Tuesday, November 1, 2011

Persaingan Pasar Asia dalam Kerjasama ASEAN-China Bagi Indonesia


Pasar ASEAN yang memiliki empat karakteristik utama, yaitu pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi berdaya saing tinggi, kawasan pengembangan ekonomi yang merata, dan kawasan yang secara penuh terintegrasi ke dalam perekonomian global. ASEAN-Cina sudah pasti menimbulkan dampak sangat negatif. Persaingan pasar Asia yang berakibat memberikan imbas, tetapi hal ini harus dikaji ulang lebih baik lagi hal-hal yang mengakibatkan :Pertama: Dengan serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Perjanjian ini sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2002. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

Pengaruh makro ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut FTA menghasilkan permintaan untuk eksport China karena penurunan tarif oleh ASEAN, dan persaingan dari produk China di pasar dunia.

Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, "Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri."

Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.

Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk "tetek bengek" seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?

Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang "haus" bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Keuntungan utama dari China ASEAN FTA adalah meningkatnya akses pasar bagi ASEAN ke pasar China yang sangat besar. Ekspor ASEAN tentunya akan meningkat, permintaan faktor input seperti beras, gula, minyak sayur dan tekstil sangat dibutuhkan oleh China yang lebih banyak memproduksi barang jadi. Persaingan Pasar bukan hal yang baru yang berlaku antar Negara, tetapi persaingan dagang juga terjadi antara satu pengusaha dengan pengusaha satu Negara, bahkan sampai ketingkat pasar tradisional, hal ini merupakan tantantagan untuk menjaga kualitas mutu suatu produk dari suatu Negara dan tingkat daya beli konsumen. (Berbagai sumber terkait, Media, data diolah, F. Hero K. Purba)

No comments: