 per kilogram pada
Juni-September 2012. Harga kedelai terendah di dalam negeri sempat terjadi 5
bulan lalu, di harga Rp 5.600 per kg. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappebti). Menurut data dari TradeMap (2012), impor kedelai telah
meningkat secara akselerasi sebesar 85% selama 10 tahun terakhir. Misalnya,
pada 2001, impor biji kedelai tercatat 1,14 juta ton, tetapi pada tahun 2011,
impor biji kedelai bisa tembus menjadi 2,09 juta ton. Sejak tahun 2000, kondisi
tersebut semakin parah, dimana impor kedelai semakin besar. Kenyataannya kita
tidak merasa percaya sebagai negara agraris yang mengandalkan pertanian sebagai
tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya tetapi pengimpor pangan yang
cukup besar.
Menurut data Badan Pusat Statistik
tahun 2011, produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total
kebutuhan. Karena itu, Indonesia harus mengimpor kedelai 2.087.986 ton untuk
memenuhi 71 persen kebutuhan kedelai dalam negeri. Pada tahun 2012, total kebutuhan
kedelai nasional 2,2 juta ton. Jumlah tersebut akan diserap untuk pangan atau
perajin 83,7 persen, industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7 persen, benih 1,2
persen, dan untuk pakan 0,4 persen. Anomali cuaca yang melanda Amerika Serikat
dan Amerika Selatan, pasokan kedelai pun turun dan harganya melonjak. Harga
kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai 622 dollar AS per ton
atau Rp 8.345 per kilogram untuk harga paritas impornya di dalam negeri. Untuk
impor kedelai terbesar Indonesia berasal dari Amerika Serikat dengan jumlah
1.847.900 ton pada tahun 2011. Menyusul impor dari Malaysia 120.074 ton,
Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton.Tempe yang
merupakan makanan khas tradisional Indonesia bisa dikelompokkan dalam kategori
pangan fungsional yang mempunyai manfaat kesehatan di luar kandungan
gizinya. Selain lecithin yang merupakan unsur gizi, kedelai juga
mengandung genistein (senyawa nongizi) yang bersifat antikanker. Untuk itu
perlu pengembangan kedelai untuk produksi nasional, konsumsi
kedelai penduduk Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk serta
berkembangnya industri pangan olahan yang berbahan baku kedelai tidak diimbangi
dengan produksi dalam negeri yang mencukupi sehingga impor kedelai terus dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (Sumber: data media,
BPS, data diolah F. Hero K. Purba).
No comments:
Post a Comment