Friday, August 3, 2012

PEMASARAN AGRIBISNIS KAKAO DALAM PELUANG INDONESIA KE EROPA


Peningkatan kinerja ekspor pada produk olahan kakao, kondisi sebaliknya terjadi pada ekspor biji kakao (upstream). Pada tahun 2011, ekspor biji kakao berada di posisi US$ 617,09 juta, hal ini turun drastis dibandingkan tahun 2010 yang mencapai US$ 1.191,47 juta. Menurut data International Cacao and Coffee Organization / ICCO bahwa kebutuhan kakao dunia meningkat sebesar 3,299 juta ton. Dan data pada saat ini produksi biji kakao hanya 3,288 juta ton. Di Indonesia kakao menjadi salah satu komoditi unggulan. Pada tahun 2006 produksi kakao Indonesia mencapai 435.000 ton, dan Indonesia termasuk sebagai penghasil kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading, Ghana di Afrika yang pangsa produksi sebesar 13,23% dari total kakao dunia. Berdasarkan angka ini bisa ditingkatkan hingga mencapai 600.000 ton pada tahun 2011. Ekspor kakao selama kuartal I/2012 memang masih di atas 14.000 ton per bulan, tetapi terus merosot ke bawah 10.000 ton memasuki kuartal II/2012. Keadaan Cuaca tidak bagus di tiga bulan pertama tahun ini.

Wilayah Eropa sangat membutuhkan pasokan kakao yang sangat tinggi. Negara tujuan ekspor untuk kakao dan produk kakao ini terbesar untuk Uni Eropa adalah Jerman, Perancis, Belgia, Italia, Austria dan Spanyol. Berdasarkan data pada tahun 2004 Indonesia mengekspor kakao ke Eropa berupa Cocoa Butter, Cocoa Paste, Biji Kakao dan Cocoa Powder. Untuk masuk wilayah Eropa yang perlu diperhatikan beberapa persyaratan standar mutu biji kakao. Untuk ekspor pemasaran kakao di Uni Eropa perlu memperhatikan mutu biji kakao, khususnya mutu citarasa, yang memerlukan syarat proses fermentasi yang benar. Jerman sebagai salah satu negara pengimpor kakao secara tegas mensyaratkan biji kakao harus difermentasi sebagai syarat dasar agar biji kakao memenuhi standar yang diinginkan, lingkungan, biji kakao yang harus difermentasi sebelum diekspor.

Hal ini sangatlah penting untuk menghindari masalah seperti Cacao Detention karena beberapa hal mutu yang standar yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha di Indonesia, dan beberapa hal yang harus juga diawasi adalah prosedur pengiriman / shipping procedure dimana dalam hal ini apabila melalui pengiriman melalui laut memakan waktu yang lama apabila untuk pangsa pasar Eropa, Amerika dan sebagainya. Kemasan dalam container harus benar-benar tahan baik dari packing dan proses dan prosedur penanganannya untuk export handling. Beberapa hal yang kita cermati akibat terkena automatic detention, harga biji kakao Indonesia di AS mengalami pemotongan harga. Potongan harga ini hanya sekitar US$ 4 per ton, yang dibebankan kepada importirnya. Namun, akibat adanya serangga ini timbul kekhawatiran penyebaran penyakit. Pemasaran kakao Indonesia secara internasional menghadapi kendala rendahnya mutu akibat biji kakao tidak difermentasi dengan benar. Potongan harga akibat mutu biji kakao yang rendah ini mencapai 10-25 % dari harga rata-rata kakao dunia dan lebih rendah 40% dibandingkan harga kakao bermutu baik asal Ghana. Nilai pemotongan harga ini mencapai US$ 50- 100 juta per tahun. Nilai potongan harga ini mungkin akan meningkat apabila dunia dalam kondisi over supply yang menyebabkan negara pengimpor lebih selektif terhadap biji kakao bermutu baik.

Kualitas ekspor Indonesia agak lebih rendah dari negara lain, tetapi hal ini bisa lebih ditingkatkan lagi melalui procedure penanganan pasca panen Kakao sampai ke Channel Distribution sampai kepada consumer. Pesaing eksportir kakao Indonesia adalah Pantai Gading / Ivory Coast dengan pangsa pasar 41,54%, Ghana dengan pangsa pasar 19, 54%, Nigeria pangsa pasar 9, 20%, Swiss dengan pangsa pasar 7,27% dan Kamerun pangsa pasar 5,21%. Menjadi tantangan bagi kita untuk lebih mengutamakan mutu dan menghasilkan sesuatu yang baik demi meningkatkan pangsa ekspor kakao Indonesia. (Sources: berbagai sumber terkait data diolah F. Hero K. Purba)

No comments: