Tuesday, September 4, 2012

Tantangan dalam Mengatasi Krisis Pangan dalam Persaingan Global

Dalam tantangan untuk mengatasi defisit pangan akan terus meningkat. Belum ada upaya meyakinkan untuk meningkatkan produk pangan. Permasalahan dan isu pemanasan global, citra Indonesia di dunia internasional sangat menonjol. Indonesia adalah Negara berkembang pertama yang menyetujui pengurangan emisi gas carbon sebesar 26% dalam 5 tahun ke depan angka yang sangat fantastis jika dibandingkan kesanggupan negara lain yang rata-rata dibawah 5%. berbagai komoditas pangan. Ke depan, gejolak harga pangan kian tidak menentu seiring dengan lonjakan penduduk bumi yang jauh lebih cepat dari peningkatan produksi pangan di bawah bayang-bayang perubahan iklim.
Dalam delapan tahun terakhir, rata-rata impor sejumlah produk pangan lebih dari US$ 3 miliar setahun, sedang ekspor hanya sekitar US$ 300 juta. Pada 2011, nilai impor enam komoditas pangan seperti beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan sapi/daging mencapai US$ 9,4 miliar, sedangkan nilai ekspornya hanya sekitar US$ 150 juta.
(Sources, daily investor media terkait, data diolah F. Hero K. Purba).

Masalah Krisis pangan merupakan salah satu isu utama yang menjadi perhatian dunia di samping krisis energi.Kontribusi sumbangan dari sektor pertanian terhadap PDB di negara maju hanya 3-5%, pertanian tetap diperlakukan sebagai sektor dengan prioritas tinggi. Di Indonesia, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB masih 15,3%. Namun, pertanian adalah sektor yang paling tercecer dibanding sektor lainnya. Menurut data Kekeringan melanda 87 persen pertanaman kedelai dan 88 persen jagung. Harga kedelai mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah: 646 dollar AS per ton atau Rp 6.137 per kilogram (Chicago Board of Trade, 20/7/2012). Harga ini lebih tinggi dibanding puncak krisis pangan 2008 dan meningkat 44 persen dibanding awal 2012. Harga jagung juga mencapai rekor tertinggi, 324 dollar AS per ton, meningkat 41 persen dibanding harga awal tahun. Kebijakan klasik yang hampir selalu diambil pemerintah terkait dengan krisis pangan adalah penurunan tarif impor hingga 0 persen. Kebijakan ini dipastikan tak akan efektif meredam kenaikan harga pangan karena tarif impor saat ini sudah cukup rendah, dalam hal ini harga komoditas biji-bijian di luar beras masih akan terus meningkat. Menurut data 2011 bahwa produksi Jagung kita minus 3,7 persen, kedelai mi­nus 6,2 persen, gula minus 1,8 persen, be­ras minus 1,1 per­sen. Jika tahun ini ti­dak ada peru­ba­han radikal, bah­kan lima tahun men­datang,Jika Indonesia bisa menjadi eksportir pangan, gejolak bisa diatasi. Oleh karena itu, peningkatan produksi hingga ekspor harus menjadi perhatian kita semua. Pemerintah jangan mengulangi dengan solusi instan, setiap kita kekurangan, langsung memilih impor. Permasalahan kasus kedelai adalah pelajaran yang kita petik saat ini.

No comments: