Monday, October 12, 2009

Corporate Social Responsibility merupakan Strategy Business dan Tanggungjawab Sosial Dalam Organisasi / Perusahaan

Tanggung jawab sosial perusahaan sebagai strategi bisnis. Dengan adanya tanggungjawab social yang dibayarkan melalui perhatian terlihat perhatian terhadap konsekuensi sosial dan lingkungan bisnis dan kinerja namun di depan ini masih jauh dari memuaskan. Ciri umum terlihat di seluruh perusahaan adalah bahwa kepedulian sosial dan bisnis dipandang sebagai dua tanggung jawab independen dan sering pada orang bodoh. Sebagai akibatnya, perusahaan kehilangan fokus tentang bagaimana tanggung jawab sosial telah terintegrasi dengan hasil bisnis jangka panjang. Bisnis di seluruh dunia begitu terobsesi dengan hasil yang langsung bahwa mereka tidak dapat melihat kesempatan yang luas pemakaian memegang tanggung jawab sosial untuk kesinambungan jangka panjang dari organisasi. ( Sources: alagse, article, other resources material collected and process by: Frans Hero K. Purba). CSR pada aspek-aspek sosial dan lingkungan dapat semakin berhasil dan mendatangkan manfaat, baik bagi perusahaan, masyarakat Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.

Dalam definisi CSR sendiri ada dua jenis, yaitu keluar dan ke dalam. CSR di dalam lingkungan perseroan misalnya keamanan, kesehatan, dan keselamatan kerja bagi para pekerja (K3). Sedangkan CSR di luar lingkungan perseroan misalnya community development, pengelolaan limbah, pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup. Dalam teknis pelaksanaannya, CSR harus dirancang dalam rencana kerja tahunan. Rencana ini juga perlu mencantumkan anggaran yang dibutuhkan. Anggaran itu disusun dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran serta diperhitungkan sebagai biaya perseroan. Undang-undang yang mendasari CSR di Indonesia Undang-Undang itu antara lain UU Ketentuan Pokok Pertambangan (UU 11/1967), UU Lingkungan Hidup (UU 23/1997), UU Kehutanan (UU 41/1999), UU Sumberdaya Air (UU 7/2004), UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003), UU Hak Asasi Manusia (UU 39/1999), UU Antimonopoli (UU 5/1999), serta UU BUMN (19/2003). (CSR Review online sources).

Perilaku dalam bertanggung jawab juga harus dijadikan budaya internal perusahaan. Apalagi, perusahaan memiliki prinsip bisnis yang berisi standar perilaku berbisnis dan pentingnya kesetaraan serta integritas dalam bertransaksi. Pihaknya memastikan bahwa prinsip bisnis disosialisasikan dengan baik kepada seluruh karyawan. Kepatuhan terhadap prinsip ini menjadi salah satu agenda internal yang utama. Dalam implemantasinya untuk mengukur kinerja CSR adalah melalui laporan kegiatannya, yakni dengan metode content analysis. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif sehingga dapat diolah dalam perhitungan statistik. Artinya, total angka yang didapat dari proses content analysis ini menggambarkan banyaknya pengungkapan yang diinformasikan dalam laporan tersebut. Yang perlu digarisbawahi adalah informasi CSR yang diungkapkan bukan jaminan informasi yang menggambarkan semua kegiatan CSR yang telah dilakukan. Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan usaha), melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan finasial tidaklah menjamin perusahaan akan tumbuh secara berkelanjutan. Di berbagai tempat, kenyataan berkali-kali memperlihatkan, perusahaan-perusahaan yang hanya mau mengeruk keuntungan finansial serta mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bukan saja mendapat tantangan dari warga masyarakat sekitar, tapi juga tekanan dahsyat dari NGO /LSM yang sepak terjangnya tak mengenal batas wilayah negara. Selama beberapa tahun terakhir ini semakin banyak perusahaan yang mulai sadar bahwa menerapkan CSR merupakan investasi yang baik untuk pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) bisnis mereka. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost center), melainkan sebagai sentra laba (profit center) di masa mendatang. artikel "How Should Civil Society (and The Government) Respond to 'Corporate Social Responsibility'?", Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya. Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa.

Jadi arti penting CSR sangat berdampak pada perusahaan atau badan usaha didalam cermin sosial tanggungjawabnya terhadap masyarakat yang sangat berpengaruh dalam lingkungannya. Harus diakui, selama ini sudah ada kesadaran dari perusahaan untuk menerapkan tanggungjawab sosial. CSR sudah menjadi bagian dari strategi bisnis dalam upaya menambah nilai positif perusahaan di mata publik yakni membangun image perusahaan. Beberapa perusahaan bahkan melihat CSR sebagai bagian dari manajemen risiko. Mengembangkan program CSR yang berkelanjutan dan berkaitan dengan bidang usaha merupakan konsekuensi mekanisme pasar. Kesadaran ini menjadi tren global seiring semakin maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia
.

No comments: