Wednesday, February 16, 2011

Gejolak Negara dalam Kancah Perpolitikan Memberikan Keterpurukan Hidup Rakyat

Tidak bisa dipungkiri nimatnya kekuasaan yang menjadikan efek domino yang memberikan dampak bagi rakyat. Sebagai contoh Dua tahun berlalu. Mesir kini sedang menghadapi gejolak politik sebagai imbas reformasi di Tunisia. Mungkinkah Mubarak masih mengingat percakapan tersebut? Apakah benar Mubarak telah menjalankan reformasi, kebebasan pers, serta demokrasi? Fakta sejarah mungkin dapat dijadikan acuan untuk menjawab segala pertanyaan tersebut.
Seperti dilansir kantor berita Reuters, sepanjang 30 tahun berkuasa di negara seribu menara ini, Mubarak menjalani sejumlah fase krusial dalam perpolitikan Mesir. Pada 6 Oktober 1981, dia yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, disembunyikan di kantornya ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh kelompok Jihad Islam terhadap Presiden Anwar Sadat. Di tahun yang sama, dia ditasbihkan sebagai presiden keempat Mesir menggantikan pejabat sementara Presiden Sufi Abdul Taleb. Ini merupakan awal dari karier panjang Mubarak sebagai penguasa Mesir.Pada awal 2000-an, Mubarak mulai mewacanakan rencana untuk mundur dan menunjuk sang anak, Gamal Mubarak, sebagai sang suksesor. Penolakan pun langsung muncul dari seantero Mesir, seperti yang terjadi di Kefaya tahun 2005. Namun, aksi ini hanya dianggap angin lalu oleh mantan panglima Angkatan Udara Mesir ini.Di tahun yang sama, Parlemen Mesir yang mayoritas dihuni pendukung Mubarak, merevisi aturan pemilu presiden yang memungkinkan terjadinya kontestasi dalam menduduki tampuk kekuasaan Mesir. Tapi, ratifikasi aturan ini hanya dianggap kamuflase oleh kalangan oposisi. Ini dikarenakan ketatnya syarat pencalonan presiden yang dapat mengakibatkan terganjalnya calon dari oposisi. Pemilu demi pemilu digelar tapi Mubarak tetap jadi pemenangnya. Partai Nasional Demokratik (NDP) yang menjadi pendukung utamanya selalu mengendalikan parlemen. Kemenangan mayoritas NDP ini mencuatkan kecurigaan kalangan oposisi adanya kecurangan yang dilakukan pemerintah.Pascapemilu 2010, gerakan massa oposisi mulai mendengungkan ide perubahan. Gerakan bawah tanah yang berlangsung di sejumlah universitas dan komunitas masyarakat ini, mencapai puncaknya pada Januari 2011 di Lapangan Tahrir. Akhirnya, setelah sekitar dua juta demonstran di Lapangan Tahrir mengancam akan menjatuhkan presiden secara paksa, Hosni Mubarak akhirnya memilih mundur sendiri. Menurut Wakil Presiden Mesir, Omar Suleiman, Presiden Hosni Mubarak sudah menyatakan mundur dan menyerahkan kekuasaannya kepada pihak militer.

Beberapa Presiden Yang Digulingkan Melalui People Power


Jika Mubarak benar-benar tak mampu lagi bertahan di singgasana kepresidenan Mesir, berarti dia merupakan presiden kesekian di dunia ini yang dijatuhkan oleh rakyatnya oleh people power. Berikut daftar presiden yang digulingkan oleh rakyatnya sendiri karena bertindak tirani, korup, dan tak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya.



1. Jenderal Soeharto


Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2 yang lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 8 Juni 1921 ini mulai berkuasa pada 1967, menggantikan presiden RI ke-1, Soekarno. Selama memerintah hingga ditumbangkan oleh kekuatan rakyat (people power) melalui aksi demo besar-besaran pada Mei 1998, presiden ini sempat membuat Indonesia dijuluki sebagai macan Asia karena pertumbuhan ekonominya yang sangat pesat dan membuat Indonesia terangkat dari daftar salah satu negara miskin di dunia, menjadi negara berkembang. Namun selama 32 tahun berkuasa, presiden yang murah senyum sehingga dijuluki The Similing General ini bertindak otoriter dan menyuburkan korupsi, sehingga kemakmuran hanya dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya, sementara banyak rakyatnya yang tetap miskin, bahkan semakin miskin, dan angka pengangguran sangat tinggi. Selama presiden ini berkuasa, cukup banyak aktivis yang hilang karena mengkitik pola pemerintahannya, dan sebuah majalah, yakni Tempo, dibredel.

2. Ferdinand Marcos


Presiden bernama lengkap Ferdinand Edralín Marcos ini lahir di Sarrat, Ilocos Norte, Filipina, pada 11 September 1917. Dia menjadi presiden Filipina mulai 30 Desember 1965, dan digulingkan rakyatnya pada 25 Februari 1986. Selama berkuasa, presiden ini juga bertindak otoriter dan korup, bahkan agar dirinya tetap menjadi presiden, pada pemilu 1981 dia melakukan berbagai kecurangan, dan ini diulangi lagi pada pemilu 1986 yang membuatnya terpilih menjadi presiden Filipina untuk yang keempat kalinya. Rakyat Filipina yang sudah tak tahan lagi berada di bawah kendali rezimnya, akhirnya melakukan revolusi Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) atau revolusi damai, tak lama setelah kemenangannya dalam pemilu diumumkan. Marcos dan istrinya, Imelda Marcos, kabur ke Hawai, dan dia meninggal di negara tempat pelariannya itu pada 1989 akibat penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru.



