Komoditi Kakao memegang peranan penting dalam salah satu komoditas perkebunan di Indonesia yang peranannya cukup dan memiliki nilai tambah yang lebih besar. Berdasarkan data pada tahun 2012/2014 defisit produksi kakao terhadap konsumsi mencapai 174.000 ton, sementara pada tahun 2013/2014 diproyeksikan terjadi defisit 115.000 ton. Pengembangan untuk meningkatkan produksi kakao di Indonesia pemerintah telah menggalakkan pertanaman kakao baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Pemerintah memproyeksikan, jumlah industri hilir olahan kakao di dalam negeri bertambah menjadi 20 unit pada 2015 dari saat ini 16 unit. Kapasitas terpasangnya juga ditargetkan tumbuh menjadi 950 ribu ton pada 2015 dari 580 ribu ton pada 2011. Sedangkan produksi olahannya dibidik tumbuh naik menjadi 700 ribu ton tahun 2015 dari 268 ribu ton pada 2011.Langkah awal yang harus dilakukan dalam pengembangan budidaya kakao untuk menghasilkan produksi yang optimal adalah dengan cara penyediaan bibit yang unggul dan menjaga tanaman selama di pembibitan, karena kondisi tanaman selama di pembibitan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao. Menurut data BPS pada tahun 2010-2012 biji kakao yang diekspor menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010. Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar 119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012 mencapai 215.791 ton. Biji kakao Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional diharapkan akan lebih banyak lagi negara yang membutuhkan kakao biji dari Indonesia dan produsen akan lebih bersemangat untuk memproduksi kakao biji dengan mutu yang lebih baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Untuk pasca kebijakan bea keluar terdapat peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun 2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011. Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada tahun 2014. Kapasitas terpasang dari 660.000 ton/tahun pada 2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun pada 2015.Untuk luas areal tanaman kakao Indonesia mencapai 1,4 juta hektar dengan produksi 803 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading diikuti Ghana pada urutan ketiga, Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 Ha dan produksi 795.581 ton. Secara umum didunia terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia sekitar 20% dan Amerika latin sekitar 15%. Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Total produksi kakao Indonesia sekitar 16 persen dari total produksi dunia, namun jumlah yang diekspor masih kurang dari 5 persen. Selain itu produsen di Indonesia masih mempunyai posisi tawar yang lemah ditunjukkan oleh harga kakao yang mudah berfluktuasi pada tingkat yang rendah.
Biji
kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi/produk yang diperdagangkan secara
internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam perdagangan
biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung sebelumnya,
ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan. Perdagangan luar negeri
komoditi/produk tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan luar
negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558
Ha pada tahun 2009. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di
Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.
Kebijakan umum di bidang
perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan ekspor dan
kebijakan impor. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor,
dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan
tujuan utama dari kebijakan impor ada dua, yakni (1) mengurangi impor, dengan
prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar atau (2)
menambah impor, jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Pengembangan
produk olahan kakao, pemerintah juga telah mengeluarkan serangkaian kebijakan
produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena itu, pada dasarnya
dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk mengekspor produk olahan
kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia hingga saat ini belum
berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara produsen olahan kakao
yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengaruh
persaingan /daya saing didasarkan pada perubahan pangsa pasar negara pengekspor
yang dianalisis (Indonesia) di pasar negara tertentu untuk suatu komoditas
tertentu hanya dapat berlangsung selama waktu analisis sebagai respon terhadap
perubahan harga relatif komoditas negara pengekspor (Indonesia). Pengembangan daya saing
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao
Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar.
Peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan melakukan efisiensi biaya
produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan konsistensi standar mutu.(Berbagai sumber media terkait, data -data diolah F.
Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment