Tentunya suatu keinginan yang kuat bagi Indonesia untuk berdaya saing dalam peningkatan agribisnis / pertanian untuk lebih baik lagi. Indonesia yang kaya akan hasil pertanian yang telah dikenal pada zaman dahulu sampai sekarang gemah ripah loh jenawi, kaya akan hasil pertanian. Suatu kebangkitan inilah yang perlu diperhatikan dan kesinergian antara para petani, pelaku usaha dan pemerintah dalam mengembangan usaha dibidang agribisnis. Apabila kita mengacu pada suatu teori agribisnis dari David Downey dan Steven P. Erickson, petani belum mampu berkiprah di sektor sekunder dan tersier. Dengan kata lain proses agribisnis yang dijalankan terbatas untuk sektor input dan primer, baru sebatas mengelola sarana produksi dan produksi, sedangkan untuk agroindustri dan pemasaran, justru dikuasai pihak lain.
Sebagai beberapa contoh perbaningan dengan negara-negara lain menurut Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” yaitu : Pertama pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan. Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Hal yang sama juga dilakukan di India yang membangun infrastruktur pedesaan. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an, perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaniannya.
Kedua, perluasan akses pendidikan: Pendidikan merupakan dan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan – perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethiopia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik (Mosley, 2004).
Ketiga, penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah. (Umumnya petani miskin memiliki kualitas modal sosial yang rendah yang berakibat terhadap minimnya akses terhadap informasi seperti informasi kesempatan kerja, informasi pasar mengenai input dan output pertanian, dan informasi mengenai teknik – teknik pertanian terbaru. Kurangnya informasi ini merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan mengapa petani kita tetap miskin). Untuk membangun keunggulan bersaing Indonesia pada kelima kluster agroindustri tersebut, kita memerlukan suatu road map pengembangan agroindustri. Road map yang dimaksud yakni bergerak dari agroindustri yang dihela oleh pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya manusia (SDM) yang belum terampil ( natural resources and unskill labor based ) atau factor driven, lalu bergerak kepada agroindustri yang dihela oleh pemanfaatan modal dan SDM lebih terampil ( capital and semi-skill labor based ) atau capital-driven, dan kemudian melangkah maju kepada agroindustri yang dihela pemanfaatan ilmu pengetahuan-teknologi dan SDM terampil ( knowledge and skilled labor based ) atau innovation-driven.. Jika produk agribisnis Indonesia masih lemah untuk berdaya saing dan berhadapan dengan membanjirnya produk-produk dari negara lain sebagai konsekuensi globalisasi dan perdagangan bebas. Dimana produk agribisnis Indonesia haruslah memiliki keunggulan kompetitif disamping keunggulan komparatif agar mampu bersaing di pasar global dengan berbagai strategi khusus untuk lebih mempertahankannya. (Sources: Berbagai sumber terkait, data diolah oleh Frans Hero K. Purba)
Sebagai beberapa contoh perbaningan dengan negara-negara lain menurut Prowse dan Chimhowu (2007) dalam studinya yang bertajuk “Making Agriculture Work for The Poor” yaitu : Pertama pentingnya pembangunan infrastruktur yang mendukung perekonomian masyarakat. Infrastruktur merupakan faktor kunci dalam mendukung program pengentasan kemiskinan yang dalam hal ini petani di pedesaan. Di Vietnam, pesatnya penurunan angka kemiskinan tak lepas dari tingginya investasi untuk pembangunan irigasi dan jalan yang mencapai 60 persen dari total anggaran sektor pertanian mereka pada akhir dekade 1990-an. Hal yang sama juga dilakukan di India yang membangun infrastruktur pedesaan. Bahkan di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan dan kelaparan pada pertengahan dekade 1980-an, perbaikan jalan di pedesaan dan peningkatan akses pasar bagi para petaninya mampu mengangkat tingkat kesejahteraan para petaniannya.
Kedua, perluasan akses pendidikan: Pendidikan merupakan dan memainkan peranan yang penting dalam mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui tiga saluran yakni dimana tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian itu sendiri. Kemudian, pendidikan juga berhubungan dengan semakin luasnya pilihan bagi petani untuk bisa bergerak di bidang usaha di samping sektor pertanian itu sendiri yang pada gilirannya juga akan dapat meningkatkan investasi di sektor pertanian. Terakhir, pendidikan juga berkontribusi terhadap migrasi pedesaan – perkotaan. Namun demikian di India, Uganda, dan Ethiopia migrasi terjadi antar desa. Buruh tani yang berpendidikan di Bolivia dan Uganda lebih memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hal upah yang lebih baik (Mosley, 2004).
Ketiga, penyediaan informasi baik melalui kearifan lokal setempat maupun fasilitasi dari pemerintah. (Umumnya petani miskin memiliki kualitas modal sosial yang rendah yang berakibat terhadap minimnya akses terhadap informasi seperti informasi kesempatan kerja, informasi pasar mengenai input dan output pertanian, dan informasi mengenai teknik – teknik pertanian terbaru. Kurangnya informasi ini merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan mengapa petani kita tetap miskin). Untuk membangun keunggulan bersaing Indonesia pada kelima kluster agroindustri tersebut, kita memerlukan suatu road map pengembangan agroindustri. Road map yang dimaksud yakni bergerak dari agroindustri yang dihela oleh pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya manusia (SDM) yang belum terampil ( natural resources and unskill labor based ) atau factor driven, lalu bergerak kepada agroindustri yang dihela oleh pemanfaatan modal dan SDM lebih terampil ( capital and semi-skill labor based ) atau capital-driven, dan kemudian melangkah maju kepada agroindustri yang dihela pemanfaatan ilmu pengetahuan-teknologi dan SDM terampil ( knowledge and skilled labor based ) atau innovation-driven.. Jika produk agribisnis Indonesia masih lemah untuk berdaya saing dan berhadapan dengan membanjirnya produk-produk dari negara lain sebagai konsekuensi globalisasi dan perdagangan bebas. Dimana produk agribisnis Indonesia haruslah memiliki keunggulan kompetitif disamping keunggulan komparatif agar mampu bersaing di pasar global dengan berbagai strategi khusus untuk lebih mempertahankannya. (Sources: Berbagai sumber terkait, data diolah oleh Frans Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment