Jika kita amati beberapa waktu dalam beberapa bulan terakhir berdasarkan data bagaimana sesungguhnya kondisi impor pangan Indonesia? Penghargaan terbesar adalah kepada mereka petani dan pelaku agribisnis yang ada di seluruh pelosok tanah air yang berjuang mencoba memberikan yang terbaik bagi Indonesia dalam kontribusinya mengatasi permasalahan impor pangan tersebut. Indonesia menjadi incaran negara-negara penghasil pangan dari belahan dunia ini. Untuk setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar. Nilai impor Indonesia hanya meningkat sebesar 4,08 persen di Juni 2009 menjadi sebesar USD7,95 miliar, dibanding pada Mei 2009 senilai USD7,64 miliar. Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar). (Sumber Harian Kompas, other resources related material, data diolah oleh Frans Hero K Purba).
Berdasarkan kondisi di Indonesia, petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil, tidak seperti di Inggris yang memproteksi petaninya lewat CAP dan USA lewat Farm Bill-nya. Tumpuan ketahanan pangan petani beras adalah pada harga beras. Sayang, harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang kian meningkat dari tahun ke tahun, justru membutuhkan pangan murah demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.
Dengan kondisi kelangkaan kedelai pada awal 2008, impor beras dan gula serta komoditi pangan lainnya, melonjaknya harga daging yang diikuti lenyapnya daging sapi pada pertengahan Februari 2008 merupakan pertanda bahwa Indonesia belum berdaulat di bidang pangan. Dalam menangani permasalahan impor pangan agar tidak memunculkan persoalan pada ketahanan pangan dan perekonomian nasional, perlu segera diambil berbagai kebijakan ekonomi yang komprehensif. Langkah pertama dan utama adalah mengupayakan peningkatan daya saing dan efisiensi usaha dalam memproduksi berbagai komoditas pangan. Banyak sudah kajian dilaksanakan dan pendapat disampaikan oleh berbagai pihak mengenai hal ini, dan pemerintah pun telah menerapkan berbagai kebijakan untuk itu. Aspek yang perlu ditangani dengan baik adalah penerapan teknologi produksi dan pengolahan hasil untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas, serta peningkatan akses petani atas permodalan, sarana produksi, dan pasar. Kebijakan proteksi masih tetap diperlukan agar hargayang diterima petani dapat memberikan keuntungan dan insentif usaha yangwajar. Bentuk proteksi yang wajar adalah pengenaan tarif impor, yangdidukung oleh penerapan yang efektif di lapangan.
Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan. Indonesia yakin dengan pembangunan pertanian kedepan dapat memajukan lebih baik lagi perkembangannya asalkan dukungan diberbagai pihak yang cenderung saling membantu dalam statu koordinasi strategi pangan yang lebih baik.
No comments:
Post a Comment