Pengembangan untuk meningkatkan
produksi kakao di Indonesia pemerintah telah menggalakkan pertanaman kakao baik
oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. Langkah awal yang harus
dilakukan dalam pengembangan budidaya kakao untuk menghasilkan produksi yang
optimal adalah dengan cara penyediaan bibit yang unggul dan menjaga tanaman
selama di pembibitan, karena kondisi tanaman selama di pembibitan sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kakao.Menurut data BPS pada tahun 2010-2012 biji kakao yang diekspor
menurun dalam kurun waktu 3 tahun yaitu sebesar 163.501 ton tahun 2012, menurun
dibandingkan tahun 2011 sebesar 210.067 ton dan sebesar 432.437 ton tahun 2010.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2010 sebesar
119.214 ton, naik pada tahun 2011 menjadi 195.471 ton dan pada tahun 2012
mencapai 215.791 ton. Biji kakao
Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional diharapkan akan lebih
banyak lagi negara yang membutuhkan kakao biji dari Indonesia dan produsen akan
lebih bersemangat untuk memproduksi kakao biji dengan mutu yang lebih baik dan
biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di
pasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan
memperoleh laba yang mencukupi, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan
produksinya. Untuk pasca kebijakan bea keluar terdapat
peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun
2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011.
Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada
tahun 2014. Kapasitas terpasang dari 660.000 ton/tahun pada
2012, diharapkan menjadi 950.000 ton/tahun pada 2015.Untuk luas
areal tanaman kakao Indonesia mencapai 1,4 juta hektar dengan produksi 803 ribu
ton menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading diikuti Ghana pada urutan ketiga, Pantai Gading, dengan luas area 1.563.423 Ha dan produksi 795.581 ton.
Secara umum didunia terdapat sekitar 50 negara produsen kakao, yang terbagi
dalam 3 benua yaitu Afrika yang menguasai sekitar 65% kakao dunia, Asia sekitar
20% dan Amerika latin sekitar 15%. Sedangkan dari sisi industri (word cocoa
brinding), Indonesia berada di nomor tujuh dunia dibawah Belanda, Amerika,
Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia
terus meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Total
produksi kakao Indonesia sekitar 16 persen dari total produksi dunia, namun
jumlah yang diekspor masih kurang dari 5 persen. Selain itu produsen di
Indonesia masih mempunyai posisi tawar yang lemah ditunjukkan oleh harga kakao
yang mudah berfluktuasi pada tingkat yang rendah.
Biji
kakao maupun produk olahan kakao merupakan komoditi/produk yang diperdagangkan
secara internasional. Indonesia termasuk negara pengekspor penting dalam
perdagangan biji kakao. Sedangkan untuk produk olahan kakao, seperti disinggung
sebelumnya, ekspor Indonesia belum menunjukkan perkembangan. Perdagangan luar
negeri komoditi/produk tersebut sejalan dengan kebijakan di bidang perdagangan
luar negeri yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Luas perkebunan tersebut meningkat menjadi 1.432.558
Ha pada tahun 2009. Secara rata-rata pertumbuhan luas perkebunan kakao di
Indonesia dari tahun 2000 hingga tahun 2009 adalah sebesar 8 persen.
Kebijakan umum di bidang
perdagangan luar negeri pada dasarnya terdiri dari kebijakan ekspor dan
kebijakan impor. Tujuan utama dari kebijakan ekspor adalah meningkatkan ekspor,
dengan prasyarat bahwa kebutuhan pasar domestik telah terpenuhi. Sedangkan
tujuan utama dari kebijakan impor ada dua, yakni (1) mengurangi impor, dengan
prasyarat bahwa produksi dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan pasar atau (2)
menambah impor, jika produksi dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam
negeri.
Dalam pengembangan produk olahan kakao, pemerintah juga telah mengeluarkan
serangkaian kebijakan produksi dan perdagangan produk olahan kakao. Oleh karena
itu, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki potensi untuk
mengekspor produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di Indonesia
hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara
produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan baku yang memadai,
seperti Malaysia. Pengaruh persaingan /daya saing
didasarkan pada perubahan pangsa pasar negara pengekspor yang dianalisis (Indonesia)
di pasar negara tertentu untuk suatu komoditas tertentu hanya dapat berlangsung
selama waktu analisis sebagai respon terhadap perubahan harga relatif komoditas
negara pengekspor (Indonesia). Pengembangan daya saing diperlukan untuk meningkatkan kemampuan
penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia di pasar ekspor, baik dalam kaitan
pendalaman maupun perluasan pasar. Peningkatan daya saing dapat dilakukan
dengan melakukan efisiensi biaya produksi dan pemasaran, peningkatan mutu dan
konsistensi standar mutu.(Berbagai sumber media
terkait, data -data diolah F. Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment