Indonesia merupakan penghasil kakao saat ini merupakan salah satu komoditias perkebunan yang perlu mendapatkan perhatian serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Biji kakao Indonesia saat ini banyak diekspor ke AS, Eropa, dan Malaysia. Ketiga kawasan dan negara tujuan ekspor inilah yang dominan sebagai tujuan ekspor biji kakao Indonesia dan dunia. Eropa Barat merupakan pengimpor utama biji kakao dunia dengan daya serap hingga 60% impor kakao dunia. Negara di Eropa yang banyak mengolah kakao adalah Belanda, Jerman, Inggris, Perancis, Rusia dan Italia. Amerika Serikat adalah negara di luar Eropa yang merupakan pengimpor utama biji kakao dengan volume impor 20% dari impor kakao dunia.
Dimana akibat dari terkena automatic detention, harga biji kakao Indonesia di AS mengalami pemotongan harga. Potongan harga ini hanya sekitar US$ 4 per ton, yang dibebankan kepada importirnya. Namun, akibat adanya serangga ini timbul kekhawatiran penyebaran penyakit. Pemasaran kakao Indonesia secara internasional menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao tidak difermentasi dengan benar. Potongan harga akibat mutu biji kakao yang rendah ini mencapai 10-25 % dari harga rata-rata kakao dunia dan lebih rendah 40% dibandingkan harga kakao bermutu baik asal Ghana. Nilai pemotongan harga ini mencapai US$ 50- 100 juta per tahun. Nilai potongan harga ini mungkin akan meningkat apabila dunia dalam kondisi over supply yang menyebabkan negara pengimpor lebih selektif terhadap biji kakao bermutu baik.
Untuk meningkatkan promosi kakao Indonesia secara intensif di luar negeri dengan keunggulan yang dimiliki serta menjalin kerjasama dengan industri dan institusi kakao di luar negeri. Pengembangan pemasaran internasional dan pengendalian impor kakao Perlu upaya mempercepat transportasi kakao sampai ke negara tujuan ekspor untuk mengurangi resiko kerusakan di perjalanan.
Adapun yang menjadi Kendala utama yang dialami Indonesia dalam pengembangan industri pengolahan kakao adalah kebijakan negara-negara maju pengolah kakao yang sangat melindungi industri pengolahannya. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah penerapan eskalasi tarif, yaitu pengenaan tingkat tarif lebih tinggi pada produk impor yang mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Dalam kasus kakao, tarif impor untuk cocoa butter dan cocoa powder lebih tinggi daripada tarif impor cocoa beans. (Sources, Lembaga riset Kakao, Journal, Media, data diolah oleh Frans Hero K. Purba).
Berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan bahwa untuk saat ini luas areal tanaman kakao di Tanah Air mencapai 1,5 juta Ha dengan produksi 790.000 ton. Untuk total ekspor hingga akhir 2009 diprediksikan hanya mencapai 248.000 ton hingga 406.000 ton. Pemerintah mencanangkan program Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao untuk membantu para petani Kakao menghasilkan Kakao fermentasi yang lebih baik untuk pangsa ekspor di pasar Internasional maupun dalam negeri.
Dimana akibat dari terkena automatic detention, harga biji kakao Indonesia di AS mengalami pemotongan harga. Potongan harga ini hanya sekitar US$ 4 per ton, yang dibebankan kepada importirnya. Namun, akibat adanya serangga ini timbul kekhawatiran penyebaran penyakit. Pemasaran kakao Indonesia secara internasional menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao tidak difermentasi dengan benar. Potongan harga akibat mutu biji kakao yang rendah ini mencapai 10-25 % dari harga rata-rata kakao dunia dan lebih rendah 40% dibandingkan harga kakao bermutu baik asal Ghana. Nilai pemotongan harga ini mencapai US$ 50- 100 juta per tahun. Nilai potongan harga ini mungkin akan meningkat apabila dunia dalam kondisi over supply yang menyebabkan negara pengimpor lebih selektif terhadap biji kakao bermutu baik.
Untuk meningkatkan promosi kakao Indonesia secara intensif di luar negeri dengan keunggulan yang dimiliki serta menjalin kerjasama dengan industri dan institusi kakao di luar negeri. Pengembangan pemasaran internasional dan pengendalian impor kakao Perlu upaya mempercepat transportasi kakao sampai ke negara tujuan ekspor untuk mengurangi resiko kerusakan di perjalanan.
Adapun yang menjadi Kendala utama yang dialami Indonesia dalam pengembangan industri pengolahan kakao adalah kebijakan negara-negara maju pengolah kakao yang sangat melindungi industri pengolahannya. Instrumen kebijakan yang digunakan adalah penerapan eskalasi tarif, yaitu pengenaan tingkat tarif lebih tinggi pada produk impor yang mengalami proses pengolahan lebih lanjut. Dalam kasus kakao, tarif impor untuk cocoa butter dan cocoa powder lebih tinggi daripada tarif impor cocoa beans. (Sources, Lembaga riset Kakao, Journal, Media, data diolah oleh Frans Hero K. Purba).
Berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan bahwa untuk saat ini luas areal tanaman kakao di Tanah Air mencapai 1,5 juta Ha dengan produksi 790.000 ton. Untuk total ekspor hingga akhir 2009 diprediksikan hanya mencapai 248.000 ton hingga 406.000 ton. Pemerintah mencanangkan program Gerakan Nasional (GERNAS) Kakao untuk membantu para petani Kakao menghasilkan Kakao fermentasi yang lebih baik untuk pangsa ekspor di pasar Internasional maupun dalam negeri.
No comments:
Post a Comment