Tuesday, July 31, 2012

Negeri Berjuta Tempe / Kedelai, Analisa Kebutuhannya dimasa Mendatang


Jika kita analisa kelangkaan akan kedelai mengakibatkan produk olahan kedelai seperti tempe dan tahu terjadi karena ketidakberdayaan negeri ini melepas ketergantungan impor kedelai. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, stok kedelai masih bergantung pada negara lain. Kebutuhan akan kedelai dan produk olahan Tempe dan tahu yang selama ini dipandang sebelah mata kini menunjukkan eksistensi. Keduanya memicu silang pendapat, memantik polemik panas terkait dengan ketidakberdayaan pemerintah mengelola kebutuhan rakyat. Impor menjadi solusi yang seharusnya produktivitas dan budidayanya yang di kembangkan. Tidak perlu saling menyalahkan apakah pemerintah, Pelaku Usaha atau Petani Kedelai, yang tepenting bagaimana mengembangkan komoditas kedelai tersebut, bekerja bersinergi membangun pangan. (Berbagai sumber terkait data diolah F. Hero K. Purba).

Untuk produksi kedelai pada 2012 bahkan diperkirakan turun drastis ketimbang 2010 dari 907.300 ton menjadi 779.800 ton. Jumlah sebanyak itu terlampau sedikit untuk mencukupi kebutuhan 2,2 juta ton per tahun. Menurut data Kementerian Perdagangan, harga rata-rata per kilogram biji kedelai lokal selama 1-9 Desember 2011 berkisar antara Rp8.867-Rp8.928 dan harga per kilogram biji kedelai impor Rp8.268-Rp8.307. Total impor dari kedelai sepanjang Januari-Oktober 2011 juga tercatat sudah mencapai 1,69 juta ton dengan nilai 1,02 miliar dolar AS. Biji kedelai utamanya berasal dan diimpor dari Amerika Serikat, Malaysia, Argentina, Uruguay dan Brazil. Yang menjadi permasalahan adalah modal untuk impor kedelai cukup atau tidak? Bagaimana bisa impor juga kalau perajin tahu dan tempe tidak sanggup misalnya. Pemerintah juga harus secepat mungkin menjadi mediator antara asosiasi produk turunan kedelai dan produsen kedelai di luar negeri beserta importir.

Pada zaman era Orde Baru /ORBA, kebijakan pengembangan kedelai ditempuh melalui: (1) kebijakan harga yang berorientasi pada produsen; (2) pengembangan paket teknologi; (3) subsidi sarana produksi; dan (4) pengendalian impor dan perdagangan dalam negeri. Dalam era reformasi sampai era Otoda, kebijakan pengembangan kedelai terus dilanjutkan melalui berbagai program yang berorientasi peningkatan produksi seperti Gema Palagung dan program aksi (Proksi) Mantap. Bagaimana dengan sekarang untuk pemikiran analisa kebutuhan mendatang? Yang terpenting kebutuhan petani kedelai harus segera dipikirkan dan pembudidayaan kedelai lebih ditingkatkan lagi, jangan kita hanya terpaku dengan impor berkelanjutan. Kecenderungan perbandingan harga kedelai selama 10-20 tahun terakhir dengan seperti komoditas-komoditas lain seperti beras dan jagung akan sangat berfaedah. Dengan adalanya masalah persaingan dengan tanaman-tanaman lain perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Mengingat mahalnya harga dalam negeri, mungkin agak terlalu berlebihan untuk menyatakan bahwa impor menurunkan rangsangan produksi kedelai.

No comments: