Dengan adanya Penerapan Free Trade Agreement (FTA) Asean-China yang rencananya dilaksanakan awal 2010. Free trade harus memenuhi syarat moral, trust, dan value sebagaimana yang diajarkan Adam Smith. Artinya, kapitalisme yang bermoral. Sejak ACFTA diberlakukan secara bertahap sejak 2005 lalu, neraca perdagangan Indonesia–China menjadi jomplang. Surplus perdagangan Indonesia terhadap China terus menurun, bahkan sudah defisit US$ 3,61 miliar pada 2008. Perdagangan di sektor manufaktur mencatatkan defisit paling besar, yakni US$ 7,61 miliar pada 2008, dari surplus US$ 79 juta pada 2004. “Jika FTA berlaku penuh, ketimpangan itu bisa semakin besar. Sekadar mengingatkan, terhitung mulai 1 Januari 2010, bea masuk (BM) 8.097 pos tarif dari 17 sektor industri akan dibebaskan menjadi 0% akibat pemberlakukan ACFTA. (Berbagai Sumber terkait, for research study data diolah Frans Hero K. Purba).
Dengan menghilangkan proteksi berupa tarif BM, konsumen di setiap negara akan memiliki semakin banyak pilihan produk untuk memenuhi kebutuhan dengan harga yang semakin kompetitif dan kualitas yang lebih baik. Namun bagi dunia usaha, FTA tak ubahnya seperti pisau bermata dua. Bisa menusuk lawan (pesaing), tetapi juga bisa mencelakai diri sendiri. Jika kalangan industri mampu memanfaatkan potensi pasar yang semakin besar, tentu FTA menjadi sebuah berkah. Sebaliknya, industri yang tidak kompetitif akan menjadi pecundang dan dilibas arus liberalisasi. Negara-negara anggota Asean bersiap-siap menghadapi dua perjanjian perdagangan bebas sekaligus yakni dengan China (Asean-China Free Trade Agreement) dan India (Asean-India Free Trade Agreement). Kedua perjanjian ini akan berlaku efektif pada awal 2010. Dengan membayar BM sekalipun, produk-produk China masih lebih kompetitif karena pemerintahnya memberikan tax rebate (insentif ekspor) sekitar 13%. Terlebih lagi, pemanufaktur China relatif lebih mampu menguasai teknologi permesinan yang mendorong efisiensi produksi sehingga berbagai produknya lebih berdaya saing. Kinerja industri manufaktur di dalam negeri yang sejak terpukul krisis keuangan global terus mengalami penurunan daya saing akibat dililit berbagai faktor seperti keterbatasan modal kerja, beban biaya ekonomi tinggi dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang sempat membuat harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi. Semua kondisi ini membuat produk akhir yang dihasilkan menjadi kelewat mahal dan sulit dijual. Sejak adanya liberalisasi perdagangan Asean-China, pertumbuhan total ekspor Indonesia ke China sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China. Akibatnya total nilai surplus perdagangan Indonesia terhadap China (mencakup produk migas dan nomigas) terus menipis hingga akhirnya terjadi defisit US$3,61 miliar pada 2008. Perdagangan di sektor nonmigas mengalami defisit yang sangat besar, dari surplus US$79 juta pada 2004 menjadi defisit US$7,16 miliar pada 2008. Tetapi ASEAN-China berada pada wilayah yang paling dinamis di dunia dari segi pertumbuhan ekonomi, serta terus menyedot sejumlah investasi global. Bukan mustahil suatu saat ASEAN-China menjadi lokasi perekonomian terbesar di dunia. Potensi itu akan meningkat dan berada di depan mata karena ASEAN-China berada di Asia yang memiliki Jepang, Korea Selatan dan India. Semua negara itu sedang mengarah pada pengintegrasian ekonomi yang juga sedang diupayakan. Jika bisa terwujud, dari segi perekonomian, Asia dengan sejumlah lokomotifnya akan mengambil alih posisi Amerika Utara dan UE dalam percaturan ekonomi global. Hal itu dinilai berpotensi untuk menjadikan Amerika Utara dan UE sebagai rekan yang setara dalam perundingan soal perdagangan.
Anticipation Implementation of ASEAN CHINA 2010
With the implementation of the Free Trade Agreement (FTA) Asean-China which carried out the plan in early 2010. Free trade must meet the moral requirements, trust, and values as taught Adam Smith. This means that capitalism is immoral. Since ACFTA introduced gradually since 2005, the trade balance, China became Indonesia jomplang. Indonesia's trade surplus against China continued to decline, even had a deficit of U.S. $ 3.61 billion in 2008. Trade in the manufacturing sector registered the largest deficits, namely U.S. $ 7.61 billion in 2008, from a surplus of U.S. $ 79 million in 2004. "If the FTA full force, inequality that can be even greater. Just to remind, starting from January 1, 2010, import duties (BM) tariff heading 8097 from 17 industry sectors will be released to 0% due to implementation of ACFTA. By eliminating protectionist tariffs of import duty, consumers in each country will have more product choices to meet the needs of an increasingly price competitive and better quality. But for business, FTA is like a double-edged knife. Could stab opponents (competitors), but also could have hurt yourself. If the industry can take advantage of the potential growing market, FTA would be a blessing. Conversely, uncompetitive industries will be losers and current liberalization. State-Asean member countries prepare for the two free trade agreements with China and the (Asean-China Free Trade Agreement) and India (Asean-India Free Trade Agreement). The second agreement will be effective at the beginning of 2010. By paying BM though, China's products are more competitive because the government gives a tax rebate (export incentives) of about 13%. Moreover, the manufacturer of China is relatively more able to master the technology that drives machinery production efficiency so that its products more competitive. Performance of manufacturing industry in the country which has hit the global financial crisis continues to decline due to the competitiveness of entwined various factors such as limited working capital, high economic costs and the weakening of the rupiah against the U.S. dollar which could make the price of imported raw materials become very high. All these conditions make the resulting end product becomes too expensive and difficult to sell. Since the liberalization of the Asean-China trade, the growth of Indonesia's total exports to China is very small compared with the growth of Indonesian imports from China. As a result the total value of Indonesia's trade surplus against China (including oil and gas products and nomigas) continue to thin out until the end deficit of U.S. $ 3.61 billion in 2008. Trade in non-oil sector experienced a very large deficit, from a surplus of U.S. $ 79 million in 2004 to a deficit of U.S. $ 7.16 billion in 2008. But the ASEAN-China is the most dynamic regions in the world in terms of economic growth, and continue to suck in a number of global investment. It's not impossible one day ASEAN-China became the location of the world's largest economy. Potential will increase and be in front of the eyes because the ASEAN-China is in Asia that Japan, South Korea and India. All countries that are leading to economic integration is also being pursued. If can happen, in terms of economy, with a number locomotive Asia will overtake North America and the EU in global economic arena. It was assessed the potential to make North America and the EU as an equal partner in negotiations about trade.
Dengan menghilangkan proteksi berupa tarif BM, konsumen di setiap negara akan memiliki semakin banyak pilihan produk untuk memenuhi kebutuhan dengan harga yang semakin kompetitif dan kualitas yang lebih baik. Namun bagi dunia usaha, FTA tak ubahnya seperti pisau bermata dua. Bisa menusuk lawan (pesaing), tetapi juga bisa mencelakai diri sendiri. Jika kalangan industri mampu memanfaatkan potensi pasar yang semakin besar, tentu FTA menjadi sebuah berkah. Sebaliknya, industri yang tidak kompetitif akan menjadi pecundang dan dilibas arus liberalisasi. Negara-negara anggota Asean bersiap-siap menghadapi dua perjanjian perdagangan bebas sekaligus yakni dengan China (Asean-China Free Trade Agreement) dan India (Asean-India Free Trade Agreement). Kedua perjanjian ini akan berlaku efektif pada awal 2010. Dengan membayar BM sekalipun, produk-produk China masih lebih kompetitif karena pemerintahnya memberikan tax rebate (insentif ekspor) sekitar 13%. Terlebih lagi, pemanufaktur China relatif lebih mampu menguasai teknologi permesinan yang mendorong efisiensi produksi sehingga berbagai produknya lebih berdaya saing. Kinerja industri manufaktur di dalam negeri yang sejak terpukul krisis keuangan global terus mengalami penurunan daya saing akibat dililit berbagai faktor seperti keterbatasan modal kerja, beban biaya ekonomi tinggi dan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang sempat membuat harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi. Semua kondisi ini membuat produk akhir yang dihasilkan menjadi kelewat mahal dan sulit dijual. Sejak adanya liberalisasi perdagangan Asean-China, pertumbuhan total ekspor Indonesia ke China sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China. Akibatnya total nilai surplus perdagangan Indonesia terhadap China (mencakup produk migas dan nomigas) terus menipis hingga akhirnya terjadi defisit US$3,61 miliar pada 2008. Perdagangan di sektor nonmigas mengalami defisit yang sangat besar, dari surplus US$79 juta pada 2004 menjadi defisit US$7,16 miliar pada 2008. Tetapi ASEAN-China berada pada wilayah yang paling dinamis di dunia dari segi pertumbuhan ekonomi, serta terus menyedot sejumlah investasi global. Bukan mustahil suatu saat ASEAN-China menjadi lokasi perekonomian terbesar di dunia. Potensi itu akan meningkat dan berada di depan mata karena ASEAN-China berada di Asia yang memiliki Jepang, Korea Selatan dan India. Semua negara itu sedang mengarah pada pengintegrasian ekonomi yang juga sedang diupayakan. Jika bisa terwujud, dari segi perekonomian, Asia dengan sejumlah lokomotifnya akan mengambil alih posisi Amerika Utara dan UE dalam percaturan ekonomi global. Hal itu dinilai berpotensi untuk menjadikan Amerika Utara dan UE sebagai rekan yang setara dalam perundingan soal perdagangan.
Anticipation Implementation of ASEAN CHINA 2010
With the implementation of the Free Trade Agreement (FTA) Asean-China which carried out the plan in early 2010. Free trade must meet the moral requirements, trust, and values as taught Adam Smith. This means that capitalism is immoral. Since ACFTA introduced gradually since 2005, the trade balance, China became Indonesia jomplang. Indonesia's trade surplus against China continued to decline, even had a deficit of U.S. $ 3.61 billion in 2008. Trade in the manufacturing sector registered the largest deficits, namely U.S. $ 7.61 billion in 2008, from a surplus of U.S. $ 79 million in 2004. "If the FTA full force, inequality that can be even greater. Just to remind, starting from January 1, 2010, import duties (BM) tariff heading 8097 from 17 industry sectors will be released to 0% due to implementation of ACFTA. By eliminating protectionist tariffs of import duty, consumers in each country will have more product choices to meet the needs of an increasingly price competitive and better quality. But for business, FTA is like a double-edged knife. Could stab opponents (competitors), but also could have hurt yourself. If the industry can take advantage of the potential growing market, FTA would be a blessing. Conversely, uncompetitive industries will be losers and current liberalization. State-Asean member countries prepare for the two free trade agreements with China and the (Asean-China Free Trade Agreement) and India (Asean-India Free Trade Agreement). The second agreement will be effective at the beginning of 2010. By paying BM though, China's products are more competitive because the government gives a tax rebate (export incentives) of about 13%. Moreover, the manufacturer of China is relatively more able to master the technology that drives machinery production efficiency so that its products more competitive. Performance of manufacturing industry in the country which has hit the global financial crisis continues to decline due to the competitiveness of entwined various factors such as limited working capital, high economic costs and the weakening of the rupiah against the U.S. dollar which could make the price of imported raw materials become very high. All these conditions make the resulting end product becomes too expensive and difficult to sell. Since the liberalization of the Asean-China trade, the growth of Indonesia's total exports to China is very small compared with the growth of Indonesian imports from China. As a result the total value of Indonesia's trade surplus against China (including oil and gas products and nomigas) continue to thin out until the end deficit of U.S. $ 3.61 billion in 2008. Trade in non-oil sector experienced a very large deficit, from a surplus of U.S. $ 79 million in 2004 to a deficit of U.S. $ 7.16 billion in 2008. But the ASEAN-China is the most dynamic regions in the world in terms of economic growth, and continue to suck in a number of global investment. It's not impossible one day ASEAN-China became the location of the world's largest economy. Potential will increase and be in front of the eyes because the ASEAN-China is in Asia that Japan, South Korea and India. All countries that are leading to economic integration is also being pursued. If can happen, in terms of economy, with a number locomotive Asia will overtake North America and the EU in global economic arena. It was assessed the potential to make North America and the EU as an equal partner in negotiations about trade.
No comments:
Post a Comment