3. Joseph Estrada


Sebelum berkecimpung di dunia politik, presiden bernama lengkap José Marcelo Ejército dan lahir di Tondo, Manila, pada 19 April 1937 ini adalah seorang aktor film di negaranya, Filipina. Dia menjadi presiden Filipina ke-13 mulai 30 Juni 1998, namun digulingkan rakyatnya melalui revolusi ADSA pada 20 Januari 2001. Karir Joseph begitu mudah hancur karena pemerintahannya didera skandal korupsi. Dia digantikan wakil presidennya, Gloria Macapagal-Arroyo, dan pada 12 September 2007 dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena korupsi yang dilakukannya.



4. Zine El Abidine Ben Ali



Presiden Republik Tunisia ini lahir pada 3 September 1936 dan mulai menjabat sebagai presiden pada 7 November 1987 setelah di negara itu terjadi kudeta berdarah untuk menggulingkan Presiden Habib Bourguiba. Ben dilengserkan rakyatnya sendiri pada 14 Januari 2011, atau setelah 23 tahun berkuasa, melalui aksi demo besar-besaran di seantero negeri yang menimbulkan korban jiwa hingga sekitar 100 orang. Selama menjadi presiden, Ben juga cenderung otoriter dan tak mau mendengarkan keluh kesah warganya, sehingga angka kemiskinan dan pengangguran di negaranya sangat tinggi, sementara lawan politiknya yang mengkritik pola pemerintahannya, banyak yang dianiaya. Bahkan memasuki 2011, negaranya yang berada di Afrika Utara, dilanda krisis pangan. Kemarahan rakyat terhadap presiden ini memuncak setelah seorang tukang sayur berusia 26 tahun, Mohamed Bouazizi, melakukan aksi bakar diri karena barang dagangannya disita polisi di kota Sidi Bouzid pada 17 Desember 2010. Ben dan istrinya kabur ke Saudi Arabia.


Pola kepemimpinan yang otoriter, korup, dan tidak mau mendengarkan aspirasi rakyatnya memang pola kepemimpinan yang rawan mengundang kemarahan rakyat. Selama pola kepemimpinan seperti ini masih terus ada, sejarah akan terus berulang karena akan terus ada pemimpin yang digulingkan rakyatnya sendiri. Kita harus menelaah lebih baik lagi bahwa level kepemimpinan ada dua level nasional dan level internasional. Sedangkan masalah yang dihadapi bukan hanya lokal tetapi juga internasional karenanya kepemimpinan umat bukan hanya berlevel nasional tetapi juga harus internasional. Tipologi pemimpin ini susah dicari, tetapi memang harus dilahirkan. Hanya kondisilah yang melahirkan pemimpin transformatif. Konsekuensinya, pemimpin jenis ini tidak selamanya populer di masyarakat. Dengan adanya pemimpin (leader) dan pengikut (pengikut), adanya kepemimpinan (leadership) dan kepengikutan (followership). Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah gejala sosial (social/group phenomenon). Sejarah manusia dari abad ke abad membuktikan bahwa kehidupan setiap kelompok sosial tidak terlepas dari manusia-manusia besar yang memimpinnya. Cara bertindak seorang pemimpin, dapat didorong oleh kecenderungan pribadi oleh keinginannya untuk menguasai situasi yang dihadapi. Dalam hal tindakan seorang pemimpin didorong oleh kecenderungan pribadi, maka yang dibicarakan adalah tipe. Tetapi apabila itu didorong oleh keinginannya untuk mengatasi dan menguasai situasi yang dihadapi, maka tindakan itu menunjuk kepada metode kepemimpinan yang dipergunakan. Dalam hal ini kadang-kadang harus melawan kecenderungan pribadinya.

Setiap pemimpin mempunyai kecenderungan untuk mempergunakan jenis kepemimpinan tertentu. Penonjolan ini dapat dilihat dengan jelas pada saat ia mempergunakan jenis kepemimpinan yang tidak tepat pada situasi tertentu. Itupun telah dilakukan tanpa melawan dengan kecenderungan pribadi. Misalnya dalam keadaan darurat ia mempergunakan kepemimpinan yang demokratis. Dalam hubungan ini jenis kepemimpinan yang diterapkan itu dikatakan tidak tepat, oleh karena pada hematnya yang penting untuk saat itu ialah usaha-usaha untuk menguasai situasi dan untuk itu dibutuhkan ciri-ciri atau kepemimpinan yang dapat menjamin penguasaan situasi. Namun, demikian para pemimpin pada umumnya mempergunakan pendekatan yang berlainan terhadap situasi yang berbeda, dengan pengharapan akan dapat mengatasi dan menguasai situasi yang dihadapi. Dengan kata lain mereka mereka berusaha mempergunakan metode yang berbeda-beda sesuai dengan perubahan kondisi. (Sumber : Majalah Forum Keadilan, Repbulika, Berbagai sumber terkait , data diolah F. Hero K. Purba)



No comments: