Dalam krisis ekonomi global dan keruntuhan rezim pasar bebas ini, telah menggeser peta masalah persaingan global dan lainnya, baik strategi maupun urgensinya. Pada saat ini muncul banyak pertanyaan, misalnya: Apa lagi yang menjadi kekuatan utama yang harus dibangun untuk memenangkan persaingan di era pasca-krisis global ini? Apakah dengan runtuhnya rezim pasar bebas ini, maka persaingan yang selama ini menjadi jantung pertempuran ekonomi pasar bebas, masih relevan? Apakah dengan campur tangan pemerintah, seperti yang dilakukan Obama itu misalnya, sebuah persaingan masih punya arti dan penting secara ekonomi dan akan mendorong munculnya kreativitas ekonomi baru. Apalagi yang menarik dari ekonomi yang sudah dikendalikan itu, di bawah tekanan para politisi, dan publik yang cerdas?Berdasarkan sejarah bahwa di era rezim Keynesian, sasaran utama kebijakan ekonominya, adalah bagaimana pemerataan ekonomi bisa terwujud, bagaimana angka pengangguran dapat diturunkan, bagaimana angka kemiskinan bisa dikurangi, dan negaralah yang memegang kendali. Inilah yang melahirkan yang misalnya menghasilkan program Marshal Plan, yang monumental itu. Persaingan antar-korporasi dalam meraih laba sebesar-besarnya dengan mengembangkan segala cara untuk memperoleh daya saing yang paling andal, bahkan dengan rekayasa dan tipu daya dibiarkan, dan bahkan menjadi doktrin. Dengan biaya yang serdikit, mencapai laba sebesar-besarnya. Keandalan korporasi dan kemampuan menciptakan daya saing, itulah yang selama ini menjadi kekuatan utama perekonomian dunia. Tapi begitu korporasi runtuh, pasar uang bangkrut, dan apalagi diwarnai berbagai kasus dan cedera moral, seperti kasus Madoff dan lainnya, maka wajah persaingan usaha itu pun menjadi hitam. Penuh prasangka. Bahkan sekarang ini, program korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) yang nampak “baik dan mulia” itupun dicurigai sebagai niat terselubung korporasi untuk mengambil hak-hak para pemegang saham/investor, lalu dengan dalih kepentingan masyarakat, dana itu disalahgunakannya. Tentunya kita harus berpikir positif untuk memberikan sesuatu yang baik dalam perkembangan suatu Negara. Persaingan di Era Global ini harus memiliki strategi yang kuat, apalagi dengan adanya beberapa Free Trade Agreement seperti ASEAN-CHINA, ASEAN-India, dan beberapa traktat perjanjian beberapa Negara di Asia Pacific ini.
Sebagai contoh Negara China membangun dirinya sejak tahun 1978 dengan mengembangkan sains dan teknologi, yang didorong dengan kepentingan militer. Pembangunan ini dimulai sejak jaman pemerintahan Mao. Mao menginginkan terbangunnya ‘militerisasi’ yang kuat diatas segala-galanya. Proyek ‘militerisasi’ inilah yang menjadi tulang punggung kebijakan Deng Xiao Ping. Tujuan Deng adalah untuk mendiversifikasi ekonomi Cina sehingga tidak hanya sektor hankam tetapi juga menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sipil. Konsep Deng yang berisi 16 butir tuntunan di awal 1980an secara gamblang menegaskan : mengintergrasikan petumbuhan sektor militer dan rakyat sipil, dengan memastikan memenuhi kebutuhan militer, mempertahankan kemampuan militer, dan menggunakan ekonomi sipil demi upaya modernisasi militer.
Sebelumnya Cina telah menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet yang terbukti gagal. Deng lalu menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya luar biasa. Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia. Ekspor Cina naik sepuluh kali lipat (antara 1990 - 2003 bernilai sekitar $436 trilyun.)Kini nilai ekspor Cina melampui 1 juta trilyun dolar dan merupakan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dan Jerman. Sejak 1978, Cina mereformasi ekonominya dari model ekonomi terpimpin ala Soviet menuju ekonomi yang berorientasi ke pasar, namun dengan sistem politik yang dikuasai oleh Partai Komunis Cina. Sistem ini disebut sebagai ‘Sosialisme dengan Karakter Cina’ dan merupakan sistem ekonomi campuran. Reformasi yang dimulai sejak tahun 1978 telah mengangkat derajat jutaan manusia dari garis kemiskinan, menurunkan kemiskinan hinga 53% dari populasi negeri itu di tahun 1981 dan 8% di tahun 2001.
Kebijakan luar negeri Cina juga mencerminkan perubahan penting dari pendekatan Beijing yang sempit dan reaktif pada masa lalu. Cina sudah meninggalkan mentalitas yang memandang dirinya sebagai korban (victim mentality) akibat penderitaan selama 150 tahun dan mengadopsi mentalitas adidaya (great power mentality-daguo xintai). Konsekuensinya, Cina mulai mengambil peran aktif dalam isu global, dimana generasi penggeraknya belum lahir semasa Revolusi Cina sehingga tidak memandang Cina dari perspektif sejarah Cina. Pemimpin kontemporer seperti Hu Jintao, yang lahir hanya beberapa tahun sebelum Revolusi adalah pemimpin Cina pertama yang tidak ikut serta dalam long march yang terkenal karena berhasil mengalahkan kaum Nasionalis dan menaikkan partai komunis ke panggung kekuasaan di tahun 1949. Pemimpin yang menanggalkan victim mentality dan yang mengambil mentalitas adidaya adalah tipe pemimpin yang kini memimpin Cina dan memiliki visi sebagai negara adidaya. Dalam hal kemampuan negeri Tirai Bambu ini untuk memiliki pandangan hidup ”worldview” yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luarnegeri, energi, integrasi, pemerintahan. Ekonomi Cina sendiri diprediksi akan meningkat 8,4 persen tahun ini dan 8,7 persen pada 2010. Ini berarti jika Cina tidak diikutsertakan, maka ekonomi Asia Timur hanya akan meningkat sekitar 1,1 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan. Pembelajaran bagi negara-negara berkembang lainnya dalam perbaikan perumbuhan ekonomi kedepan di era globalisasi ini semakin ketat persaingannya. Dengan memperhatikan berbagai sektor dalam pengembangan strategi yang maksimal dalam upaya pertumbuhan ekonomi negara yang lebih baik. (Berbagai sumber media terkait, data process By: Frans Hero K. Purba)
No comments:
Post a Comment